Gea dan Ranting Pohon Kemenyan
Cerita pendek dengan kisah klasik yang tak lekang waktu: Ketiadaan pilihan aborsi aman bagi kehamilan tak diinginkan.
Sudah jam setengah empat pagi. Lorong rumah sakit yang terletak di pinggiran kota Jakarta ini masih begitu sepi. Aku dan kekasihku duduk persis di depan kamar jenazah. Kami menunggu keajaiban. Aku sendiri masih terus berharap apa yang kualami ini hanya mimpi.
***
Tidak seperti biasanya, pagi-pagi sekali ibu kos mengetuk pintu kamar. Rupanya ia datang untuk mengabari bahwa empat hari lagi aku bisa menempati kamar paling depan. Penghuni sebelumnya, Gea, akan balik ke Jambi. “Ibu ingat dulu kamu naksir kamar depan itu, kan? Sebelum pemilik baru datang, kamu ambil sajalah kamar itu.”
Aku mengucapkan terima kasih. Saat hendak menutup pintu, ibu kos sedikit menahannya. Ia memelankan suara lalu mengerucutkan mulutnya “bunting dia”.
“Iya, udah tau” Lalu kututup pintu.
Sebelum makan siang aku harus sudah berada di Salemba untuk memimpin aksi demonstrasi. Di bawah bendera Front Mahasiswa Anti Orba, kami bakal berdemo menuntut pembubaran partai berlambang beringin, menuntaskan agenda reformasi.
Maka sebelum pergi, kusempatkan mampir ke kamar Gea. Pintunya sedikit terbuka. Aku memanggil namanya. Ia menyahut dan memintaku masuk.
“Kok ibu kos bisa tahu?” tanyaku.
“Iya. Dia mendengarnya tak sengaja dari Widya”
Wajah Gea nampak pucat, ia meremas-remas perutnya.
“Mulas nih, sakit perutku” Aku pegang dahinya, suhu badannya tinggi.
“Kayu yang dimasukkan oleh dukun beranak itu, sudah kamu keluarkan?”
Sambil meringis ia menjawab, “Sudah dua hari lalu, tapi kok tidak ada darah keluar ya? Dan sekarang perutku sakit banget.”
“Oke, jadi hari ini tetap seperti rencana semalam ya. Sekali lagi, maaf aku enggak bisa temani, aku harus jadi Korlap aksi soalnya. Nanti Doni akan menemani kamu ke dokter. Eh, si bangsat itu masih gak bisa dihubungi?” Ia menggeleng.
“Kamu yakin akan balik ke Jambi? Semua urusan skripsi sudah beres?”
“Iya sudah beres. Aku sangat butuh istirahat dari kekacauan ini semua,” sahut Gea pelan.
“Baiklah, aku tinggal dulu kalau begitu. Kamu istirahat saja, tunggu Doni datang.”
Gea memelukku. “Makasih Aya, kamu hati-hati demo-nya ya”
Dua minggu lalu, Gea panik berat setelah mengetahui bahwa ia positif hamil. Sementara, seperti cerita klasik kebanyakan, Adit, pacarnya yang aktivis kampus itu menghilang mendadak saat diberitahu. Padahal ia sudah berjanji akan segera mencari jalan keluar.
Dalam kepanikan, Gea menerima begitu saja tawaran dari salah seorang teman kampus yang mengajaknya pergi ke dukun beranak. Setidaknya butuh waktu tiga jam perjalanan dari Jakarta untuk menuju tempat praktik peraji itu.
Baca juga: Puan Geliat Kelam Malam
Gea bercerita bahwa ada sekitar lima perempuan yang menunggu giliran dipanggil. Dukun itu rupanya sudah sangat terkenal, bisa menolong perempuan yang ingin “lancar” datang bulan. Bayarnya pun sukarela. Sangat terjangkau untuk orang-orang tak berduit.
Setelah memijat perut Gea selama lima belas menit, sang dukun memberikan batang kayu berukuran sekitar delapan sentimeter dengan diameter satu setengah sentimeter. Dia olesi batang kayu itu dengan cairan pelumas, lalu ia masukkan ke dalam jalan rahim Gea.
Dukun beranak mengatakan bahwa kayu itu bukan kayu sembarangan. Katanya itu kayu suci, ranting pohon kemenyan yang ia dapat langsung dari sebuah hutan di daerah Alas Roban, Jawa Tengah. Di ujungnya ada lubang kecil, tempat mengaitkan benang. Benangnya berfungsi untuk menarik kayu keluar. Mirip seperti benang yang ada di tampon.
Si dukun berpesan agar mereka segera ke dokter jika terjadi pendarahan dan untuk tidak lupa mencabut batang kayu itu. Gea diminta untuk mengatakan bahwa ia jatuh dari kamar mandi jika memang terpaksa harus ke dokter.
Gea cerita kepadaku bahwa dukun beranak itu memasukkan batang kayu sambil merapal semacam mantra. Gea diminta untuk mencabutnya sendiri setelah dua hari. Aku tak habis mengutuk pilihannya menemui dukun. Tetapi aku sadar betul, dalam situasi kalut, jarang sekali orang berpikir matang dalam mengambil tindakan.
Sudah setahun Gea menjalin cinta dengan Adit. Ia adalah salah satu penggerak aksi demonstrasi saat kejatuhan Soeharto. Gea sendiri adalah aktivis pers kampus. Dahsyat, kan? Aktivis forum aksi mahasiswa pacaran dengan aktivis pers kampus, sempurna sudah. Studi baik-baik saja, kehidupan asmara lancar, dan aktivisme jalan terus.
Hanya satu hal saja yang bikin aku jengkel dari hubungan mereka. Entah siapa yang mengajari, Gea merasa tidak perlu untuk menggunakan kondom saat bercinta dengan Adit. Tidak nyaman katanya. Agar tidak hamil, ia pakai sistem kalender, mengenali kapan masa subur dan tidak. Bahkan dia menciptakan istilah “hari berbunga” jika ia sedang dalam masa subur. Pada saat itulah ia akan disiplin. Meminta Adit menggunakan kondom.
“Heh, pakai kondom itu bukan cuma untuk tidak hamil, tapi juga mencegahmu untuk tidak kena penyakit, tahu enggak?” Begitu semprotku kalau dia sudah mulai memamerkan metode kalendernya itu.
“Lagi pula, memangnya kamu yakin dia cuma bercinta sama kamu?”
“Yakin!”
Entah mengapa Gea defensif, menjawab pertanyaan retoris itu. Aku malas mendebatnya. Kadang tak habis pikir dengan ketololan beberapa temanku kalau sudah menyangkut perkara seks.
Baca juga: (Bukan) Rumah untuk Semua
Demi mencari si sontoloyo Adit, aku juga meminta Doni kekasihku, melalui jaringannya, untuk mencari lelaki tak berguna yang tiba-tiba menghilang itu. Tapi sejauh ini tidak berhasil.
Meski semua teman-teman sudah dikerahkan, ia tak juga ditemukan. Bisa-bisanya laki-laki pengecut macam begitu teriak soal keadilan, demokrasi, dan anti-penindasan. Kalau ketemu, bakal kuludahi mukanya.
***
Aksi yang kupimpin lumayan lancar, tidak ada senggol-senggolan atau bahkan bentrok dengan aparat. Sangat berbeda dengan periode sebelum reformasi. Jika dulu aparat begitu represif, saat ini mereka lebih sering lunak menghadapi para demonstran. Mungkin karena masih suasana bulan madu pascareformasi.
Bubar aksi, aku menelepon rumah kos, sesuai pesan yang kuterima dari Doni melalui operator penyeranta. Widya yang mengangkat, suaranya terdengar panik, aku diminta menyusul Doni dan Gea ke sebuah rumah sakit yang namanya tidak familier untukku. Ada hal gawat katanya. Aneh. Bukankah semestinya Doni antar ke klinik dokter kandungan langganan kami?
Dari kejauhan aku sudah bisa melihat Doni yang duduk di bangku lobi depan rumah sakit. “Gea mana? Kok malah ke rumah sakit ini?”
Tangannya menarik tanganku untuk duduk di sampingnya. Dengan perlahan ia mulai menjelaskan. Saat tiba di dokter langganan kami tadi, tubuh Gea makin lemah. Ia sudah harus dipapah saat berjalan. Sakit perutnya menghebat.
Setelah memeriksa Gea, dokter memerintahkan Doni untuk segera membawa Gea ke rumah sakit. Ada perlukaan dan infeksi berat dalam rahim Gea. Peralatan di klinik tak cukup lengkap untuk menanganinya
Tiba di rumah sakit, Gea segera masuk unit gawat darurat. Saat menunggu dokter datang untuk memeriksa, ia sempat tidak sadarkan diri. Namun sesudah ditangani, ia sadar kembali dan cukup stabil. Pada saat itulah ia segera dibawa ke kamar operasi.
Namun operasi tidak berjalan lancar. Perlukaan dan infeksinya sudah begitu parah. Gea tidak bisa diselamatkan.
Aku meremas tangan Doni kencang-kencang, tak percaya dengan apa yang baru kudengar. Kucubit lenganku sendiri untuk memastikan aku sedang tidak bermimpi. Aku pukul lengan Doni, “Don, kamu sedang bercanda, kan?”
Doni tidak menjawab pertanyaanku, wajahnya memerah dan matanya mulai basah.
“Ada satu hal lagi, Ayana. Teman-teman sudah berhasil menemukan Adit. Rupanya ia mendekam di tahanan Polres. Dua minggu lalu ia ditangkap polisi karena menjual ganja. Ia coba cari duit dengan cepat agar cukup uangnya untuk membawa Gea ke klinik mahal seperti yang pernah kau tunjukkan itu.”
Suara Doni semakin samar, ia berkata sesuatu mengenai orang tua Gea yang besok akan datang dari Jambi dan kami berdua harus tinggal di rumah sakit ini, menunggu kedatangan mereka.
Tubuhku mengeras. Dadaku terasa sakit, sakit sekali.