Kekerasan dalam Pacaran: Bukan Tanggung Jawab Kita untuk Perbaiki Pasangan
Sering kali perempuan bertahan dalam hubungan karena ada perasaan bertanggung jawab untuk memperbaiki pasangannya yang melakukan kekerasan dalam pacaran.
“Sayang, maafin aku ya, kita balikan ya. Aku janji enggak bakal kasar lagi sama kamu.”
“Sayang, maafin aku ya. Aku enggak maksud pukul kamu kok. Aku kan sayang sama kamu.”
Kedua kalimat itu umum diucapkan oleh pelaku kekerasan dalam pacaran. Setelah pertengkaran hebat, yang juga melibatkan kekerasan verbal dan fisik, biasanya pelaku (umumnya laki-laki) akan meminta maaf, bahkan menangis dan mengiba-iba, dan berjanji untuk tidak akan melakukannya lagi. Sering kali perempuan terbujuk dan kembali lagi pada hubungan tersebut, untuk kemudian terseret lagi ke dalam pusaran kekerasan.
Psikolog klinis Inez Kristanti dari Klinik Angsamerah mengatakan perempuan pada dasarnya memang memiliki sifat memelihara dan mengayomi sehingga ada perasaan bertanggung jawab untuk memperbaiki pasangannya yang suka melakukan kekerasan.
“Banyak korban (kekerasan dalam pacaran) tidak putus saja dengan pasangannya dan lebih memilih mencari pertolongan karena korban percaya bahwa ia bisa menolong pasangannya dan mengubah pasangannya menjadi lebih baik,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (9/12).
“Harus diingat bahwa struggle pasanganmu itu bukan menjadi tanggung jawabmu untuk memperbaiki. Sebagian besar dari kita tidak berkompeten dalam hal itu, sehingga cukup sadarkan dia bahwa dia memiliki masalah dan perlu mencari bantuan profesional,” katanya.
Inez adalah salah satu pembicara dalam temu wicara “Cinta Tanpa Kekerasan” yang diselenggarakan oleh Aliansi Satu Visi, lembaga non-pemerintah yang bergerak dalam bidang hak-hak seksual dan reproduksi, dan 16 Film Festival, dalam rangka kampanye tahunan 16 Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP). Temu wicara itu dilakukan setelah pemutaran film Posesif yang memotret kekerasan dalam pacaran di antara pasangan remaja.
Kekerasan dalam pacaran merupakan salah satu bentuk kekerasan yang banyak dihadapi perempuan. Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada 2017 menunj
6ukkan, kekerasan dalam rumah tangga/ranah personal, termasuk pacaran, menempati urutan tertinggi dalam kasus-kasus yang dilaporkan dan ditangani oleh berbagai lembaga negara dan lembaga layanan. Dari 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan, 10.205 kasus di antaranya adalah kekerasan dalam rumah tangga/relasi personal. Dari 10.205 kasus tersebut, kekerasan terhadap istri menempati urutan tertinggi yaitu 57 persen, diikuti kekerasan dalam pacaran sebanyak 21 persen.
Inez mengatakan bahwa kekerasan dalam pacaran ini terjadi karena adanya ketimpangan kuasa sehingga ada keinginan untuk mengontrol pasangannya.
“Faktor-faktor lainnya itu sebenarnya sangat kompleks. Kalau dalam film Posesif diperlihatkan bahwa kekerasan itu berakar dari hubungan orang tua dan anak yang tidak sehat, tapi juga tidak selalu demikian. Dan apa pun yang terjadi dalam kehidupan si orang tersebut itu tidak bisa menjadi pembenaran bahwa orang tersebut melakukan kekerasan,” ujarnya.
Redaktur pelaksana Magdalene, Hera Diani, yang juga menjadi pembicara dalam temu wicara tersebut, mengatakan bahwa budaya patriarkal yang mengakar membuat cinta dianggap sebagai kepemilikan. Konstruksi gender yang tradisional juga serta budaya maskulinitas yang toksik membuat laki-laki sulit mengungkapkan emosinya karena rasa malu, takut, atau sedih itu dianggap sebagai ekspresi feminin, ujarnya.
“Laki-laki sering diajarkan untuk tidak menampakkan emosi mereka. Akibatnya ketika mereka takut atau merasa terancam, selalu menggunakan amarah dan berujung pada kekerasan,” ujar Hera.
Inez mengatakan bahwa ada rambu-rambu untuk mengenali apakah suatu hubungan dikategorikan sehat atau tidak. Di dalam relasi yang sehat, pasangan saling menghargai, relasi di antara keduanya setara, dan ada rasa saling menghormati satu sama lain. Sedangkan dalam relasi yang tidak sehat, yang terjadi sebaliknya.
“Mulai ada keinginan untuk mengontrol si pasangan, mulai dari hal-hal kecil seperti pakaian sampai cara bergaul. Biasanya mereka mengisolasi pasangan dari pergaulan,” ujarnya.
Hera mengatakan bahwa masalah privasi sering kali dianggap remeh dan pelanggaran privasi seperti selalu mengecek keberadaan pasangan secara obsesif dianggap ekspresi cinta.
“Padahal hal-hal seperti pasangan mengecek email kita, meminta password dan mengecek media sosial, dan lain-lain itu adalah pelanggaran privasi dan sebuah sikap yang posesif. Hal ini malah diromantisasi dan diterima dalam masyarakat,” ujarnya.
Seks sebagai senjata
Dalam kasus-kasus kekerasan dalam pacaran, seks sering kali dijadikan senjata karena mereka berpikir jika ia sudah berhubungan seks dengan pasangan, maka ia berhak memiliki hidup pasangannya, ujar Inez. Di tengah masyarakat yang menabukan hal-hal berbau seksualitas dan mengkultuskan keperawanan, para korban kekerasan dalam pacaran menjadi tidak berani mengungkapkan masalahnya karena takut dihakimi, ujarnya.
“Perspektif mengenai seks dan keperawanan ini termasuk faktor paling besar perempuan tetap menjalani hubungan yang tidak sehat tersebut. Itu cukup sering saya temukan. Ini yang membuat situasinya semakin kompleks,” ujarnya.
“Dinamika di dalam internal si perempuan itu sangat bergejolak. Kita perlu membantu si perempuan itu untuk membicarakan hal itu, agar dapat tertangani dengan baik. Perspektif yang salah mengenai selaput dara dan unsur kepemilikan terhadap pasangan inilah yang harus diubah. Saya selalu bilang dan mengedukasi mereka bahwa kamu tuh berharga dan itu tidak dinilai dari selaput dara kamu,“ tambahnya.
Solusi lain dalam mengatasi dan menghadapi kekerasan dalam pacaran, ujar Inez, adalah bahwa kedua belah pihak harus sadar mengenai relasi mereka, apakah ucapan-ucapan kita sebagai pasangan memang untuk memberikan saran konstruktif bagi pasangan kita atau untuk mengontrol pasangan kita.
“Jika sudah menyadari hal tersebut, segeralah meminta bantuan pada pihak profesional,” tutur Inez.
Sering kali ditemukan bahwa korban tidak sadar dirinya berada dalam hubungan yang tidak sehat dan malah tetap bertahan, karena sebagian dari kita belum cukup memahami dan menghargai diri sendiri, ujar Inez.
“Selama kita merasa bahwa cinta yang kita layak dapatkan segini aja, kita akan sulit keluar dari hubungan yang tidak sehat tersebut,” tambahnya.
Dalam kasus kekerasan dalam pacaran, peran teman sangat signifikan dalam membantu memberikan saran karena korban sering kali tidak sadar bahwa mereka mengalami hal itu.
“Walaupun melelahkan, justru sangat penting untuk menemani teman kita. Selain itu kita juga perlu mengingatkan teman kita untuk mencari bantuan profesional,” ujar Inez.