Kita Bicara Sumpah Selibat, Tolong Jangan Merasa Jadi Korban
Saat rohaniwan gereja terkena skandal seks, biasanya yang disalahkan adalah perempuan dan pengkritik dianggap merusak nama baik gereja.
Beberapa hari setelah tulisan saya tentang misdinar dan institusi Gereja Katolik dimuat Magdalene, saya mendapat beragam ”surat cinta” yang tiba-tiba muncul, baik orang-orang yang saya kenal personal, maupun yang saya kenal di dunia maya.
Ada satu “surat cinta” yang berbunyi seperti ini: “Setelah biasanya menertawakan para ustaz yang mualaf, sekarang mbaknya menyerang gereja sendiri? Sebenarnya setinggi apa sih iman mbaknya, kok semuanya salah di mata mbaknya. Memangnya mbaknya ini nabi, atau malaikat pemegang kunci surga?”
Saya memang terkadang sengak saat ada yang ngawur memakai agama sebagai tameng/topeng/jubah pembenaran atas kesalahan dan kejahatan yang mereka lakukan. Makanya, saat ada yang mengaku sebagai ustaz yang katanya sempat menjadi seorang romo dan sekolah S3 di Vatikan, tinggalnya di asrama yang letaknya di bawah Basilika St. Petru, hanya demi mendulang rupiah, tidak mungkin saya diam saja membiarkan si ustaz mualaf tersebut ngoceh semau sendiri.
Sama halnya dengan perkara kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak yang menjadi misdinar di Gereja Herkulanus, Depok, Jawa Barat.
Tulisan saya ternyata cukup menjadi pemantik emosi sejumlah Katolik juga. Mereka menganggap apa yang saya tulis itu melukai umat Katolik, dan menjelek-jelekkan citra gereja sebagai simbol orang Kristen. Duh, mereka tidak sadar apa kalau saya juga masih mengaku sebagai pengikut Yesus, masih memakai nama baptis pula, meski tak tertera di KTP.
Kasus Herkulanus, dan kemudian menyusul cerita Felix Nesi, penulis buku Oerang-Oerang Oetimu yang memprotes kekerasan seksual di gereja di Nusa Tenggara Timur, menjadi momentum para korban kaum klerus (biarawan) bersuara.
Perempuan perusak iman
Ada cerita-cerita tentang beberapa perempuan yang menjalin cinta dengan para klerus, termasuk yang pada 2018 lalu muncul, yang memicu mundurnya Mgr. Hubertus Leteng dari jabatan Uskup Ruteng, NTT, karena skandal korupsi dan juga perempuan.
Baca juga: Kalau Mau Bahas Misdinar Korban Kekerasan Seksual, Harus Bahas Gereja Juga
Mundurnya Mgr. Hubertus melibatkan seorang perempuan bernama Yustina Sako yang konon katanya adalah anak angkat sang uskup. Agak janggal rasanya, ada perempuan berusia empat puluh tahunan namun menjadi anak angkat seorang uskup. Apalagi saya juga belum pernah mendengar ada seorang klerus mengangkat anak, apalagi sudah berusia lanjut.
Andai saja kejadian semacam itu sekadar rumor atau gosip, mungkin tak ada cerita tentang puluhan imam dari Keuskupan Ruteng yang mengundurkan diri sebagai bentuk protes, juga keprihatinan terhadap institusi Gereja Katolik. Mereka meminta agar kasus Mgr. Hubertus diusut baik-baik, yang berakhir dengan mundurnya dia dari jabatannya.
Kaum klerus dan perempuan, selalu saja ada cerita semacam ini yang terdengar, menyedihkan ya?
Dan bagian yang lebih menyedihkan adalah sering kali ada pembelaan dari umat yang menganggap hal tersebut adalah wajar. Sebuah hubungan yang galib terjadi di antara lelaki dan perempuan. Bahwasanya seorang romo/imam juga manusia biasa, yang bisa saja tergoda maupun menggoda perempuan.
Dalam beberapa pembelaan terhadap para klerus yang melanggar janji imamatnya, malah ada umat yang berkata seperti ini: “Romo-romo tersebut juga korban loh, ada perempuan yang sengaja minta dihamili oleh si romo tapi tak meminta untuk dinikahi. Lalu romo tersebut pun dicukupi kebutuhan hidupnya, diberikan banyak fasilitas seperti kendaraan dan lain sebagainya.”
Apa tidak ada yang aneh dalam pernyataan tersebut?
Kalau saya sih sengak, jadi saat ada yang berbicara seperti itu, jawaban saya cuma satu:
”Maaf, itu romo atau gigolo, kok malah kaya jual badan kepada umatnya? Mbok sekalian saja mundur dari klerus, lepas status klerikalnya, toh sudah ada yang menanggung kebutuhan hidupnya.”
Baca juga: Menjadi Seorang Katolik Indonesia Setelah Pengungkapan Skandal Seks Gereja di AS
Kasus-kasus skandal seks para klerus sering kali memang menempatkan perempuan sebagai ”the bad girl” yang ”merusak” iman para klerus yang seharusnya hidup selibat, kaul kekal tak akan menikah ataupun menyentuh tubuh perempuan.
Padahal kalau sudah terjadi skandal, apalagi jika kemudian diikuti kehamilan segala, yang paling dirugikan siapa sih kalau bukan si perempuan? Belum lagi perasaan bersalah, merasa kotor karena sudah ternoda. Kalau sudah begini siapa yang dirusak, dan siapa yang merusak coba?
Anak-anak yang lahir dari hubungan antara klerus dan umat pun sering kali tumbuh menjadi anak-anak dengan kondisi kesehatan yang tak sehat. Bukan hanya tekanan umat lainnya dari kanan kiri karena dianggap anak haram, juga perasaan ditolak karena lahir dari sebuah “kesalahan”.
Hal-hal seperti ini jelas diabaikan oleh mereka yang melindungi klerus bermasalah. Tetap saja berlaku menyalahkan terhadap para korban. Karena mereka menganggap bahwa perempuan-perempuan ini adalah perempuan tak tahu diri yang menggoda para klerus.
”Sudah tahu romo kok dipacari, sudah tahu frater kok ya mau diajak tidur bareng…”
Masalahnya, selain seharusnya para klerus ini memegang betul janji imamatnya, apa iya mereka juga tidak memberi janji-janji surga semacam pernikahan dan keluar dari status klerikalnya demi cinta, hingga perempuan-perempuan ini percaya lalu menyerahkan segalanya atas nama cinta?
Sayangnya, tetap saja para pemuja kaum klerus bermasalah ini juga menyamaratakan bahwa semua klerus adalah orang suci yang tak mungkin menyentuh dosa bernama tubuh perempuan.
Baca juga: Menemukan Kedamaian dalam Layanan Ibadah Daring
Padahal, dalam satu pohon apel yang berbuah lebat sekalipun, tak semua apel yang dihasilkan punya mutu bagus. Kadang ada yang berulat, kadang ada juga yang busuk sebelum dipanen.
Siapa merusak nama gereja?
Saat umat pemuja klerus berkata bahwa romo juga seorang manusia yang bisa saja tergoda dan digoda, secara tidak langsung mereka menafikan fakta bahwa para klerus ini mempunyai janji imamat, kaul kekal akan hidup selibat yang tak akan menikah ataupun menyentuh perempuan.
Semua itu ada di dalam Kitab Hukum Kanonik, yang mengatur bagaimana seharusnya seorang klerus bertindak dalam melayani umat dan apa konsekuensinya kalau melanggar hukum tersebut, termasuk tentang pencabutan status klerikal hingga kembali berstatus menjadi umat awam Gereja Katolik.
Tapi sayangnya, hukum kanonik ini pada akhirnya hanya sekedar sebuah kitab hukum di atas kertas saja, karena pada praktiknya gereja, sering kali hanya menutup-nutupi kasus yang ada. Perilaku gereja kemudian didukung oleh umat-umat konservatif yang menganggap bahwa kasus-kasus seperti ini bertujuan merusak nama gereja saja.
Bukankah yang merusak nama gereja justru para klerus yang mengingkari janji imamatnya?
Klerus hanya sebagian kecil dari sekian simbol Gereja Katolik. Sebuah mozaik yang menyusun institusi tua yang lebih tua dari negeri ini sendiri yang bernama Gereja Katolik di Indonesia.
Setiap tahun selalu ada imam baru yang ditahbiskan, kenapa gereja harus mempertahankan mereka yang bermasalah, yang hanya melukai kepercayaan umat karena berlaku munafik kepada umat yang seharusnya dilayani?
Ilustrasi oleh Karina Tungari.