Putus Kontrasepsi dan Hambatan Program Keluarga Berencana Lainnya
Putus kontrasepsi adalah salah satu faktor penghambat program keluarga berencana di Indonesia.
Sudah hampir empat tahun Yendi Amalia dan suaminya memutuskan untuk tidak lagi menggunakan alat kontrasepsi. Sebelumnya, pasangan itu menggunakan kondom, namun kemudian mereka memutuskan untuk tidak menggunakan kontrasepsi apa pun.
“Awalnya saya sempat terpikir untuk pakai pil KB. Sudah cek ke dokter tapi dia tidak merekomendasikan karena ada masalah hormonal. Akhirnya kami bersepakat untuk pilih kondom,” ujar Yendi, 44, kepada Magdalene.
“Tapi sudah empat tahun ini enggak pakai karena ya ribet juga bawa kondom ke mana-mana. Lagi pula kami belum punya anak, jadi kalau hamil ya sudah, kami terima. Nanti saja habis lahiran, pasti saya ber-KB,” ia menambahkan.
Keputusan Yendi untuk putus kontrasepsi didasarkan pada kesepakatan dan kesadaran bersama dengan pasangan. Lain halnya dengan “Nunik”, 48, yang putus kontrasepsi karena dilarang suaminya, yang berpandangan bahwa program Keluarga Berencana (KB) itu haram. Selain tidak memperbolehkan Nunik memakai alat kontrasepsi, suaminya pun enggan menggunakan kondom. Alhasil, perkawinan mereka yang berusia 27 tahun itu telah dianugerahi enam anak yang jarak usianya berdekatan.
Baca juga: Menengok Dampak Jangka Panjang Kehamilan Tak Direncanakan Selama Pandemi
Anak bungsu mereka baru saja masuk sekolah dasar. Dengan usia yang sudah menginjak 50, Nunik sering merasa kewalahan mengurus anak.
“Di tahun 90-an, saat anak ketiga kami lahir, saya sempat KB suntik tapi setelah setahun, putus aja deh karena suami enggak setuju,” ujar Nunik.
“Ya daripada ribut, saya nurut aja, yang penting dia mau tanggung jawab mencari nafkah,” katanya.
Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, 27 persen perempuan menghentikan pemakaian kontrasepsi satu tahun setelah memulai. Tingkat putus kontrasepsi lebih tinggi pada pil (41 persen), kondom (31 persen), dan suntikan (25 persen), dibandingkan dengan metode jangka panjang seperti intraurinal device/IUD (6 persen) dan implan (8 persen). Tingkat putus pakai kontrasepsi bahkan meningkat dari 20 persen (SDKI 2002-2003) menjadi 26 persen (SDKI 2007).
Survei Kinerja dan Akuntabilitas Program Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga (SKAP) pada 2019 juga menunjukkan, hampir 2.500 orang memilih tidak memakai kontrasepsi karena alasan tidak nyaman, takut akan efek sampingnya, masalah kesehatan serta akses pemasangan kontrasepsi yang tidak terjangkau.
Hilangnya akses karena pandemi
Eni Agustina, Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), mengatakan, penolakan pemakaian alat kontrasepsi dan putus kontrasepsi menjadi salah satu hambatan dalam penerapan KB nasional, dan berdampak pada tingginya angka kehamilan yang tidak diinginkan.
“Semuanya diperparah dengan kurang optimalnya sertifikasi kompetensi tenaga kesehatan KB. Ditambah dengan masih rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan reproduksi, perilaku berisiko, dan pendidikan seksual pada remaja dan Pasangan Usia Subur (PUS),” ujar Eni dalam konferensi pers virtual untuk peringatan Hari Kontrasepsi Sedunia (24/9).
Baca juga: Kontrasepsi untuk Laki-laki: Mengapa Banyak yang Ogah Pakai?
Di tengah pandemi ini, dengan semakin terhalangnya akses ke pelayanan kesehatan, banyak akseptor KB antaranya yang memilih putus kontrasepsi karena takut untuk ke rumah sakit, kata Eni.
Badan PBB untuk Dana Kependudukan, UNFPA, mencatat, sejak April 2020 diperkirakan lebih dari 47 juta perempuan dapat kehilangan akses kepada pelayanan kontrasepsi secara global, yang berpotensi menghasilkan 7 juta kehamilan baru yang tidak direncanakan akibat tidak ada atau kurangnya akses terhadap pelayanan kontrasepsi di masa pandemi.
“Kami terus memikirkan jalan terbaik untuk menjangkau KB dari mulai bermitra dengan lembaga sampai menciptakan klikKB agar mudah diakses. Membludaknya angka kehamilan tidak diinginkan (KTD) tentu bukan apa yang kita harapkan,” ujar Eni. KlikKB adalah aplikasi ponsel yang berisi informasi soal pemeriksaan dan tips-tips keluarga berencana.
Ia mengatakan khawatir tingginya angka dropout KB sekarang ini bisa meningkatkan jumlah penduduk, yang berdampak pada tingkat kesehatan, kesejahteraan, dan kualitas pendidikan anak. Di sisi lain, besarnya angka kejadian putus kontrasepsi secara tidak langsung menunjukkan perlunya perbaikan dalam pemberian bimbingan tentang pemilihan alat/cara kontrasepsi, pelayanan lanjutan dan penyediaan pelayanan yang lebih luas, tambah Eni.
Akseptor pria rendah
Kemudahan akses dan keragaman metode kontrasepsi adalah salah satu faktor terjadinya putus kontrasepsi. Di Indonesia terdapat dua kategori metode kontrasepsi yaitu, metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) yang terdiri dari IUD alias spiral, implan, susuk, tubektomi dan vasektomi. Kedua, metode kontrasepsi jangka pendek (MKJP) yang terdiri dari kondom, pil dan suntikan.
Menurut Ari Widiastuti, Kepala Seksi Jaminan Pelayanan KB sekaligus Analis Kebijakan Ahli BKKBN, sekarang ini BKKBN aktif mengampanyekan keikutsertaan akseptor pria dengan memberikan subsidi dan sosialisasi vasektomi dan tubektomi, agar angka pengguna KB lebih setara sehingga tidak hanya dibebankan kepada perempuan saja.
Saat ini lebih banyak perempuan yang memakai kontrasepsi, yaitu pada angka 61,9 persen dari perempuan usia subur, sementara laki-laki 4,4 persen. Laki-laki yang melakukan metode vasektomi masih ada di angka 0,02 persen.
Rendahnya pengetahuan kesehatan reproduksi membuat metode vasektomi mendapat penolakan, karena dianggap menyalahi kodrat, ujar Ari.
“Padahal kan vasektomi itu saluran spermanya yang kita tali, tapi ada yang beranggapan saluran yang lain. Kebanyakan suami cuman mau support (KB) tapi enggak mau berperan aktif,” ujarnya.
Koordinator Nasional Layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Henny Widyaningrum mengatakan, metode kontrasepsi di Indonesia belum seberagam di negara lain. Pil KB untuk laki-laki, misalnya, masih belum tersedia di Indonesia padahal sudah gencar disosialisasikan di dunia beberapa waktu lalu, tambahnya.
Henny juga menyoroti bagaimana pelayanan KB masih terbatas bagi mereka yang sudah menikah saja, padahal seharusnya semua orang punya hak untuk dilayani saat ia memutuskan untuk KB.
“Ada perempuan yang berumur 28 sampai 30 tahun dan butuh kontrasepsi, mereka masih sulit mendapatkannya. Di lapangan, masih ada para pemberi layanan yang bertanya kepada akseptor, mereka sudah menikah apa belum. Di beberapa kasus pelayanan kontrasepsi, masih ada yang mengharuskan mereka untuk membawa pasangan,” ujar Henny kepada Magdalene.
Ari mengatakan, BKKBN tidak memfasilitasi pelayanan KB bagi mereka yang belum menikah karena mengacu pada aturan pembangunan keluarga definisi pemerintah, yang menggarisbawahi pasangan yang jelas secara hukum atau terikat dalam ikatan pernikahan.
“Ya biar bagaimana pun di Indonesia kan negara normatif yang punya aturan sendiri. Kebanyakan juga kalau bertentangan dengan agama akan ditolak. Kalaupun belum menikah sebaiknya jangan berhubungan badan, mending dialihkan ke hal-hal positif saja,” ujar Ari.
Alasan agama
Dalih agama, seperti yang dipaparkan Nunik, merupakan salah satu faktor putus kontrasepsi atau menolak kontrasepsi dalam masyarakat. Hasil SKAP pada 2019 menunjukkan, ada hampir 53 persen perempuan yang sudah menikah dan menolak menggunakan kontrasepsi. Dari 7.701 perempuan responden, 247 orang di antaranya atau 3,2 persen menolak kontrasepsi karena “terserah Tuhan” alias fatalistik, sedangkan perempuan yang benar-benar percaya bahwa itu larangan agama hanya 31 orang.
Sejak April 2020 diperkirakan lebih dari 47 juta perempuan dapat kehilangan akses terhadap pelayanan kontrasepsi secara global, yang berpotensi menghasilkan 7 juta kehamilan baru yang tidak direncanakan.
Penolakan KB karena alasan agama jamak ditemukan di daerah yang mayoritas penduduknya konservatif. Bidan dari Puskesmas Siliwangi, Garut, Ria Rafika Oktaviani mengatakan, dirinya kerap kali harus berhadapan dengan kasus seperti itu.
“Memang susah sih kalau sudah ngomongin agama, takutnya jadi salah paham. Ya enggak apa-apa kalau memang dia prinsipnya begitu tapi kan di agama juga ya dinyatakan harus dilihat ada enggaknya mudharat (membahayakan),” ujar Ria kepada Magdalene.
“Sekarang kalau mau diartikan ikut KB itu sama dengan tidak bersyukur atas apa yang dikasih Allah, dia juga kan harus memikirkan kesehatan dirinya sendiri, rahimnya, pendidikan anaknya, kesejahteraan anak dan banyak faktor lain. Itu selalu jadi fokus konseling,” ia menambahkan.
Baca juga: Di Indonesia, Aborsi Bukan Sebuah Pilihan
Kendati demikian, Ria mengatakan bahwa dirinya hanya berperan sebagai pihak penyampai dan edukator, jadi ia tidak punya wewenang untuk mengintervensi keputusan orang-orang yang menolak menggunakan KB.
Ari Widiastuti mengatakan, selama sepuluh tahun dirinya berkecimpung di BKKBN, pelibatan tokoh agama dalam mensosialisasikan KB apalagi di daerah terpencil sangatlah penting. Meski sekarang ini informasi tentang KB sudah lebih gampang diakses namun peran serta pemerintah kabupaten dan daerah sangat signifikan.
“Memang dulu represif, orang cenderung ikut KB karena takut dengan tentara. Sekarang itu kan KB bersifat pilihan. Tapi juga dengan peraturan pemerintah dan usaha yang terus dilakukan BKKBN serta dukungan dari berbagai pihak, ya mungkin dari segi angka tidak setinggi dulu, tapi metode dan target penggunaan KB sekarang ini cukup terpenuhi. Kami juga terus fokus melakukan pemerataan KB ke berbagai daerah terpencil,” ujar Ari kepada Magdalene.