Lifestyle

Terlalu Sulit Lupakan Rehan? ‘Teror’ itu Bernama ‘Earworm’

Sebuah lagu viral, lalu melodi dan liriknya terngiang-ngiang di kepalamu, suka tidak suka. Seperti “Sulit Lupakan Rehan” dari @binirehan1. Apa penjelasan ilmiahnya?

Avatar
  • September 27, 2022
  • 6 min read
  • 1282 Views
Terlalu Sulit Lupakan Rehan? ‘Teror’ itu Bernama ‘Earworm’

Begitu syulit~

Lupakan Rehan

 

 

Apalagi Rehan baik

Buat kalian yang hobi berselancar di media sosial seperti TikTok atau Twitter, bait di atas pasti tak asing lagi. Warganet menyebutnya lagu “Rehan”. Lagu yang aslinya berjudul Cukup Dikenang Saja ini dibawakan kembali oleh Intan Sri Astuti di akun TikToknya, @binirehan1. Ia mengganti lirik lagu yang dibawakan oleh The Junas Monkey, dengan nama Rehan, sosok yang belakangan diketahui sebagai imajinasinya.

Video Intan melantunkan lagu ini dengan penuh penghayatan, raut ekspresif dan wajah yang di-zoom in, serta irama yang ear-catchy kemudian viral. Audio lagu Rehan bahkan kini telah dipakai lebih dari 195.000 kali di TikTok. Bahkan di Twitter, videonya berkali-kali diunggah dan dijadikan reaction meme di berbagai fanbase. Dari K-Pop, J-Pop, anime, sampai artis lokal.

Obsesi baru orang Indonesia dengan lagu ini pun semakin terlihat ketika Gerald Liu, personel Weird Genius me-remix lagu ini. Liu menempelkan audio lagu galau viral lainnya, Glimpse of Us-nya Joji. Ia kemudian mengunggah hasil remix lagu ini di akun Twitter pribadinya @_geraldgerald_ dengan caption “Glimpse of Rehan”.

Remix Lagu Rehan per 27 September ini telah ditonton sebanyak 684.000 kali.

Buat kita yang setiap harinya hidup berdampingan dengan musik, fenomena lagu yang terngiang-ngiang di kepala bukan terjadi sekali dua kali aja. Kita mengalaminya ketika lagu Baby Shark populer di 2017 hingga 2018 akhir.

Kita juga mengalaminya ketika Adele merilis lagu Hello di 2015, ketika Queen merilis lagu We Will Rock You di 1977, sampai lagu sitcom legendaris Friends ‘I’ll be There for You’ yang populer di pertengahan 90-an.

Lagu-lagu ini tanpa sadar menjajah isi kepalamu. Pagi, siang, malam. Ketika sedang melamun, berselancar di media sosial, mencuci piring, mandi, sampai membuka kulkas.

Lagu-lagu ini secara otomatis terputar dalam otakmu. Seakan lagu-lagu ini tersimpan aman dalam kaset yang siap dimainkan kapan saja tanpa terkecuali. Ternyata, situasi ini punya nama: ia biasa disebut earworm.

Baca Juga:  14 Hari ‘Chatting’ dengan Harry Styles KW di Replika: Ia Tak Tahu Feminisme

Earworm, Ketika Lagu Terngiang-ngiang di Kepala

Lebih dari 100 tahun lalu, orang Jerman ternyata telah menciptakan istilah öhrwurm, atau dalam bahasa Inggris disebut earworm.

Seperti dilansir dari Harvard Education, istilah ini diciptakan pada 1979 oleh psikiater Cornelius Eckert. Temuan itu mengacu langsung untuk menjelaskan segmen musik yang diputar berulang-ulang di kepala manusia, biasanya berdurasi sekitar 20 detik. Musik ini diputar secara otomatis dalam kesadaran kita.

Literatur bahasa Jerman juga jadi tempat studi ilmiah pertama tentang earworms. Kita dapat menemukannya dalam penelitian Eckert (1979), De La Motte (1993), dan Hemming (2009). Sedangkan dalam karya sastra dan budaya populer, pengalaman ini tercatat pertama kali melalui cerita pendek Edgar Allen Poe, The Imp of the Perverse, pada 1845.

Philip Beaman, Profesor Psikologi Eksperimental menjelaskan dalam cerita ini Poe menggambarkan alunan nada dari beberapa lagu atau potongan yang ia dengar dari opera yang tak bisa hilang dari ingatannya. Tapi, dalam narasi ini, Poe tidak secara eksplisit menggunakan istilah earworm. Barulah pada 1978, penggunaan istilah earworm digunakan dalam bahasa Inggris, yaitu dalam novel Flyaway karya Desmond.

Di dunia akademis sendiri, pengalaman ini dikenal dengan nama involuntary musical imagery (INMI) dan baru beberapa dekade belakangan mulai berkembang dalam bidang studi neurologis.

Mahasiswa pascasarjana Dartmouth, David Kraemer dan timnya menggunakan pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI) untuk menemukan substrat saraf yang mendorong adanya pengalaman “unprompted auditory imagery”.

Dokter James Kellaris dari University of Cincinnati dalam penelitiannya yang dikutip dalam Quartz kemudian menjelaskan sistem memori yang memungkinkan adanya pengalaman earworm ini disebut putaran fonologis (phonological loop). Sistem memori jangka pendek di korteks pendengaran.

Putaran fonologis inilah yang terus-menerus menyimpan sejumlah kecil informasi pendengaran, seperti chorus sebuah lagu. Jadi ketika sebagian besar informasi diproses lalu dilupakan atau disimpan dalam memori jangka panjang, musik tersebut tetap melekat dalam memori jangka pendek untuk waktu yang lebih lama.

Menurut Kellaris, musik tertentu memang memiliki sifat khas yang merangsang reaksi abnormal dalam otak. Musik-musik ini umumnya punya interval nada yang lebih kecil seperti C dan C-sharp atau D dan memiliki unsur prediktabilitas, yakni pola naik-turun dan lirik yang berulang.

Baca Juga: ‘OK Boomer’, Kenapa Orang Dewasa Suka Julid ke Anak-anak Muda?

Ada Manfaat di Balik Pengalaman Earworm

Semua orang pasti pernah mengalami earworm.

Hal ini dikonfirmasi oleh sebuah studi di 2012 yang diterbitkan dalam jurnal Psychology of Music. Studi ini menemukan sekitar 89,2 persen dari 12.000 orang mengaku mengalami earworm setidaknya seminggu sekali dan semakin banyak lagu atau musik yang didengarkan oleh seseorang, semakin banyak earworm yang mungkin mereka alami.

Buat banyak orang pengalaman ini cenderung menyebalkan apalagi kalau frekuensinya menjadi sangat intens. Bahkan dalam penelitian baru, Bedtime Music, Involuntary Musical Imagery, and Sleep ditemukan earworm dapat berdampak negatif pada kualitas tidur kita.

Menurut hasil temuan penelitian ini, seseorang yang mengalami earworm satu kali atau lebih per minggu, enam kali lebih mungkin memiliki kualitas tidur yang buruk dibandingkan dengan orang yang jarang mengalami earworm. Termasuk di dalamnya kesulitan untuk mencoba tidur, terbangun tengah malam, dan bisa bangun tidur pagi-pagi.

Tapi benarkah earworm selamanya jadi sebuah pengalaman yang mengesalkan dan tak punya manfaat sama sekali?  Mungkin Brittany Meyer, terapis musik neurologis di UPMC Children’s Hospital of Pittsburgh bisa punya jawabannya.

Dalam wawancaranya bersama AP News, Meyer mengungkapkan musik punya kemampuan untuk mengaktifkan beberapa bagian otak secara bersamaan yang berguna untuk membangun kembali dan memperkuat jalur di otak. Dalam hal ini, musik dapat memicu reaksi baik di hipokampus, bagian otak yang berperan dalam pembelajaran dan memori, dan amigdala, bagian yang terlibat dalam mengalami emosi.

Sehingga menurutnya, earworm bisa membuat kita bahagia. Apalagi jika kita punya memori baik dan bikin senang saat mendengarkannya berulang kali. Tak hanya itu, Meyer juga mengatakan sebuah lagu yang dilakukan berulang juga bagus dalam pembentukan kebiasaan baru.

Misalnya saja Meyer sempat menuturkan pengalamannya merawat anak dengan dengan spektrum autisme yang tidak mau menyikat giginya. Untuk membuat kebiasaan baru pada anak ini, Meyer kemudian mengarang lagu tentang menggosok gigi dengan nada lagu yang anak itu gemari. Tujuannya, agar ibu anak itu bisa bernyanyi bersama tiap malam. Hasilnya? Pengalaman earworm yang dialami sang anak membantunya untuk mengingat untuk gosok gigi tiap malam.

Satu hal manfaat lagi dari earworm adalah bagaimana pengalaman ini membantu menguatkan memori kita. Hal ini bisa dibuktikan dalam penelitian Janata dan Benjamin Kubit, peneliti postdoctoral ilmu saraf kognitif, dari Departemen Psikologi UC Davis dan Center for Mind and Brain berjudul Spontaneous Mental Replay of Music Improves Memory for Incidentally Associated Event Knowledge.

Baca Juga: Generasi Z: Rumah Tak Terbeli Bukan karena Kebanyakan ‘Ngopi’

Mereka menemukan semakin sering sebuah nada dimainkan di kepala seseorang, semakin banyak pula detail yang diingat subjek penelitian dari bagian spesifik film yang tonton selama eksperimen. Dengan kurun waktu satu minggu mereka diminta menonton film yang ada, efek berulang kali mendengarkan soundtrack film membuat mereka lebih mudah mengingat detail-detail yang ada. Bahkan ingatan mereka atas detail-detail yang ada sama baiknya dengan ketika mereka pertama kali melihat film.

Dengan demikian, earworm adalah proses memori yang terjadi secara alami yang membantu kita mengingat detail-detail pengalaman dan informasi yang kita dapat dalam memori jangka panjang.

“Kami biasanya menganggap earworm sebagai gangguan acak di luar kendali manusia, tetapi hasil kami menunjukkan bahwa earworm adalah proses memori yang terjadi secara alami yang membantu melestarikan pengalaman baru-baru ini dalam memori jangka panjang”

Nah, kamu sendiri sedang dihinggapi earworm apa nih?



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *