Screen Raves

Revolusi Sunyi ‘Aruna & Lidahnya’

Ada empat alasan mengapa ‘Aruna dan Lidahnya’ adalah sebuah revolusi dalam industri film Indonesia.

Avatar
  • April 13, 2020
  • 10 min read
  • 1501 Views
Revolusi Sunyi ‘Aruna & Lidahnya’

Kalau kalian mengaku diri sebagai pencinta sinema Indonesia, nama Edwin mungkin bukan nama yang asing di telinga. Apalagi kalau kamu sudah mengikuti sepak terjangnya sejak dia rajin membuat film pendek.

Setelah merilis film fitur Babi Buta Ingin Terbang (2008) dan Postcards from The Zoo (2012), Edwin memulai perjalanan “komersial” pertamanya dengan Posesif (2017). Posesif berhasil memperkenalkan Gen-Z dengan lagu Sheila on 7 dan juga aktris Putri Marino. Banyak orang sepertinya terkesima dan termehek-mehek dengan Posesif. Apalagi kalau kalian punya sejarah abusive relationship. Ada seorang teman yang katanya enggak bisa gerak setelah menonton Posesif saking déjà vu-nya. Sayangnya, saya tidak bisa merasakan hal yang sama.

 

 

Tapi setahun kemudian Edwin merilis Aruna dan Lidahnya. Diadaptasi dari novel Laksmi Pamuntjak, Aruna dan Lidahnya ternyata membuat saya tersenyum-senyum sepanjang film. Mungkin karena saya sangat menyukai film-film komedi romantis alias romcom, makanya saya lebih menyukai Aruna dan Lidahnya daripada Posesif. Tapi semakin saya sering menonton film ini, saya semakin tersadar bahwa Aruna dan Lidahnya lebih dari sekedar film gemas. Ada magnet di dalamnya. Ada sesuatu yang menarik untuk diulik. Apalagi ketika menontonnya pas lagi work from home seperti sekarang. Menyaksikan orang-orang yang bertugas untuk mencari tahu tentang pandemi jadi terasa jauh lebih relevan.

Sebelum saya menulis artikel ini, saya menonton lagi filmnya untuk meyakinkan diri sendiri bahwa Aruna dan Lidahnya jauh lebih superior dari Posesif. Setidaknya menurut pendapat saya. Saya teringat kata seorang teman saya setelah menonton film ini. Dia berkata, “Gue enggak ngerti deh kenapa Edwin bikin Aruna dan Lidahnya? Enggak penting aja sih menurut gue liat orang-orang nyelidikin apa… flu burung?”

Dan untuk dia, berikut ini penjelasan dari saya kenapa Aruna dan Lidahnya adalah sebuah revolusi.

  1. Sebuah romcom dengan karakter-karakter berusia di atas kepala tiga

“Apanya yang revolusi si, Can? Lo mengada-ngada, deh.”

Oke. Film cinta-cintaan memang bukan hal yang baru di perfilman nasional. Tapi hitung berapa jumlah film romansa yang usia karakter-karakternya di atas 30-an? Lumayan terbatas bukan? Mungkin film romcom yang usia karakter-karakternya di atas 30-an adalah Ada Apa Dengan Cinta 2? dan Milly dan Mamet. Tapi itu pun bukan karya orisinal karena satunya sekuel, satunya spin-off. Kebanyakan film cinta-cintaan di Indonesia diramaikan oleh muda-mudi gemas yang masih berseragam atau early twenties.

Jarang sekali ada romcom dengan karakter-karakter yang usianya di atas kepala tiga. Alasannya jelas, film model seperti ini tidak menjual. Dedek-dedek gemes Blok M Square lebih tertarik untuk menonton kisah cinta Iqbaal Ramadhan dan siapa pun yang jadi pasangannya (karena to be fair, people don’t care siapa perempuan yang bersanding di samping Iqbaal) daripada orang-orang berkepala tiga yang masih pusing oleh urusan asmara.

Fakta inilah yang menurut saya membuat Aruna dan Lidahnya menjadi sangat menarik. Menyaksikan Aruna (Dian Sastrowardoyo), Bono (Nicholas Saputra), Nadezhda (Hannah Al Rashid), dan Oka Antara (Farish) sebagai orang-orang dewasa yang berusaha menyeimbangkan pekerjaan dan urusan personal adalah sebuah pengalaman menonton yang menyenangkan.

  1. Karakter-karakternya berperilaku seperti manusia normal

Salah satu hal yang paling saya suka dari Aruna dan Lidahnya adalah betapa membuminya film ini. Karakter-karakternya rasional. Semuanya berperilaku wajar, tidak mendramatisasi apalagi mengada-ngada. Argumen yang ditampilkan sama seperti ketika kita dan teman-teman kita beradu mulut di dunia nyata. Flirting terjadi sebagaimana mestinya. Tanpa ledakan kembang api atau nyanyian di bawah hujan. Kalau cemburu atau bete, kebanyakan dilakukan dalam diam atau cemberut saja.

Bandingkan dengan kebanyakan film Indonesia. Paling gampang, bandingkan dengan salah satu adaptasi novel Ika Natassa. Twivortiare misalnya. Semua argumen dalam film itu dilakukan dengan adu teriak dan gerakan-gerakan teatrikal. Aruna tidak melakukan hal itu. Jatuh cinta, cemburu, kesal, marah, bahagia, sedih dilakukan dengan cukup natural. Yang mungkin menjadi salah satu alasan kenapa film ini kurang begitu laku di pasaran. Karena kelihatannya seperti tidak akting. Seperti bermain-main. Padahal akting terlihat senatural dan seorganik itu justru lebih susah daripada akting over-the-top. Membuat film hanya dengan empat karakter utama yang pekerjaannya hanya duduk dan makan tapi dramanya tetap terasa kuat sebenarnya jauh lebih susah daripada film yang penuh dengan konflik meledak-ledak.

Baca juga: Film ‘Posesif’ Potret Kekerasan dalam Pacaran

Salah satu contoh adegan yang menggambarkan apa yang saya jelaskan di atas dengan sangat baik adalah ketika Aruna dan kawan-kawan sampai di Pontianak dan makan mie kepiting. Di sini Aruna berasumsi bahwa Nadezhda alias Nad mendekati Farish. Penonton tahu Aruna cemburu buta. Bono juga sama. Dan cara pembuatnya menyampaikan ini semua adalah dengan berkali-kali menunjukkan shot Aruna saling tatap dengan Bono setiap kali Nad dan Farish berkomunikasi. Terasa sangat realistis karena karena saya dan teman-teman saya sering melakukan ini di kehidupan nyata.

Penggunaan teknik breaking-the-fourth-wall, dengan protagonis yang berbicara langsung ke kamera/penonton, sebenarnya bisa jadi bumerang kalau pembuat filmnya tidak tahu cara bercerita dengan baik. Tapi dalam Aruna dan Lidahnya, teknik ini menjadi trik sulap yang jempolan untuk membuat kita semua bisa merasakan apa pun yang karakter utama rasakan. Dan itu sungguh tidak mudah.

  1. Dialog-dialognya relatable

Salah satu kelemahan dari film Indonesia adalah dialog. Banyak sekali film Indonesia yang karakter-karakternya berbicara seperti membaca kutipan dari caption Instagram Putri Marino. Buat orang lain mungkin tidak masalah. Tapi saya selalu merasa tidak terhubung dengan realitas yang dibangun sebuah film ketika dialog yang diucapkan karakter-karakternya terdengar terlalu bagus.

Aruna dan Lidahnya konsisten dari awal sampai akhir film menggambarkan dunia yang realistis. Karakter-karakternya yang berperilaku seperti manusia betulan ini diimbangi dengan dialog-dialog yang terasa nyata. Itu alasan kenapa saya bisa relate 100 persen terhadap apa pun yang ada di film ini meskipun saya enggak paham sama sekali dengan pekerjaan Aruna, daripada apa pun yang ada di Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2020).

Contoh adegan yang menggambarkan dialog-dialog organik ini adalah ketika Aruna, Nad, dan Bono mengudap di hotel mereka ketika mereka di Surabaya:

Aruna: Lo ngapain sih ada di Indonesia?

Nad: Kangen rumah.

Aruna: Boong banget.

Nad: Ya lo pikir orang pergi jauh-jauh buat apa, Run, kalo bukan cari alasan untuk pulang? (tiduran di kasur) Anyway, semua udah nanyain buku kedua gue.

Aruna: Semua orang siapa?

Nad: Ya fans gue lah! Pembaca buku gue. So when Bono invited me, I don’t see why not. Sekalian aja kan research for my next book.

Aruna: (ke kamera) Bono… bisa aja. (Baca buku) Jadi, masakan Indonesia, nih?

Nad: Uh-uh. So not me right?

Aruna: Jadi lo akan masukin semua masakan Indonesia ke sini?

Nad: Iya.

(Bono ketuk pintu)

Nad: (Berdiri sambil buka pintu) Iya.

Aruna: Wow.

Nad: Even your Mbok’s famous nasi goreng. (Buka pintu) Hmmm… lama banget sih, lo? Farish mana?

Farish: Farish mandinya lama banget kayak perempuan.

Nad: Eh perempuan kayak gimana maksud lo? Aruna kalo mandi cepet kan, ya?

Aruna: (Sambil ngunyah) Ehem.

Bono: Dia mah enggak pernah mandi.

Aruna: (Lempar buku ke Bono)

Nad: Hahahaha… Eh tapi, Bon, gue excited banget loh besok kita ke Madura.

Bono: Hmmm…

Aruna: Loh, kalian besok ikutan ke Madura?

Nad: Lorjuk, Run. Lorjuk! (naik ke kasur)

Bono: Ini bubur Madura.

Nad: Ehem…

Aruna: Ini ada madu mongso. Mau nggak?

Bono: Hmmm…

Nad: Sini cobain… Apa tadi? Panele?

Aruna: Penele.

Nad: (ke Bono) Penele.

Aruna: Besok kita ke Pamekasan. Coba ngomong Pamekasan coba… coba…

Nad: (Dengan aksen Perancis) Pamekasan.

Semuanya: Hahahaha…

Aruna: Mana sini Farish?

Bono: (Sok-sokan pake aksen Perancis) Pamekasan…

Aruna: Dia enggak dapetin ini semua udahlah biarin

Bono: Farish lagi diet.

Semuanya: Hahahaha…

Kenapa saya mengambil contoh satu adegan pendek ini, karena adegan ini komplet menurut saya. Ada pembangunan karakter (Nad yang baru saja muncul), ada persiapan untuk sekuen berikutnya. Dan terutama, inside jokes. Seperti saat kita ngobrol dengan teman-teman kita.

Baca juga: 5 Ide Cerita untuk ‘Petualangan Sherina 2’

  1. Banyak adegan yang sekarang menjadi sungguh relevan

Tidak ada adegan yang lebih relevan dari apa yang terjadi sekarang ketika Aruna dan Farish pergi ke salah satu rumah warga yang anaknya baru saja meninggal. Ketika Aruna dan Farish sampai sana, Aruna bertanya, “Kenapa Fajar dibolehkan pulang ya, Pak, dari rumah sakit?”

Dengan kerennya si Bapak berkata, “Sakit itu sudah takdir dari Tuhan. Jadi, si Fajar sakit pun sudah diatur sama Yang Di Atas. Kalaupun mau sembuh, cuman Yang Di Atas yang boleh menyembuhkannya.”

Aruna mencoba menyela dengan, “Saya paham, Pak, tapi…”

Bapaknya memotong Aruna dengan, “Gini, Mbak, sakit itu bukan musibah. Sakit itu juga rezeki dari-Nya. Lah, yang saya bingung, kenapa orang-orang pada berbondong-bondong menolaknya.”

Dua tahun lalu ketika Aruna dan Lidahnya dirilis, adegan ini mungkin menimbulkan banyak tawa. Kalau film ini dirilis setelah kegilaan Covid-19 ini, adegan di atas akan menjadi sebuah potret yang memilukan. Karena seperti yang kita tahu, bapak tadi bukan sekedar mitos. Bapak tersebut ada di mana-mana.

  1. Karakter-karakter tiga dimensi

Aruna dan Lidahnya bisa bekerja dengan baik karena empat karakternya adalah seperti manusia betulan, bukan sekadar sketsa, apalagi karikatur. Membantu juga bahwa karakter-karakter ini dimainkan oleh aktor-aktor yang kredibel.

Sebagai karakter utama, Aruna mungkin adalah karakter yang paling kurang menggigit, karena dia paling vanila di antara yang lain. Salah satu hal yang unik dari dia kalau mau dibandingkan dengan karakter-karakter sejenis di film Indonesia lainnya adalah fakta bahwa dia tidak hanya punya mata pencaharian yang jelas, tapi sangat kompeten dalam pekerjaannya. Menyegarkan sekali menyaksikan karakter perempuan dalam film Indonesia yang komit dalam bekerja. Yang membuat dia gemas mungkin adalah kenyataan bahwa Aruna sangat culun dalam soal asmara.

Sebagai sidekick, Bono adalah sahabat yang ingin kita punya. Selain dia bisa masak, selera humornya juga bagus. Bono tahu bagaimana cara memeriahkan suasana. Dan dia tahu cara menekan temperamen Aruna. Jarang sekali melihat potret hubungan platonik yang menyenangkan antara dua karakter heteroseksual lawan jenis. Keduanya saling mendukung satu sama lain. Kalaupun berantem, semuanya diselesaikan dengan cepat.

Tapi memang yang lumayan revolusioner dari Aruna dan Lidahnya adalah Farish dan Nad. Kalau Nad jelas revolusionernya di mana. Kapan lagi kita mendapatkan karakter perempuan independen yang pintar, tahu apa yang dia mau, dan bodo amat mendapatkan label “pelakor” karena dia sadar dia lebih mencari adrenalin daripada hubungannya itu sendiri. Saya yakin, banyak sekali karakter seperti Nad di dunia nyata. Yang lebih memilih cowok brengsek menyebalkan daripada cowok baik yang lajang di depan dia karena “cowok brengsek lebih menantang”. Tapi bahkan dengan kekurangan-kekurangan ini, Nad tetap terlihat menawan dan seru.

Baca juga: ‘Imperfect’ Ingin Sebarkan Citra Tubuh Positif

Sedangkan Farish menarik karena dia tidak seperti yang penonton harapkan. Love interest dari sebuah film romcom biasanya sama vanila-nya dengan si karakter utama itu sendiri. Dari awal Farish muncul, lengkap dengan kejudesan dan intelektualitas nan arogan, sosoknya mengingatkan penonton (atau paling tidak saya) terhadap ikon film Indonesia lain: Rangga. Hal ini semakin diperparah dengan pemilihan Dian Sastro sebagai pemeran karakter utama film ini.

Tapi semua asumsi saya terhadap karakter Farish dipatahkan ketika mereka semua berbincang di warung di pinggir jalan.

Bono: Oke pertanyaan buat, lo. Apa opini lo tentang makanan?

Nad: Hmmmm!

Farish: Opini gue soal makanan ya apa ya…? Makanan ya makanan. Mutlak gitu kayak matematika. Antara enak dan enggak enak. Jadi ya fungsinya buat gue jelas. Bikin kenyang. Udah gitu aja.

Aruna: Gue pikir lo orangnya kompleks.

Farish: ‘Gue pikir gue orangnya kompleks’? Gue pikir lo orangnya simpel.

Adegan ini membuyarkan semua imajinasi saya bahwa Farish adalah Rangga 2.0. Rangga tidak akan se-simplistic ini (paling tidak di kepala saya). Dan dialog ini terjadi setelah Farish dengan *inteleknya* menjawab pertanyaan Nad tentang hubungan sains dengan agama dengan menjawab mereka setuju soal teori Big Bang.

Empat karakter dengan sifat yang berbeda-beda inilah yang akhirnya saling mengisi dan menjadikan Aruna dan Lidahnya sebagai salah satu romcom Indonesia yang beneran kocak dan gemas.

Seperti kata Bono, “Hidup itu kayak makanan. Dalam satu piring ini, nih, lo bisa ngerasain yang sepahit-pahitnya atau yang se-asin-asinnya, kalo lo makannya sendiri-sendiri. Nah tapi kalo misalnya lo ambil sedikit-sedikit, trus lo ambil satu suapan, trus lo makan. Baru dia mengungkapkan jati diri yang sebenarnya.”

‘Aruna dan Lidahnya’ dapat disaksikan di Netflix dan GoPlay



#waveforequality


Avatar
About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *