“Aji” mulai pakai sabun cuci muka sejak kuliah, tapi dia merahasiakannya. “Rasanya dulu malu kalau ketahuan merawat tubuh. Walaupun sekadar pakai sabun cuci muka,” katanya. Dulu yang dimaksud Aji adalah 2013 silam, masa-masa ia masih duduk di semester 1 dan pertama kali berusaha merawat tubuh.
“Waktu itu sudah mulai sisihkan duit buat beli sabun cuci muka, krim malam, dan lotion. Tahunya dari kakak. Supaya kelihatan bersih dan rapi aja, sih. Mungkin karena masa-masa transisi remaja ke dewasa juga ya, jadi ada pengaruh hormon,” tambahnya.
Meski pilihan memakai perkakas perawatan tubuh datang dari diri sendiri, Aji tetap tak percaya diri kalau sampai ada kawan yang tahu. Menurutnya, waktu itu gagasan tentang pria yang pakai produk kecantikan dan merawat diri masih tabu. Ia takut dianggap lebih feminin. “Takut aja, sih, dulu dipanggilnya metroseksual, dan konotasinya jelek buat cowok,” jelasnya.
Cerita serupa juga dialami Radityo, model dan health influencer yang kami wawancara. “Dulu, tuh, termasuk di keluargaku, jadi aku, tuh termasuk cowok yang mungkin pertama ‘merawat diri’ kali. In terms of sekadar milih baju aja, kayak aku mau milih baju pake baju apa, gitu. Sempat dicap sama keluarga sendiri, istilahnya apa ya, cowok metroseksual,” ceritanya.
Namun, menurut Radit, yang punya pengikut lebih dari 60 ribu di Instagram, stereotip itu sudah mulai bergeser.
Baca Juga: Dari Baju Hingga Gaya Hidup, Ada Alasan Kita Senang Meniru Idola
“Seperti namanya juga: Skin care. Care itu, kan merawat. Merawat kulit. Itu buat cewek buat cowok,” tambah Radit. “Jadi enggak ada istilahnya, kalau lo merawat diri berarti lo maskulin, eh enggak maskulin. Kalo lo enggak merawat diri berarti lo istilahnya kayak, istilahnya metroseksual tadi, gitu.”
Dalam dekade terakhir, pergeseran itu memang lebih terasa. Industri kecantikan makin terang-terangan menyasar pasar barunya: laki-laki.
Perkakas kecantikan pria yang semula cuma sampo, deodoran, dan krim cukur, berkembang menjadi pelembab, pembersih wajah, concealer, serum mata, bronzer, dan krim perawatan kulit (termasuk di dalamnya krim anti-keriput, lotion pemutih, serta pemulus kulit).
Investigasi Alexander Fury dari Independent menyebut, setidaknya pada 2016 industri ini secara global bernilai 14,8 miliar poundsterling. Sementara, menurut prediksi yang dipacak Statista, nilai industri ini bakal naik jadi US$27,76 miliar pada 2023.
Fury menyatakan perkembangan industri ini dimulai sejak 2013. Ia melihat peningkatan signifikan pembelian perkakas mandi pria pada tahun itu. “2013 adalah puncaknya, tahun pertama kalinya para pria mengeluarkan duit lebih untuk perlengkapan mandi, ketimbang perkakas mencukur,” tulisnya.
Angka-angka itu tentu saja menarik perhatian para produsen produk kecantikan. Brand besar macam Estée Lauder, Clarins, dan Kiehl’s bahkan sudah bertahun-tahun membuka cabang khusus produk kecantikan pria. Sementara, brand lain yang biasa fokus pada perempuan, juga mengikuti jejak itu, misalnya Dove yang mulai memperkenalkan produk perawatan pria mereka pada 2010.
Di Indonesia, belum ada data rinci yang bisa menggambarkan kapan fenomena ini masuk dan tumbuh. Namun, penerimaan terhadap konsep pria memakai skin care atau make up tergambar dalam survei Magdalene Juni kemarin.
Sebanyak 99,6 persen—atau 724 orang dari 727—responden, menganggap wajar laki-laki yang memakai skin care. Sebanyak 73,7 persen atau 536 responden bahkan menganggap wajar laki-laki yang mengenakan make up. Penerimaan itu makin baik setiap tahunnya.
Rachmananda Adisurya, salah satu responden kami bilang, tuntutan memakai make up dan skin care mungkin bahkan lebih besar buat pria-pria yang tinggal di kota.
“Untuk masyarakat urban, saya kira itu jadi sesuatu yang sangat wajar ya. Dalam artian, stereotip masyarakat urban, bagaimana kemudian mereka membutuhkan produk tersebut, gitu. Apa pun bentuk skin care-nya, begitu. Entah sekadar sabun cuci muka, atau lotion, atau apa pun itu. Namun, mereka membutuhkan itu ketika memang dirasa produk tersebut mampu menunjang aktivitas sehari-hari,” ungkapnya, yang mulai pakai skin care karena saran dari pasangannya.
Menurut Rachmananda, kebutuhan ini sangat bergantung pada letak geografis dan kemampuan ekonomi. Orang-orang di desa yang punya konsep maskulinitasnya sendiri tentu punya kebutuhan berbeda dari pria-pria yang tinggal di kota.
Baca Juga: ‘Influencer’ dan ‘Beauty Privilege’, Ketimpangan yang Harus Dibicarakan
Maskulinitas Beracun yang Dipelihara Industri
Masalahnya, meski konsep memakai skin care atau make up sudah lebih diterima—terutama buat mereka yang tinggal di kota—cara industri menjual produk mereka masih ditantang patriarki dan maskulinitas beracun. Industri kecantikan pria, seringnya masih terjebak konsep pemasaran yang dikotak-kotakan berdasarkan gender (gender marketing).
Meski mereka jelas-jelas membeli dan memakai produk perawatan tubuh, kebanyakan masih mengidentikkan urusan rias-merias sebagai domain perempuan.
“Kuncinya [dalam memasarkan] adalah untuk tidak terdeteksi,” kata Michele Probst, pemilik brand make up dan penata rias yang pernah mendandani Barack Obama, John Travolta, dan Kid Rock. Menurutnya, menjual produk kosmetik pada pria membutuhkan cara yang berbeda dari cara menjual pada perempuan. Ia mencontohkan sejumlah komplain pelanggan pria yang keberatan dengan kemasan paket yang mereka anggap sedikit ‘girly’.
Hal itu membuat Probst mewajibkan karyawannya membungkus produk kosmetik pria mereka dengan warna cokelat. Ia juga selalu menamai produk-produknya dengan nama yang sangat amat maskulin demi kenyamanan pelanggan.
Alasan besar kenapa kosmetik lengket dengan perempuan, adalah karena iklan-iklan di abad 20 mulai ditempeli gender.
Kapitalisme pada 1930, membuat perempuan jadi target konsumen mereka. Ini tentu saja ada kaitannya sama revolusi industri yang melihat laki-laki sebagai pencari nafkah, dan perempuan yang harus tinggal dan mengurus rumah.
Di dunia tempat para pria dimanjakan patriarki, tak semua laki-laki bisa merasa bebas memakai produk kosmetik. Seperti yang dialami Aji dan Radit.
Meski begitu, kedekatan pria dengan perkakas kecantikan sudah ada sejak lama. Sejarah itu bisa dilacak sampai zaman Firaun, ketika lelaki Mesir baru akan percaya diri ketika memakai celak. Semakin lama, cuma pekerjaan-pekerjaan tertentu dengan keterlibatan kamera yang mewajarkan pemakaian kosmetik pada pria, semisal penyanyi rock atau politisi atau aktor.
Pada 1970-an, ketika musik gotik dan punk merebak sebagai bentuk protes pada kekuasaan. Anak-anak band yang umumnya pria mulai memakai riasan wajah saat tampil di atas panggung. Robert Smith dari The Cure adalah salah satu contohnya. “Aku mulai memanjangkan rambut, pakai make up, dan lain-lainnya karena aku dilarang begitu dulu waktu sekolah,” katanya dalam wawancara dengan The Guardian, 2004 silam.
Setelah Smith, ada David Bowie, Freddie Mercury, Steven Tyler, Boy George. Dari generasi lebih muda ada Johnny Depp, Jared Leto, Brandon Flowers. Tak semuanya homoseksual macam Freddie Mercury atau Boy George. Belakangan ada Jefri Nichol, Juan (Bio One), dan Harry Styles yang juga menerapkan “fashion has no gender”.
Kebanyakan pria-pria itu adalah heteroseksual yang menolak pelabelan dalam masyarakat. Mereka menunjukkan, rias muka tak ada kaitannya dengan orientasi seksual. Obrolan ini kemudian berkembang jadi diskursus tentang queerbaiting—teknik pemasaran yang menjual kultur orang-orang queer lewat tren dan fesyen.
Baca juga: Harry Styles, Seksualitas Figur Publik, dan Peliknya ‘Queerbaiting’
Dalam Analisis Tren Industri Kecantikan 2017 Franchise Help, diestimasikan 75 persen pria memang tak memakai perkakas perawatan wajah dan kulit. Namun di saat yang sama, angka pertumbuhan pasar di sektor ini terus meningkat. Fung Global Retail Tech memang mencatat Eropa Barat sebagai daerah paling besar pertumbuhan industri perawatan tubuh prianya.
Angkanya mencapai US$12,4 miliar pada 25 dan diprediksi akan jadi US$14,4 miliar pada 2020. Namun, pertumbuhan pesat juga terjadi di Asia Pasifik, dan Indonesia masuk hitungan.
Korea Selatan masih jadi negara pemimpin di kawasan tersebut. Ia bahkan masuk daftar 10 negara di dunia dengan pertumbuhan industri kecantikan pria tertinggi. Euromonitor mencatat, tiap pria Korea rata-rata menghabiskan US$39 per tahun untuk merawat kulitnya. Ini sejalan dengan budaya masyarakatnya yang tak terlalu ricuh perkara pria bersolek atau pria yang merawat diri.
Namun Joseph Grigsby, ahli pemasaran dari Lab Series milik Estée Lauder, melihat ada perubahan tabiat yang dibawa milenial dan generasi lebih muda. Mereka yang punya pikiran lebih terbuka dari generasi sebelumnya. Sudah mulai mempraktikkan konvergensi maskulinitas dan femininitas. Hal itu ada kaitannya dengan penerimaan mereka pada figur perempuan dan konsep kesetaraan gender yang lebih maju dari generasi sebelumnya.
Grigsby melihat kini ada budaya baru yang dibawa para pria muda milenial.
“Kalau bicara kecantikan perempuan, biasanya kan ibu yang mengajari para anak perempuan mereka tentang ritual kecantikan mereka. Kalau di kalangan laki-laki, biasanya paling diajari cara bercukur. Tapi sekarang, para milenial mengajari ayah mereka untuk mengatasi kulit kering atau mata panda,” kata Grigsby pada Racked.
Baca Juga: Kulit Putih, Standar Kecantikan Peninggalan Pra-Kolonialisme yang Masih Populer
Gender Neutral Marketing itu Penting
Sekarang muncul istilah gender neutral marketing. Brand-brand mulai sadar dampak negatif dari melabeli gender ke produk-produk mereka. Ada niatan untuk lebih inklusif.
Tiap tahun angka keuntungan dari pasar produk gender neutral juga terus tumbuh. Data Pew Research menyebut 59 persen Gen Z Amerika Serikat misalnya, minta industri kecantikan untuk memproduksi make up yang bukan cuma buat laki-laki atau perempuan.
Gender neutral marketing jadi penting, terutama untuk membantu orang-orang lebih paham tentang spektrum gender yang tidak biner. Brand-brand netral ini juga membantu orang-orang yang lebih dekat dengan spektrum feminin, merasa aman waktu beli produk mereka.
Aktivis queer dan penulis Jacob Tobia bilang, “Keinginan untuk punya ruang netral gender bukan hal yang sembrono. Ia adalah keinginan lebih dalam, lebih fundamental, untuk merasa aman dan jadi bagian dunia ini.”
Jeje Bahri, ilustrator dan pekerja media, juga punya kesan yang sama. Buatnya, perjalanan mengenal make up adalah perjalanan mengenal diri sendiri. “Make up jadi alat untuk aku merasa ‘lebih perempuan’: The more feminine, the more beautiful, the more woman,” katanya.
Make up membantunya mengatasi gender disforia yang dirasakannya ketika remaja. “Tapi, overtime, aku menyadari kalau aku sebenarnya enggak terlalu merasa nyaman dengan make up—dalam konteks pemakaian sehari-hari—karena selain concern soal kondisi kulitku, aku merasa ngebohongin diri sendiri kalau terlalu sering pakai make up atau pakai make up terlalu tebal,” tambahnya.
Jeje sepakat kalau relasi dengan make up tak seharusnya jadi toksik, apalagi sampai menimbulkan dismorfia tubuh.
“Gue sendiri pakai make up dan skin care untuk kebutuhan merawat diri. Tebal-tipis maximalist-minimalist itu kan terserah kita. Sambil menunggu society kita jadi lebih inklusif, mungkin kita bisa mendorong industri dan brand untuk terus progresif ke arah sana,” pungkas Jeje.
Ilustrasi oleh Karina Tungari