Maestro tari legong, DR.dr. Anak Agung Ayu Bulantrisna Djelantik meninggal dunia Rabu (24/2), sedikit lewat tengah malam, di Jakarta. Mantan penari istana yang juga seorang dokter itu selama ini telah berjuang melawan kanker, sampai akhirnya berpulang pada usia 73 tahun.
Profil Ayu Bulantrisna Djelantik Master Tari Bali
Ayu Bulantrisna Djelantik lahir di Deventer, Belanda pada 8 September 1947. Ia tertarik pada dunia tari berkat sang kakek, Anak Agung Anglurah Djelantik yang merupakan raja terakhir Karangasem, Bali. Saat itu sang kakek memanggil ahli tari Bagus Bongkasa dan Gusti Biang Sengog sebagai guru tari Bulantrisna. Sejak saat itu, Bulantrisna pun menggeluti dunia tari tradisional Bali.
Baca Juga: Para Perempuan Mosintuwu: Pemimpin Perlawanan dan Agen Perubahan
Selain terkenal sebagai maestro tari, Ayu Bulantrisna Djelantik juga berprofesi sebagai dokter spesialis telinga, hidung, tenggorokan (THT). Pada tahun 1965 ia memutuskan untuk berkuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, tempat ia kemudian dipercaya sebagai pengajar.
Bulantrisna Djelantik Menari Sejak Usia Dini
Kakek Bulantrisna mengenalkan dirinya pada dunia tari klasik sejak ia masih berusia tujuh tahun. Tari Legong sendiri merupakan tari klasik Bali yang terdiri dari gerak tari yang terikat oleh gamelan yang mengiringinya. Gamelan yang digunakan dalam tari legong disebut Gamelan Semar Pagulingan.
Pada usia 10, Bulantrisna berkesempatan untuk tampil di Istana Negara, menari di hadapan Presiden Soekarno. Sejak itu, ia berulang kali pentas di depan para pemimpin dunia seperti Raja Norodom Sihanouk dan Ratu Sirikit dari Kamboja, serta Pangeran Akihito dan Putri Michiko dari Jepang.
Baca Juga: Julia Suryakusuma: Tentang Ibu, Menjadi Ibu, dan Ibuisme
Bagi Bulantrisna, menari merupakan sebuah aktivitas pelepasan emosi, kegembiraan, kreativitas, dan semua itu juga termasuk sarana untuk berdoa. Rasa cintanya pada dunia tari tak hanya ia tuangkan di atas panggung tetapi ia pun juga mendirikan bengkel tari bernama Ayu Bulan pada tahun 1992.
Dalam wawancaranya bersama majalan
Pesona, Bulantrisna mengatakan bahwa ia mendirikan bengkel tari ini karena khawatir bahwa tarian ini akan punah jika tidak ada yang membawakannya.
“Tari itu enggak diam, tari itu mempunyai pakem yang mesti kita jaga, namun agar tari selalu berkembang, perubahan perlu dilakukan supaya tari tetap disenangi oleh masyarakat,” ujar Bulantrisna pada
Pesona.
Ibu Djelantik, Menari, serta Dunia Akademi
Kehidupan Bulantrisna memang berputar di dunia tari dan pendidikan. Sejak muda ia sering kali ikut dalam misi kebudayaan dan menari di berbagai negara untuk memperkenalkan Indonesia. Dalam wawancaranya bersama dengan
Lokadata, ia mengatakan sering membawa-bawa buku ke mana pun, sehingga ketika ada waktu senggang setelah manggung, ia menyempatkan diri untuk membaca buku pelajaran.
Baca Juga: Cak Nur Letakkan Fondasi Kokoh dalam Pemenuhan Keadilan Bagi Perempuan
Sering kali ia juga mendapat dispensasi ujian susulan karena misi kebudayaan tersebut. Namun, berkat prestasinya dalam dunia tari, ia juga mendapat keistimewaan boleh memiliki jurusan dan kampus apa saja. Bulantrisna memilih fakultas kedokteran, mengikuti jejak ayahnya, Agung Made Djelantik yang merupakan seorang dokter.
Setelah ia lulus sarjana, Bulan mendapat tawaran untuk mendirikan akademi seni tari di Bandung. Kreasi tari ciptaan Bulantrisna salah satunya adalah Tari Legong Asmarandana. Penampilannya sebagai Calon Arang, perempuan sakti yang merupakan simbol perlawanan perempuan yang mendapat stigma buruk, sangat memukau.