Gender & Sexuality

Jilbab, Hijab, Cadar, dan Niqab: Memahami Kesejarahan Penutup Tubuh Perempuan

Apakah benar cadar itu mengganggu, atau ada hal lain yang lebih fundamental?

Avatar
  • April 17, 2018
  • 9 min read
  • 1877 Views
Jilbab, Hijab, Cadar, dan Niqab: Memahami Kesejarahan Penutup Tubuh Perempuan

Baru-baru ini, isu cadar menjadi berita karena Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta melarang penggunaan cadar di wilayah kampus dengan alasan anomalitas dan kecurigaan terkait perluasan radikalisme. Belum lagi reda isu tersebut, ada lagi kontroversi soal puisi Sukmawati Soekarnoputri, putri Presiden pertama Soekarno, yang membenturkan cadar dengan konde. Di media sosial, tidak sedikit pula aktivis feminis yang mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap pemakaian cadar. Beberapa berkesimpulan bahwa cadar merupakan bentuk penindasan, ada pula yang berasumsi bahwa perempuan pemakai cadar adalah korban doktrinasi.

Isu cadar dan wacana “menutup aurat” memang cukup kompleks karena menyangkut keyakinan agama dan ketubuhan perempuan. Bagaimana seharusnya kita memahami permasalahan ini? Bagaimana sebenarnya konteks kesejarahan penutup tubuh perempuan dalam tradisi Islam? Seperti apa kondisi politik yang sedang menaungi isu ini?

 

 

Pertanyaan-pertanyaan ini dikupas oleh diskusi Jakarta Feminist Group Discussion pekan lalu yang bertajuk, “Jilbab, Cadar, Niqab, dan Hijab: Antara Pembebasan dan Pemenjaraan Perempuan”. Sebagai narasumber adalah ahli sosiologi dan antropologi agama, Lies Marcoes Natsir, dari Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB)—sebuah lembaga riset non-pemerintah yang mengadvokasi kebijakan guna memperjuangkan hak kelompok marginal akibat pandangan sosial keagamaan yang diskriminatif, dan Aquino Hayunta, mantan manajer program Yayasan Jurnal Perempuan yang sekarang bekerja di Koalisi Seni Indonesia (KSI), sebuah organisasi yang mengadvokasi kebijakan publik dalam bidang kesenian.

“Penting untuk melihat isu ini dengan perspektif feminisme, sebab pada dasarnya, feminisme sebagai pendekatan kritis mempersoalkan ketertindasan perempuan, baik karena tubuhnya atau persepsi atas dirinya. Cadar tentunya berkaitan langsung dengan persoalan tersebut,” jelas Lies, membuka diskusi.

Secara garis besar, kedua pembicara menggarisbawahi bahwa perspektif feminisme sama sekali tidak berupaya mempolitisasi ataupun mengatur tubuh perempuan.

Aquino secara spesifik menekankan bahwa pandangan-pandangan feminis bermuara pada aspek pentingnya memastikan bahwa perempuan memiliki kendali untuk menentukan apa yang baik atau buruk bagi dirinya sendiri.

“Dalam feminisme, terdapat dua posisi yang mungkin diambil. Pertama, feminis yang tidak mempermasalahkan jilbab, cadar, niqab, atau hijab percaya bahwa perempuan memiliki otonomi untuk memutuskan apa yang ingin mereka kenakan. Sedangkan, kelompok feminis yang menolak cenderung berasumsi bahwa ketika perempuan memutuskan untuk mengenakannya, mereka sedang berada di bawah tekanan lingkungan sosial, sehingga keputusan yang diambil bukan keputusan pribadi melainkan karena tuntutan atau paksaan,” ujar Aquino.

Perempuan dalam Kesejarahan Islam dan Transisi Zaman

Untuk dapat memahami tradisi penggunaan penutup kepala, Lies mengklasifikasikan jenis-jenisnya berdasarkan letak geografisnya.

“Di Indonesia, kita mengenal penutup kepala yang tidak terlalu panjang, sekitar sebahu atau sepunggung, yang secara umum dikenal dengan sebutan jilbab—meski sebenarnya istilah jilbab dalam bahasa Arab merujuk pada jenis pakaian abaya (gamis). Di Iran, jenis yang digunakan bernama chador, yakni jubah hitam yang menutup seluruh tubuh pemakainya kecuali bagian wajah. Sedangkan, di Afghanistan, jenis yang digunakan bernama burka, yakni serupa chador, umumnya berwarna biru, namun menutup juga bagian wajah dan ada jaring-jaring di area mata. Mirip dengan chador dan burka adalah niqab yakni jubah hitam dengan bagian wajah tertutup, kecuali di bagian mata,” jelas Lies.

Pakaian-pakaian tersebut berakar dari tradisi pada masa pra-Islam di jazirah Arab sampai Afrika, yang ditandai dengan pola masyarakat yang bertransisi dari masyarakat nomaden (berpindah-pindah tempat) ke masyarakat pra-modern, ujar Lies. Pada zaman ini tradisi literasi, puisi, dan sastra sudah ada, dan perekonomian tidak lagi berupa barter, melainkan perdagangan, tambahnya.

“Pada masa itu, wilayah Mesir, Ethiopia, dan Yemen termasuk wilayah-wilayah yang cukup dinamis. Kota Madina termasuk area metropolitan, sedangkan Makkah dikenal sebagai tempat orang berkumpul, berdiskusi, dan mengisi air perbekalan untuk perjalanan jauh. Di sisi lain, area kampung pesisir, yakni tepatnya di Bukit Nejd, memiliki corak budaya yang sangat homogen dan tertutup. Baju hitam yang sekarang digunakan di Arab Saudi berasal dari tradisi masyarakat Nejd,” Lies menjelaskan.

Wilayah-wilayah tersebut memiliki budaya tribal dengan banyak klan, dan sumber hukum yang berlaku adalah perjanjian-perjanjian antar kelompok.

“Kekuatan tiap klan ada pada kemampuan mengupayakan perjanjian, dan harga diri klan bergantung pada seberapa mampu mereka melindungi anggota perempuan. Dengan kata lain, penjagaan perempuan bukan karena kesadaran akan pentingnya hal tersebut, melainkan demi martabat klan,” ungkap Lies.

Dalam corak masyarakat seperti itulah Islam lahir, yang memengaruhi, misalnya, posisi perempuan di barisan belakang saat salat berjamaah, sebagai wujud upaya perlindungan perempuan terutama dalam situasi perang.

“Artefak sejak zaman sebelum Islam masuk menunjukkan bahwa perempuan merupakan suatu hal yang memalukan. Salah satu kisah, misalnya, menceritakan sosok khalifah Umar (bin Khatab) yang sering menangis karena teringat bagaimana ia membunuh anak perempuannya. Pada masa itu, memang pembunuhan anak-anak perempuan sangat wajar dilakukan,” kata Lies.

Oleh karena itu, agar perempuan dapat bertahan dalam tradisi tribal tersebut, perempuan harus “dimaskulinkan”, atau menjalankan peran laki-laki, yakni termasuk memiliki kemampuan berperang, mengendarai kuda, main pedang, berenang, hingga berdagang.

Lantas, apa yang ditawarkan oleh Islam untuk konteks zaman yang demikian?

“Pertama, Islam menawarkan reformasi hukum. Misalnya, perilaku zina yang pada waktu itu dihukum rajam, ditawarkan alternatif oleh Islam, yakni dalam bentuk penebusan, sehingga jika berzina maka tebuslah beberapa budak; berbuat dosa, maka beri makan ke anak yatim piatu, atau nafkahi janda, dan lain sebagainya. Pada dasarnya, Islam berusaha mengganti hukum-hukum yang sifatnya fisik, dengan bentuk-bentuk penebusan,” papar Lies.

“Kedua, Islam menyuarakan revolusi kelas. Masyarakat pada zaman itu adalah masyarakat kelas, salah satunya diperlihatkan dengan cara perempuan berpakaian.”

Pakaian budak pada zaman itu hanya menutupi bagian pusar hingga betis, sementara perempuan dari kampung Nejd mengenakan pakaian jubah yang menutup wajah berwarna hitam, sedangkan, perempuan kelas atas yang aristokrat, seperti yang disebutkan dalam Alquran, menggunakan “perhiasan-perhiasan tali di lehernya”, yang menyiratkan kesombongan dan dikritik oleh Islam.

“Ketika sedang dalam upaya membangun peradaban Islam, Nabi Muhammad memanggil semua unsur rakyat. Nabi lantas berkata, ‘Bagi yang mengenakan penutup wajah, buka! Di sini amalmu sama dengan yang lain, karena kamu adalah seseorang’. Hal ini menjadikan kelompok perempuan yang anonim menjadi dikenali.

“Bagi kelas atas, ‘Tutup dadamu, karena kekayaanmu tidak akan dibawa ke mana-mana’. Untuk kelas budak, ‘Ulurkan jilbabmu, sebab di sini kau bukan milik siapa-siapa, bukan juga milik tuanmu’. Dengan kata lain, perintah ‘menutup aurat’ pada saat itu menandakan terjadinya revolusi kelas!” papar Lies.

Belakangan, pada abad 18, muncul kebudayaan baru dari pegunungan Nejd yang mengkritik masyarakat hedonisme. Kebudayaan ini kemudian dikenal dengan sebutan Wahabisme.

“Saat itu, Abdullah bin Wahhab yang memprotes hedonisme mendapat proteksi dari Inggris. Momen tersebut menandai transisi Islam era kolonialisme. Di era ini, kebiasaan untuk melindungi atas nama maskulinitas laki-laki tinggi sekali. Perempuan dirumahkan, karena berbeda dengan konteks tribal di masa sebelumnya, laki-laki tidak mampu melindungi perempuan dari orang-orang penjajah,” ujar Lies.

“Hasilnya, perempuan dilarang keluar rumah karena dinilai terlalu berbahaya. Sehingga, pada masa itu, hijab berperan penting memungkinkan perempuan untuk meninggalkan rumah. Di Afghanistan misalnya, perempuan pada masa kolonial baru bisa keluar rumah untuk mengambil air, pergi ke dokter, dan tempat lain dengan lebih bebas, saat ia memakai hijab. Tentu dalam konteks ini hijab berperan membebaskan perempuan.”

Kesejarahan Hijab dalam Konteks Politik Indonesia

Dalam konteks sejarah Indonesia, perguliran diskursus mengenai hijab terjadi terutama pada masa pemerintahan Orde Baru, yang merepresi kelompok dan simbol-simbol agama, termasuk jilbab, sebagai pengekangan kebebasan berekspresi.

“Di masa awal pemerintahan Orde Baru, ada larangan bagi perempuan Muslim untuk mengenakan jilbab. Larangan tersebut berhubungan dengan pengekangan kebebasan berekspresi. Rezim otoriter tentu menekan berbagai bentuk ekspresi, termasuk ekspresi keagamaan untuk mencegah terbentuknya kelompok oposisi. Dengan membungkam ekspresi, maka tidak muncul keragaman pemikiran dan perbedaan identitas,” ungkap Aquino.

“Isu hijab dan cadar itu sendiri mengemuka pada 1979-80an. Pada saat itu, gerakan Islam Indonesia sedang terinspirasi oleh Revolusi Iran. Studi Islam pada waktu itu sangat terinspirasi dengan upaya penggunaan identitas politik sebagai Muslim atau Islam untuk melawan pemerintah. Oleh karena itu, pada masa Orde Baru, identitas Islam diredam—termasuk juga komunisme, gerakan perempuan, dan gerakan anak muda,” jelas Aquino.

Ia juga menggarisbawahi bagaimana jilbab diatur dalam standardisasi penggunaan seragam sekolah pada rezim Orde Baru.

“Akibatnya, delapan siswi di Bandung terancam dikeluarkan karena adanya kekhawatiran bahwa jilbab yang mereka kenakan mengandung unsur politik yang melawan pemerintah,” tambahnya.

Selain itu, Aquino juga menyebutkan berkembangnya rumor-rumor untuk mencegah pemakaian jilbab di Indonesia, misalnya “jilbab beracun”, mengacu pada perempuan-perempuan yang dipercaya menyebarkan racun di pasar-pasar.

“Pada isu jilbab, titik balik terjadi ketika rezim Orde Baru merasa memerlukan dukungan Islam. Soeharto sadar ia tak dapat menjadi presiden terus-menerus, dan pesaing kuatnya pada waktu itu adalah Benny Moerdani, yang beragama Katolik. Dalam tubuh ABRI, pendukung Soeharto dan Benny Moerdani sama-sama kuat, sehingga potensi bagi Benny untuk menjadi penerus kepresidenan cukup tinggi. Pada saat itulah, Soeharto akhirnya mencabut larangan berjilbab,” jelas Aquino.

Pencabutan larangan berjilbab, ujarnya, menandai masa-masa awal kemesraan Orde Baru dengan Islam, disusul dengan berita bahwa Soeharto naik haji dan ibu negara, Tien Soeharto, yang tiba-tiba menggunakan jilbab.

“Kelompok yang menolak larut dalam Islam politik, tidak lain adalah NU (Nahdlatul Ulama) yang pada saat itu dipimpin oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Pada perkembangannya, ia menjadi sosok oposisi yang cukup ditakuti oleh Soeharto,” tambahnya.

Kepentingan pemerintah pada saat itu menjadikan ekspresi perempuan sebagai komoditas, yang disesuaikan dengan kepentingan politik.

“Ketika dukungan Islam di ranah politik dibutuhkan, muncul peraturan daerah (perda) syariat dan pemakaian jilbab di beberapa kabupaten diwajibkan, bahkan warga non-muslim terpaksa memakai jilbab karena perda tersebut,” ungkap Aquino.

“Sementara itu, di Sumatra Utara, pemakaian jilbab dilarang di kalangan dokter karena dianggap menghambat kontak komunikasi dengan pasien. Sering terjadi pertarungan ketat antara identitas nasionalis dengan identitas Islamis,” ujarnya.

Aquino menyimpulkan bahwa aturan mengenai penggunaan atribut agama, termasuk jilbab, sering kali bergantung pada persaingan kekuatan-kekuatan politik yang sedang berkompetisi untuk meraih kekuasaan.

“Sering kali perdebatan dan perpecahan disulut untuk kepentingan-kepentingan politik. Oleh karena itu, kita semua dituntut untuk senantiasa kritis dalam menanggapi perguliran isu,” tutupnya.

Lies menambahkan bahwa di tengah kontroversi soal cadar, masyarakat seharusnya mempertanyakan apakah benar cadar atau jilbab mengganggu atau ada hal lain yang lebih fundamental.

Di tengah meningkatnya konservatisme agama di negara ini, di ruang publik ada kontestasi antara hukum manusia dan “hukum Tuhan”, yang diperburuk oleh “power” yang ikut bermain, ujarnya.

“Daripada menjadikan perempuan sebagai battleground atau arena berperang, lebih baik masyarakat menaruh perhatian terhadap gerakan politik yang mengancam demokrasi. Dan kita selalu ragu untuk bergerak atas nama demokrasi, malah terseret pada soal-soal partikular.”

Baca juga tentang bagaimana Alquran tidak mengajari membenci kelompok LGBT.



#waveforequality


Avatar
About Author

Ayunda Nurvitasari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *