Film ‘Posesif’ Potret Kekerasan dalam Pacaran
Tidak seperti film remaja Indonesia kebanyakan, film ini menyoroti kekerasan dalam pacaran dan kompleksitas di dalamnya.
Kekerasan dalam pacaran (KDP) kerap kali menjadi isu yang disepelekan oleh banyak orang. Berbeda halnya dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Adanya status ‘menikah’ membuat hal ini dianggap lebih pelik, apalagi jika ingin berpisah. Pasangan yang sudah menikah harus memikirkan anak, keluarga besar, harta gono-gini, dan birokrasi untuk mengurus perceraian. Belum lagi stigma negatif menjadi seorang janda bagi perempuan yang membuat kasus KDRT dianggap lebih berat untuk diselesaikan.
Dalam kasus KDP, karena dianggap tidak adanya kompleksitas hubungan seperti dalam pernikahan, banyak orang yang dengan mudahnya menanggapi dengan pernyataan “Ya sudah, putus saja”. Namun, apakah benar semudah itu? Tidak selalu, seperti yang ditunjukkan dalam Posesif (2017), film Indonesia yang disutradarai oleh Edwin dan baru saja diluncurkan ini.
Film ini memperlihatkan hubungan pelik antara Lala (Putri Marino), siswi SMA yang juga atlet lompat indah, dan Yudhis (Adipati Dolken), seorang siswa baru di sekolahnya.
Penggambaran kisah mereka disimbolkan dengan penguin, yang merepresentasikan kecintaan Lala pada olahraga air dan juga mewakili persona Yudhis, mengingat penguin merupakan binatang yang seumur hidupnya hanya mempunyai satu pasangan.
Awalnya, hubungan Lala dan Yudhis terlihat manis seperti layaknya pasangan remaja yang baru saja jatuh cinta. Perasaan yang melayang-layang digambarkan dengan baik oleh adegan slow motion Lala yang melompat dari ketinggian. Tetapi kemudian Lala mulai mengalami kekerasan. Dari mulai kekerasan fisik hingga psikis ia terima dari Yudhis.
Seorang teman sempat bertanya, “Kenapa enggak putus saja, ya?”. Film ini, menurut saya cukup menggambarkan bagaimana Lala dimanipulasi oleh Yudhis sehingga Lala tetap bertahan dalam hubungan yang tidak sehat. Yudhis berhasil membuat Lala berempati, dengan memohon-mohon dan meminta maaf hingga menyakiti diri sendiri, ketika hubungannya hendak diakhiri. Hal ini memang terjadi dalam banyak hubungan yang di dalamnya ada unsur KDP, yang membuat sulit bagi korban untuk keluar dari hubungan tersebut.
Belum lagi ketika ayah Lala, alih-alih memberikan dukungan kepada anaknya dan mendengarkan keluh kesahnya, ia malah melakukan victim blaming dan slut shaming karena Lala melanggar peraturan ayahnya untuk tidak membawa laki-laki ke rumah dan menyebut Lala sebagai anak yang memalukan keluarga. Hal ini membuat Lala kemudian merasa bahwa Yudhis adalah satu-satunya tempat kembali.
Tidak seperti film percintaan remaja Indonesia kebanyakan, film ini tidak berusaha menghakimi Lala atas keputusan-keputusan yang ia ambil. Jika kita biasa diberikan tayangan yang memojokkan remaja yang dimabuk cinta hingga memutuskan melakukan hubungan seks di luar nikah dan menyalahkan mereka, patut disyukuri film ini tidak melakukannya.
Dalam film tersebut juga diperlihatkan bahwa seseorang yang melakukan kekerasan bisa jadi datang dari keluarga yang melakukan kekerasan juga. Diperlihatkan bahwa Yudhis kerap kali mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari sang ibu (Cut Mini Theo). Karakter Ibu digambarkan sebagai orang tua tunggal yang ditinggalkan suami, yang juga melakukan kekerasan. Bagaimana perilaku seperti itu muncul menjadi sebuah lingkaran setan yang tidak akan pernah putus.
Hal tersebut mengingatkan saya pada serial pendek dari HBO yang berjudul Big Little Lies, di mana seorang anak kecil melakukan kekerasan, hingga kekerasan seksual kepada teman sekelasnya, lantaran ia meniru perilaku ayahnya di rumah.
Menurut data Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), ada 2.734 kasus KDP yang terjadi sepanjang 2016. Kebanyakan yang menjadi korban KDP adalah perempuan, disebabkan beberapa faktor mulai dari rasa takut, rasa bersalah, rasa malu, dan merasa tidak memiliki dukungan secara sosial maupun individual.
Dalam film Posesif, Lala memiliki dua orang teman yang benar-benar peduli pada Lala, yang membantu Lala untuk bangkit. Mereka bisa menjadi panutan kita dalam menghadapi seorang yang mengalami KDP. Sesungguhnya, korban tidak butuh dihakimi, mereka hanya butuh didengar.
Shela HP adalah seorang motion graphic designer. Ia mencoba lebih produktif di luar pekerjaannya, dan dia mencoba untuk bertahan di dunia yang menyedihkan ini.
*Photo Courtesy of Palari Films