Julia Suryakusuma: Tentang Ibu, Menjadi Ibu, dan Ibuisme
Penulis dan aktivis perempuan Julia Suryakusuma berbagi tentang pengalaman yang membentuknya menjadi feminis, sosok sang ibu, juga pilihan berat yang dihadapi sebagai seorang ibu.
Mendapat kesempatan mewawancarai Julia Suryakusuma merupakan salah satu momen yang paling membuat saya gugup. Betapa tidak, penulis buku Ibuisme Negara (yang melegenda dan jadi salah satu buku wajib di Kajian Gender dan Feminisme) merupakan sosok yang sering dianggap sebagai pionir studi feminisme dari dalam negeri. Saya sendiri sempat mengutip tulisannya untuk tesis saya beberapa tahun lalu. Karyanya membentang mulai dari ranah akademis hingga kolom-kolom bergaya tulisan jenaka, dari isu sosial politik, gender dan seksualitas, filsafat, sampai yang ringan-ringan seperti tentang bulu mata palsu.
Namun seiring berjalannya wawancara, kegugupan saya tidak hanya mereda, tapi jarak yang biasanya ada antara narasumber dan wartawan menjadi cair. Sederet kisah personal yang ia ceritakan tidak hanya mengisi kebutuhan informasi untuk artikel saya, tetapi juga menjadi bahan refleksi, barangkali bukan hanya buat saya, tetapi juga orang-orang yang membaca ceritanya ini.
Julia lahir di New Delhi 66 tahun silam, dan sepanjang masa kecil dan remajanya banyak dihabiskan di Eropa seiring dengan ayahnya yang bertugas di sana sebagai diplomat Indonesia. Sempat mengecap pendidikan psikologi di Universitas Indonesia (1974-1976), Julia melanjutkan studi di bidang sosiologi di City University, London, Inggris (1976-1979) dan meraih gelar BSc. (Honours), lantas menempuh pendidikan magister (MSc.) dalam bidang politik di Institute of Social Studies (ISS), Den Haag, Belanda (1986-1988).
Di samping Ibuisme Negara, Julia juga telah menulis buku-buku lain seperti Agama, Seks, dan Kekuasaan dan Julia’s Jihad. Tulisan-tulisannya yang lain dapat antara lain ditemukan di The Jakarta Post dan Magdalene, dan Tempo (edisi Bahasa Inggris).
Berikut kutipan wawancara saya dengan Julia Suryakusuma pada 13 Agustus lalu.
Magdalene: Bisa diceritakan bagaimana awal mula ketertarikan Ibu terhadap isu gender dan feminisme dan menulis tentang itu?
Julia Suryakusuma: Sederhana, karena saya perempuan. Saya tergugah menjadi feminis waktu adik saya lahir, langsung ada perbedaan sikap dari orang tua. Kami keluarga priayi Sunda yang patriarkal. Meski keluarga diplomat, nilai-nilai budayanya tetap saja tradisional.
Saya mulai menulis sejak remaja. Saya mengikuti lomba menulis esai dari Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1972 dan 1973 dan dua tahun berturut-turut memenangkan hadiah pertama. Esai-esai tersebut tidak ada hubungannya dengan gender, tapi lebih ke filsafat yang memang saya gemari sejak berusia 14 tahun.
Saya baru masuk bidang gender tahun 1981 ketika saya diminta oleh Daniel Dhakidae (waktu itu menjabat sebagai redaktur Prisma) menjadi editor tamu untuk sebuah nomor tentang perempuan. Saya waktu itu berusia 27 tahun, diminta menentukan topik-topiknya dan mencari penulis-penulisnya. Edisi Prisma itu saya beri judul “Perempuan Indonesia di Persimpangan Jalan”. Tiga bulan saya mengerjakan edisi tersebut, dan sejak itu saya jadi seperti dikotakkan dalam isu gender.
Ketika saya kuliah di jurusan sosiologi dan kemudian politik, saya tidak pernah secara khusus mengambil mata kuliah gender, saya belajar sendiri saja.
Ketika saya menulis tesis saya [yang kemudian diterbitkan pada 2011 secara dwi-bahasa dengan judul State Ibuism/Ibuisme Negara], saya pikir akan sampai di situ saja. Toh saya sudah memenuhi persyaratan akademis saya untuk mendapat gelar MSc.
Ternyata, pada tahun 2005 saat saya melakukan tur kecil di Australia untuk mempromosikan buku pertama saya Sex, Power and Nation (Metafor, 2004), saya bertemu Susan Blackburn, seorang profesor di Monash University, Melbourne, pemerhati Indonesia dan perempuan Indonesia. Ia mengatakan, “Kan Ibuisme Negara sudah menjadi karya klasik selama 20 tahun”. Saya berkata, “Apa?!” Ternyata tesis saya difotokopi dan menyebar ke mana-mana. Tanpa sepengetahuan saya, naskah itu ternyata punya nyawa sendiri di dunia akademis.
Saya tertarik saat membaca tulisan Ibu yang menyinggung soal ‘Mamih’ [panggilan Julia untuk ibunya]. Di tulisan Ibu berjudul “My Mother, The Patriarch”, Ibu menyebutkan sikap diskriminatif dan patriarkalnya Mamih. Tetapi di artikel-artikel lain, Ibu juga menggambarkan betapa dekatnya Ibu dengan beliau. Boleh diceritakan tentang relasi ibu-anak perempuan yang punya nilai berbeda ini?
Begini ya, Anda tahu kan, kebencian itu sama kuatnya dengan cinta. Saya amat mencintai ibu saya, tapi, saya juga sering gemas dengan sikap dan perilakunya yang suka merendahkan perempuan dan mengagungkan laki-laki. Bisa dikatakan hubungan kami love-hate, sarat dengan konflik, perbedaan prinsip dan sikap hidup.
Walau begitu, lebih banyak naluri saya untuk menyayangi ibu saya. Salah satu sebabnya karena saya melihat ibu saya diperlakukan tidak adil oleh Papih. Mamih juga secara aktif mengadu kepada saya. Saya sering dijadikan seperti “tong sampah” oleh Mamih, sebagai tempat pelampiasan kekesalannya terhadap Papih karena tidak berani langsung melawan suaminya.
Baca juga: Jangan Sulit Minta Maaf, Efeknya Dahsyat!
Di satu sisi, waktu remaja saya mengidolakan ibu saya, meskipun ia diskriminatif terhadap saya. Mamih itu mudah diidolakan karena dia secara fisik cantik sekali, charming, ramah, juga kepada teman-teman saya. Meski demikian, ketika tumbuh dewasa, prinsip saya, saya tidak mau seperti ibu saya yang berada di bawah dominasi ayah saya.
Nenek saya dari ibu seorang matriark, dialah yang dominan dalam keluarga kakek-nenek saya, tetapi ibu saya tidak begitu. Dia betul-betul istri “Dharma Wanita” yang identitas dan hidupnya bisa dikatakan sepenuhnya mengikuti suami.
Di beberapa artikel dituliskan bahwa Ibu adalah sosok pemberontak, termasuk dalam keluarga sejak kecil. Di balik itu, apakah Ibu punya ketakutan besar atau pernah mengalami momen-momen ketika merasa sangat takut?
Apa, ya? Sering kali justru kebalikannya. Saya suka dimarahi ibu saya, “Kamu jangan terlalu berani”. Selain itu, banyak orang mengatakan saya fearless, tidak punya rasa takut. Tapi rasanya tidak juga.
Seperti halnya banyak orang, saya memiliki dua sisi yang kontradiktif: pemberani tapi juga insecure (rasa percaya diri rendah). Waktu sekolah di Marymount International High School di Roma, Italia (1968-71), kalau di kelas guru bertanya, saya selalu memberanikan diri mengacungkan tangan untuk menjawab. Tapi sebetulnya di dalam lubuk hati saya, rasa insecurity saya sangat dalam. Saya kira rasa tidak percaya diri itu muncul karena saya selalu dinomorduakan. Ibu saya selalu menomor satukan laki-laki, yaitu ayah dan adik saya.
Tapi kalau soal ketakutan…hmm, ketakutan macam apa yang Anda maksud misalnya?
Mungkin bisa takut akan kematian, kehilangan seseorang atau memori.
Saya tidak takut kematian. Kehilangan seseorang? Tidak juga. Orang akan selalu keluar masuk di dalam kehidupan kita. Mengalir saja.
Apakah Anda takut sama hantu?
Bukan takut, mungkin perasaan tidak nyaman saja. Nyatanya saya hidup sendiri di rumah besar yang pasti ada makhluk halusnya. Mungkin saya malah lebih takut sama tikus. Kecoa sih enggak, tapi kalau tikus, pasti saya jerit-jerit! Sebenarnya lebih karena jijik, bukan takut.
Oh ya, ada momen waktu saya merasa takut, setelah Mas Ami [sutradara Ami Prijono, suami pertama Julia] meninggal karena semua orang meninggalkan saya: pembantu, staf kami, anak saya juga menikah dan pergi. Saya benar-benar sendiri saat itu. Dan rumah yang baru saja kematian seseorang itu spooky. Benar-benar tidak nyaman sehingga saya suka malas pulang . Tapi lama-lama perasaan itu hilang.
Baca juga: Menikah Tapi Tetap Bebas, Bagaimana Caranya?
Waktu zaman Orde Baru juga sempat takut karena saya harus menghadapi Kopkamtib karena tulisan saya.
Di awal 1980an, saya diajak terlibat sebuah proyek penelitian oleh Saskia Wieringa [akademisi Belanda yang menulis soal Gerwani]. Ia membaca tulisan saya di jurnal Prisma Juli 1981. Dia heran ada penulis perempuan Indonesia yang membuat analisis kelas seperti ini. Waktu saya belajar sosiologi tentang negara-negara industrial Barat, memang lumayan kiri, bisa dikatakan Marxis, jadi tidak heran bahwa kelas menjadi bagian pisau bedah saya.
Saya diajak proyek penelitian yang melibatkan enam negara: Sudan, Somalia, Karibia, Peru, India, dan Indonesia. Proyek tersebut dimaksudkan memberi kesempatan kepada perempuan di negara-negara tersebut melakukan penelitian yang mereka tidak mungkin lakukan karena situasi politik di negara mereka masing-masing. Proyek negara-negara lain semua dikerjakan hanya oleh peneliti perempuan dari negara-negara tersebut. Indonesia adalah perkecualian: Ada dua subproyek yang mencakup aspek historis dan kontemporer. Aspek historis dikerjakan Saskia yang meneliti tentang Gerwani, sedang saya meneliti aspek kontemporer, yaitu Dharma Wanita dan PKK. Tentu terlibat proyek penelitian mengenai Gerwani mengandung risiko yang besar bagi saya karena saat itu segala sesuatu yang berkaitan dengan PKI merupakan momok bagi pemerintah Indonesia.
Karena berbagai alasan, saya tidak selesai membuat laporan penelitiannya ketika proyek berakhir pada tahun 1985. Saya memutuskan studi master di Institute of Social Studies (ISS), tempat Saskia mengajar, dan ia kemudian menjadi supervisor untuk skripsi saya.
Setelah saya pulang ke Indonesia pada tahun 1987, tahun berikutnya (September 1988) ada konferensi di Leiden tentang “Women as Mediators in Indonesia”, di mana saya diundang. Pesertanya kebanyakan orang Indonesia, selain itu ada peserta Belanda, dan negara-negara Barat lainnya.
Beberapa waktu sebelum konferensi, makalah-makalah yang kami tulis sudah dikirim ke panitia konferensi yang kemudian mengirim makalah-makalah tersebut kepada semua peserta. Ternyata Saskia membuat makalah yang membandingkan PKK dengan Gerwani.
Kebetulan salah seorang peserta konferensi tersebut adalah Nani Yamin (alm.), Ketua Lembaga Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga (LKBHuWK) yang suaminya bekerja di Kopkamtib. Ya langsung dia berikan makalah Saskia kepada suaminya.
Baca juga: Sudikah Alat Kelamin Kita Diobok-obok Negara?
Maka semua peserta Indonesia dipanggil, termasuk saya tentunya untuk diinterogasi oleh Kopkamtib. Untung tempatnya di Kementerian Urusan Peranan Wanita bukan di markas Kopkamtib, jadi agak mengurangi kengerian saya. Saya amat takut – ya bagaimana tidak? – berhadapan dengan lembaga intel yang menguasai negara saat itu.
Pejabat Kopkamtibnya mengatakan, “Ada orang Belanda bernama Saskia Wieringa, dia melakukan tindakan subversif membuat penelitian tentang Gerwani.” Selama ia berbicara, ia sering mengatakan, “Bukankah begitu, Ibu Julia?”. Selalu Ibu Julia, Ibu Julia melulu – jelas bahwa saya yang diarah.
Akhirnya saya menjawab, “Pertama, Saskia bukan orang Indonesia, dia tidak di bawah yurisdiksi Indonesia sehingga dia tidak bisa dikatakan melakukan tindak subversif. Dia bebas melakukan apa yang dia inginkan. Kedua, ini acara akademis, jadi harus dihadapi secara akademis juga.” Di tengah ketakutan saya, saya masih bisa menjawab dengan kepala dingin.
Untung di pertemuan itu hadir pula beberapa tokoh akademis perempuan senior yang sangat dihormati, antara lain Ibu Saparinah Sadli dan Melly Tan. Mereka memberikan dukungan kepada saya.
Akhirnya kami diizinkan pergi menghadiri konferensi di Leiden tersebut. Kami khawatir waktu itu kami akan dilarang pergi sama sekali, dan Kopkamtib memang punya kuasa untuk melakukan hal itu.
Saya memutuskan menulis makalah alternatif yang lebih etnografis dan deskriptif tentang perkebunan karet yang memang menjadi bagian penelitian saya. Tapi, diam-diam makalah awal saya yang lebih politis dan kritis, saya bagikan kepada peserta. Suasana konferensi di Leiden sangat tegang.
Ketika konferensi usai, penyelenggara konferensi mengadakan rapat untuk membahas apa yang terjadi kepada peserta Indonesia sebelum berangkat. Para akademisi Barat, khususnya Saskia, bersikeras mempertahankan hak kebebasan akademisnya. Maka terjadilah apa yang saya anggap sebagai polarisasi palsu: kebebasan berekspresi dari akademisi Barat versus keselamatan dari peserta Indonesia. Hal ini membuat saya luar biasa marah. Saya berkata, “Memangnya kami di Indonesia hanya ingin keselamatan? Kami juga ingin kebebasan!”.
Ketika saya kembali ke Jakarta, saya dijemput Mas Ami yang membawa majalah Tempo yang berita utamanya tentang Organisasi Tanpa Bentuk (OTB), sinyalemen bahwa kaum komunis infiltrasi ke mana-mana. Rezim Orde Baru memang selalu berusaha menghidupkan rasa ketakutan terhadap “bahaya laten komunis”. Jangankan saat itu, pada puncak kekuasaan Orde Baru, sekarang saja pada saat komunisme sudah sangat meredup di dunia, masih ada yang takut pada “bahaya laten komunis”. Lucu. Orde Baru masih menguasai Indonesia saat ini rupanya.
Saat itu, tesis saya belum selesai karena Mas Ami terkena stroke tahun 1987 ketika saya masih menempuh studi di Belanda. Terus saya bingung, tesis saya belum selesai, padahal awan hitam otoritarianisme rezim Orde Baru menggantung secara mengancam di atas kepala saya. Adit, anak tunggal saya yang waktu itu berumur 13 tahun bertanya, “Apa yang akan terjadi pada Mama kalau tesisnya ditulis?”
“Enggak tahu, Dit. Mama bisa ditangkap, dipenjara, di-blacklist” karena demikianlah rezim Orde Baru memperlakukan orang-orang yang berani mengkritik apa pun aspek rezim.
Dengan penuh ketakutan, Adit mengatakan, “Jangan lakukan, Ma!”
Bayangkan memandang mata anak kesayangan dan mengatakan, “Tidak, Mama tetap akan menulis skripsi tersebut.” Aduh, berat sekali rasanya!
Sebagai manusia biasa, saya tentu punya rasa takut, dan saat itu, juga konflik batin yang sangat berat. Kalau saya menempatkan diri saya sendiri dalam bahaya okelah, tetapi untuk memaksakan rasa takut ini kepada keluarga saya, , saya merasa sangat bersalah sebetulnya. Tapi pada saat yang sama, saya juga merasa harus setia kepada integritas intelektual saya dan kewajiban saya sebagai warga negara Indonesia yang sangat peduli kepada proses demokrasi dan hak asasi manusia. Terus terang, konflik batin itu sering terjadi dalam perjalanan hidup saya. Dan mengenai rasa takut, saya suka mengambil sikap, kalau toh merasa takut, lakukan saja.
Akhirnya, sejarah membuktikan bahwa Ibuisme Negara menjadi karya yang sangat berpengaruh, tapi mungkin tidak banyak orang yang tahu harga mahal yang saya harus bayar untuk melakukannya. Coba saat itu saya mengikuti rasa takut keluarga saya, khususnya Adit. Saya memilih untuk menyelesaikan skripsi saya. Saya tidak menyesal melakukan pilihan tersebut, tapi hingga kini saya masih merasa bersalah bahwa telah “mengabaikan” perasaan dan kecemasan orang-orang yang paling saya cintai.
Dalam perjalanan aktivisme, pernahkah Ibu mau menyerah?
Rasanya tidak pernah ada keraguan sama sekali. Intinya, saya mengatakan kepada keluarga saya, inilah saya, terima apa adanya. Yang berani bersuara cuma Adit karena kecemasannya sebagai anak akan keselamatan ibunya.
Itu terus terang paling berat. Sebenarnya orang tua saya dan Mas Ami juga sangat cemas, tapi mereka tahu bahwa percuma melarang saya karena kemauan saya keras sekali. Sering saya dicap keras kepala, padahal keras kepala dan berkemauan keras adalah dua hal yang berbeda.
Begitu juga waktu saya ikut Suara Ibu Peduli, di awal reformasi pada tahun 1997. Ketika Adit tahu kalau saya mau demo di Bundaran HI, ia kembali bertanya, “Haruskah Mama melakukannya?”
“Tidak, tidak harus, tapi saya ingin melakukannya.” Pada saat itu ia sudah berusia 22 tahun, tapi masih ketakutan karena tindakan ibunya. Pada dasarnya ia bertanya kepada ibunya, “Kenapa Mama mengambil risiko untuk sesuatu yang tidak jelas – demokrasi – apa pun itu, dengan mengorbankan keluarga, dan saya?” Setiap kali saya mengingat hal itu, saya masih menangis. Keputusan yang sangat sulit saya ambil.
Itu bukan pertama kali saya harus membuat pilihan yang amat berat. Mungkin pertama kali waktu saya memutuskan sekolah ke Inggris dan meninggalkan Adit yang waktu itu berumur 10 bulan. Waduh, saya dicaci maki, orang-orang menganggap saya monster, ibu macam apa yang tega meninggakan bayinya yang berumur 10 bulan?
Ada support system untuk mengurus Adit saat itu?
Tentu ada. Adit lahir di Jerman, waktu itu sampai umur empat bulan sama kakek-neneknya. Ia kembali saya bawa ke Jerman pada tahun kedua kuliah saya, dan tinggal lagi dengan Oma-Opanya selama satu tahun, antara usia satu setengah dan dua setengah tahun. Saat saya dan Adit pertama kali pulang ke Indonesia awal 1976 setelah dia lahir, saya sudah diterima sebagai mahasiswa di City University di London, Inggris. Ketika Adit di Indonesia, ia diurus oleh ayahnya, ibu mertua saya dan seorang suster. Saya biasanya kembali ke Indonesia setahun dua kali.
Ketika kita membuat pilihan, meskipun dengan yakin dan teguh, tidak berarti tidak sulit dan tidak menyakitkan. Meninggalkan anak, anak pertama yang belum juga setahun berat sekali, dan saya sangat merasa bersalah.
Tetapi saya punya pertimbangan. Saya adalah anak seseorang, kemudian istri seseorang, kemudian ibu seseorang, tapi saya sendiri siapa? Meskipun saya sudah dikenal sebagai penulis sejak umur 18, sebagai peragawati sejak 17 tahun, juga menjadi asisten Arief Rachman mengajar bahasa Inggris di TVRI – pokoknya sudah punya namalah, saya tetap merasa belum tahu siapa jati diri saya. Jadi ceritanya saya pergi ke Inggris untuk bersekolah, namun sebenarnya itu merupakan perjalanan eksistensial mencari jati diri. Tiga tahun bukan yang waktu singkat. Tetapi saya tahu, kalau saya tidak pergi, saya yakin akan gelisah terus, tidak bahagia, dan kemungkinan besar perkawinan saya dengan Mas Ami akan kandas.
Masyarakat sangat memola kita untuk memainkan peran-peran tertentu. Bagi perempuan, harus jadi anak, istri, dan ibu yang baik. Bagi saya itu tidak cukup. Banyak orang yang marah sama saya karena saya berani melawan arus. Sebenarnya berat sekali menerima cercaan orang lain, tapi ada kalanya kita harus membayar harga yang mahal untuk benar-benar menjadi diri sendiri. Misalnya, stigma bahwa saya ibu yang buruk lama sekali menghantui saya.
Bagaimana Ibu menjalani hari-hari setelah mengambil keputusan berat itu?
Waktu saya sudah berada di Inggris, saya sering mimpi buruk. Pernah di dalam salah satu mimpi, saya ceritanya pulang, ada anak kecil laki-laki menghampiri saya. Saya mengulurkan lengan saya hendak memeluknya, “Adit? Oh, kamu bukan Adit!”. Tiap kali ada anak menghampiri saya tetapi setiap kali bukan Adit. Orang tua saya dan Mas Ami memandangi saya dengan dingin di dalam mimpi itu. Saya menjerit-jerit, “Mana Adit, mana Adit?”
Mimpi buruk seperti itu berbekas sampai berhari-hari, sampai sulit konsentrasi. Di lingkungan departemen sosiologi dan asrama saya di Inggris itu pun saya dikenal sebagai “the Indonesian woman who left her baby”. Waduh. Itu stigma universal, ibu meninggalkan anak. Kalau laki-laki sebagai ayah pergi bertugas ketika anaknya masih bayi, tidak ada yang menegurnya, “Bagaimana Anda bisa meninggalkan bayi Anda?”
Kejadian itu sudah hampir 45 tahun yang lalu, tapi masih sangat emosional dan masih sangat menyakitkan untuk mengingatnya.
Intinya, saya menolak peran-peran stereotip-stereotip yang diberikan – dan sering kali, dibebankan – masyarakat kepada perempuan. Nah, penolakan itu harus dibayar mahal sekali. Tapi mungkin saya menjadi pelopor juga karena sesudahnya lebih banyak perempuan meninggalkan keluarga dan anak untuk studi. Sekarang sih sudah lazim.
Saya penasaran, ketika Ibu cukup lama tinggal di luar negeri, menempuh pendidikan juga di sana, tetapi pada akhirnya kembali ke Indonesia dengan segala kekacauan dan perbedaan antara nilai masyarakat dan yang Ibu yakini, mengapa Ibu memilih tetap jadi warga Indonesia dan tinggal di sini?
Kebanyakan orang lahir begitu saja dari rahim ibunya dan otomatis jadi orang Indonesia. Karena dibesarkan di mana-mana, saya betah dan bisa tinggal di mana saja, tapi saya memilih untuk berada di Indonesia, apa pun yang saya lakukan, untuk Indonesia.
Saya masih ingat waktu saya masih SD, saya melihat di buku anak-anak ada gambar orang-orang sedang membuat jalan tol. Saya mengatakan kepada diri saya sendiri, “Suatu hari saya akan membuat banyak jalan tol untuk Indonesia”. Saya tidak tahu bahwa akhirnya yang saya bangun itu jalan tol ide dan pemikiran. Bayangan saya konkret saja, saya mau bikin jalan yang tentunya sangat dibutuhkan banyak orang. Tapi kalau dipikir lagi sekarang, membangun jalan itu sangat simbolik.
Saya memang sering dianggap aneh, sering dianggap precocious (dewasa sebelum waktunya). Waktu sekitar umur 10 tahun saya melihat refleksi diri saya di kaca, dan saya bertanya kepada diri saya, “kamu akan jadi siapa kalau kamu bukan orang Indonesia dan dilahirkan pada zaman yang berbeda”. Jadi rupanya sejak kecil saya sudah punya sense of self, sense of mission, dan sense of nationalism yang jelas dan kuat, mau berbakti kepada Indonesia.
Bicara tentang kontribusi untuk Indonesia, boleh diceritakan mengenai bagaimana seorang Julia menjalani aktivismenya?
Karya intelektual saya adalah bentuk aktivisme saya yang utama. Saya dikenal sebagai penulis feminis setelah tulisan di Prisma tahun 1981 itu, lalu tahun 1991 di media yang sama, saya memperkenalkan studi seksualitas yang saat itu belum ada di Indonesia. Saya menjelaskan hal-hal yang mendasar, apa bedanya seks dan gender, mengenai peran dan status, juga termasuk isu LGBT. Buku pertama saya pun di tahun 2004 berjudul Sex, Power and Nation yang pada tahun 2012 diterjemahkan menjadi “Agama, Seks dan Kekuasaan” (Komunitas Bambu, 2012). Sekarang coba saja lihat, isu-isu gender yang muncul di masyarakat, semuanya terkait seks, kekuasaan dan negara, atau kalau sekarang, yang lebih dominan, agama.
Saya sebenarnya single fighter dari dulu, selalu menolak pelembagaan karena saya ingin merdeka. Kebebasan saya adalah nomor satu, tapi bukan berarti saya tidak bisa bekerja sama. Saya itu juga pemain tim yang baik. Mungkin bisa dikatakan saya seorang intelektual yang berjiwa seniman, yang harus bebas berkreasi, berpikir dan mengikuti hari nuraninya.
Pada tahun 1994 saya tergabung aktivisme dengan Kelompok Perempuan untuk Kebebasan Pers (KPKP) setelah ada pembreidelan Detik, Tempo, dan Editor tahun itu. Itu pengalaman aktivisme pertama saya yang turun ke jalan.
Yang kedua Suara Ibu Peduli (SIP) pada 27 Februari 1997, sebelum reformasi. Di Bundaran Hotel Indonesia (HI) tempat kami melakukan demo, sementara beberapa teman ditangkap oleh polisi militer, saya diwawancarai wartawan mancanegara mengenai gerakan SIP. Memang saya bertugas sebagai public relations (PR) SIP karena saya penulis dan biasa berhadapan dengan pers. Malam sebelumnya, saya diselundupkan teman wartawan asing ke Gedung Balai Sidang di samping Gedung MPR yang menjadi tempat pertemuan wartawan, anggota DPR/MPR, dan berbagai pihak yang terlibat Sidang MPR saat itu. Saya membagikan siaran pers tertulis yang sudah kami persiapan bersama. Karena wartawan asing tersebut sudah mengenal saya, ketika demo keesokan harinya, saya yang mereka cari. Hari-hari sesudahnya, tokoh-tokoh SIP lainnya seperti Gadis Arivia dan Karlina Leksono (sekarang Supelli) juga harus melayani permintaan wawancara bertubi-tubi. Sangat melelahkan hari-hari itu.
Kami mendapat simpati besar sekali berkaitan dengan SIP. Bagaimana tidak? Ibu-ibu turun ke jalan ketika ada larangan demo, untuk memprotes kenaikan harga yang melonjak luar biasa, tapi juga di balik itu kami menuntut perombakan sistem politik yang lebih demokratis, adil dan kerakyatan. Baru setelah demo SIP, mahasiswa turun ke jalan yang dianggap sebagai awal terjadinya Reformasi, padahal perempuan sudah jauh lebih dulu turun ke jalan.
Menjelang Soeharto turun 21 Mei 1998, saya sedang mengerjakan tugas dari editor saya di Jepang yang meminta saya menulis kalau ada apa-apa terjadi seperti Soeharto turun atau kerusuhan besar, yang akhirnya memang terjadi.
Waktu itu saya masih bekerja menggunakan desktop sehingga harus menonton mahasiswa dan aktivis menyerbu Gedung DPR lewat televisi. Teman-teman menanyakan , “Di mana kamu?” karena mengharapkan saya bersama mereka. Setengah menangis saya menjawab, “Gue ada deadline!” Tentu saya ingin sekali berada di lapangan dengan teman-teman pada saat yang amat bersejarah itu.
Itu pun salah satu momen dalam hidup saya yang sangat sulit, konflik batin yang berat antara diri saya sebagai aktivis dan penulis. Pada akhirnya kita berada dalam posisi kuasa bila bisa menulis sejarah, karena biasanya pemenanglah yang melakukannya . Akhirnya saya menyelesaikan tulisan saya berjudul, “Banana, Backstabbing and Anarchy: the End of the Soeharto Era” yang diterjemahkan sebagai “Pisang, Pengkhianatan dan Anarki: Akhir Jaman Soeharto” di dalam antologi Agama, Seks dan Kekuasaan (Komunitas Bambu, 2012). Ketika saya membaca ulang tulisan itu, saya mengatakan, “Ya ampun! Kalau saya turun ke jalan, saya hanya menjadi satu dari ribuan bahkan jutaan anggota massa. Tapi dengan saya menulis, saya meninggalkan jejak sejarah tertulis yang berharga.
Kadang saya juga dilanda rasa insecurity, bahwa saya hanyalah seorang penulis. Tapi menjadi penulis itu sangat powerful sebenarnya and bisa sangat berpengaruh meski secara tidak sengaja. Saya tidak pernah tahu, apa dampak tulisan-tulisan saya. Ibuisme Negara misalnya, jadi bacaan wajib di Indonesia di pusat-pusat studi gender dan di kalangan aktivis, bahkan juga di luar negeri. Pada tahun 2018, oleh koran The Jakarta Globe, State Ibuism dimasukkan ke dalam “Reading Indonesia: 30 books that will help you understand the South East Asian Giant”.
Sebagai penulis, saya melihat Ibu bisa menuangkan gagasan dengan gaya-gaya berbeda. Kenapa Ibu memilih melakukan ini?
Saya ingin mengekspresikan semua bakat dan aset saya, dan versatilitas adalah salah satunya. Di beberapa resensi tentang kolom-kolom saya di The Jakarta Post [yang kemudian dibukukan dengan judul Julia’s Jihad], saya disebut humoris yang bagi saya merupakan pujian besar. Pertama, Anda harus pandai untuk bisa lucu, kedua, feminis tidak dikenal sebagai humoris. Seseorang juga harus memiliki rasa percaya diri yang tinggi untuk bisa tidak menganggap diri secara terlalu serius.
Misalnya saja tulisan saya tentang bagaimana saya terbawa tren menggunakan lash extension yang akhirnya malah membuat bulu mata asli saya copot semua sehingga saya terlihat seperti bengkuang! Saya menertawakan diri sendiri dan juga sebenarnya perempuan pada umumnya yang bersedia melakukan hal-hal yang ada kalanya bisa dianggap konyol dan bahkan berbahaya, demi kecantikan.
Buat orang yang hanya mengenal saya dari luar, kelihatannya galak dan yang pasti, asertif. Tapi kalau mengenal saya secara lebih dekat, mereka akan menemukan sisi diri saya yang sangat lunak dan mudah kasihan dan berempati. Mungkin dulu terlalu mudah percaya orang lain dan dibodohi, hahaha. Tapi sekarang tidak lagi. Belajar dari pengalaman.
Selain menulis, apa kegiatan yang Ibu jalani sekarang ini?
Sejak pandemi, bikin roti! Saya tidak bisa ke toko roti langganan saya karena PSBB. Lalu saya menemukan resep mudah bagaimana membuat roti di internet dan mencobanya.
Saya sebenarnya sangat “terdomestifikasi” dan bisa melakukan berbagai tugas domestik dengan baik. Nah, mungkin itu yang dimaksud Maria Hartiningsih waktu menulis profil saya di tabloid Swara (1999) ketika ia menulis, “Tidak banyak yang (mau) memahami Julia sebagai perempuan biasa, sebagai istri dan ibu yang menjalankan pekerjaan domestiknya sebaik kegiatan publiknya ”. Saya bersyukur bahwa saya diakui untuk kemampuan saya itu. Sering saya merasa, tugas-tugas domestik, dan mengurus orang lain, itu juga memanusiakan saya. Tapi bagi banyak perempuan yang tidak punya pilihan, lain lagi itu urusannya!
Selama pandemi ini juga saya juga semakin berusaha mengembangkan diri secara mental dan spiritual. Misalnya salah satu yang saya ikuti belakangan ini adalah 21 Masterclasses in New Consciousness.
Saya sangat percaya pada life-long learning. Selama kita hidup memang kita tidak boleh pernah berhenti belajar, juga untuk semakin mengenal diri sendiri. Pandemi ini sebenarnya bisa dijadikan kesempatan emas, kesempatan untuk belajar dan mengubah diri dan hidup kita menjadi lebih baik. Jika banyak orang yang kesal dan jemu karena tidak bisa ke mana-mana, kita selalu bisa menukik ke dalam diri kita untuk melakukan inner journey. Saya kan hidup sendiri, jadi hal itu sangat mungkin. Tentu bagi mereka yang memiliki keluarga, anak-anak yang harus dibantu belajar online, belum lagi mencari nafkah bagi keluarga, hal ini lebih sulit. Saya juga harus cari nafkah, tapi hanya untuk diri saya, asisten dan pembantu rumah tangga saya. Lebih mudah itu.
Tahun-tahun belakangan ini akhirnya saya perlahan-lahan memahami perjalanan hidup saya. Sekarang saya dapat merangkai serpihan-serpihan pengalaman hidup saya sejak dulu. Bahkan saat ini saya bersyukur bahwa saya didiskriminasi di dalam keluarga karena hal itu menempa saya untuk mempunyai karakter yang kuat serta mengembangkan kemampuan saya berempati.
Sebagai anak diplomat saya selalu termarginalkan. Di luar negeri saya orang asing, di negeri sendiri pun saya juga orang asing. Pulang dari luar negeri waktu remaja bicara bahasa Indonesia juga dicemooh karena bahasa Indonesianya dengan logat asing.
Baca juga: Kembangkan Kecerdasan Spiritual Lewat Sadar Jiwa, Tak Hanya Sadar Tubuh
Manusia itu selalu dalam proses memaknai hidup. Di usia saya sekarang saya banyak sekali bisa memahami berbagai peristiwa di dalam hidup saya yang dulu saya tidak pahami.
I have now become the person I want to be, atau setidaknya jauh lebih mendekati apa yang saya dambakan sebagai suatu ideal: menjadi lebih bijak, lebih sabar, lebih tenang, lebih memiliki keseimbangan batin, tidak mudah tersinggung atau marah, tidak terlalu cemasan dan emosional, lebih ceria, semakin berempati dan mendapatkan kebahagiaan hakiki yang datang dari batin diri sendiri, bukan dari faktor eksternal, termasuk dari orang lain. Orang sering berseru, “Just be yourself!” Namun banyak orang yang tidak tahu sebenarnya siapa diri mereka itu sesungguhnya. Menjadi diri sendiri itu perjalanan panjang yang penuh perjuangan.
Ilustrasi oleh Jemima Holmes.