Screen Raves

3 Fakta ‘Ticket to Paradise’: Romcom yang Kental Cara Pandang Penjajah

Meski ramai diperbincangkan karena menggunakan aktor asli Indonesia, ‘Ticket to Paradise’ masih kental dengan cara pandang “penjajah”.

Avatar
  • October 17, 2022
  • 5 min read
  • 1550 Views
3 Fakta ‘Ticket to Paradise’: Romcom yang Kental Cara Pandang Penjajah

Ticket to Paradise langsung ramai jadi perbincangan di media karena keterlibatan aktor Indonesia Maxime Bouttier di dalamnya. Si aktor muda yang sering nonggol di sinetron dan FTV itu akan jadi calon menantu karakter yang diperankan Julia Roberts dan George Clooney, dua aktor kawakan yang sudah dianggap legenda di Hollywood dan seluruh dunia.

Embel-embel “kebanggaan negeri” langsung ramai menempel pada berita-berita yang mempromosikan film ini. Media-media di Indonesia sendiri juga langsung ramai mengupas keterlibatan Maxime di film dengan latar utama Bali tersebut.

 

 

Ticket to Paradise sendiri bercerita tentang sepasang mantan suami-istri yang harus melakukan perjalanan jauh ke Bali, demi undangan pernikahan dadakan putri semata wayang  mereka. Lily (Kaitlin Dever) tiba-tiba mengumumkan akan menikahi seorang akamsi (anak kampung sini) bernama Gede (Maxime Bouttier), yang bekerja sebagai petani rumput laut. Padahal, mereka baru kenal sebulan.

Tak ingin kelihatan jahat di depan sang putri, Georgia (Julia Roberts) dan David (George Clooney) sepakat menuruti permintaan Lily. Di belakang Lily, keduanya berencana menggagalkan pernikahan itu, dengan cara apa pun.

Plot film ini akan berpusat pada dinamika hubungan Georgia dan David yang sudah lama bercerai, tapi belum bisa bersikap baik pada satu sama lain. Mereka akan selalu cekcok, beradu mulut, dan melakukan kekonyolan-kekonyolan yang biasa muncul di film-film bergenre romantic comedy alias romcom alias drama komedi.

Sayangnya, tak ada yang spesial dalam film ini. Buat saya sendiri, banyak kelakar mereka  yang tak mendarat. Chemistry Julia Robert dan George Clooney—yang harusnya jadi sajian utama—juga tak terlalu mengena. 

Faktor utamanya, karena dua karakter protagonis ini dikenalkan terlalu terburu-buru. Kita tak tahu banyak tentang latar belakang mereka, selain mereka ini pasangan gagal yang harus tetap menjaga komunikasi demi anak. David adalah seorang pengacara (yang tampaknya kaya raya), sementara Georgia adalah cinta masa kuliahnya yang memutuskan tidak bekerja setelah mereka menikah. Fakta lain yang kita dapatkan? Usia pernikahan mereka cuma bertahan lima tahun.

Selain itu, infromasi tentang kedua tokoh ini cuma muncul lewat ekposisi dan dialog para aktornya. Tak ada yang berarti, tak ada yang bikin simpati.

Itu pula sebabnya, lawakan-lawakan yang harusnya bikin kita tertawa saat menonton keduanya beradu mulut jadi tidak lucu. 

Belum lagi, Bali—yang jadi latar utama film ini—diperlakukan eksotis: khas cara film-film Hollywood merekam dinamika “negara ketiga” macam Indonesia. Padahal cara pandang ini sudah basi dan sering dikritik.

Mengapa pandangan ini dikritik? Simak tiga fakta menarik yang Magdalene rangkumkan buat kamu! Hati-hati ada ceceran spoiler!

Baca juga: Menonton Korut dan Korsel Bersatu dalam ‘Money Heist Korea: Joint Economic Area’

1. Bali yang Direkam Lewat “White Gaze” atau Mata Penjajah

Sudah bukan rahasia lagi kalau film-film buatan Hollywood sering dijadikan alat propaganda Amerika Serikat. Terutama pada era Perang Dunia dan Perang Dingin dulu. Target mereka bisa rakyat sendiri, supaya lebih nasionalis. Atau penduduk bumi belahan lain, agar percaya bahwa Amerika Serikat adalah negara adidaya.

Belakangan ketika konsep pasar bebas makin merata dianut di seluruh dunia, “alat propaganda” itu jadi agak lebih sulit dibaca, meski tentu saja tak mungkin hilang. Maksudnya, akan susah menuduh semua film-film keluaran Hollywood punya campur tangan langsung pemerintahan mereka. Namun, posisi Hollywood sebagai ekonomi industri film terbesar di dunia masih susah ditampik. Pengaruh mereka masih yang paling besar.

Di Indonesia sendiri, banyak film lokal kesusahan bersaing dapat jam tayang di bioskop dengan film-film Hollywood.

Kritik-kritik pada Hollywood ini jadi salah satu tema paling populer di kajian film dan kritik film. Salah satu kritik paling lawas adalah tentang cara Hollywood memandang negara lain selain Amerika Serikat. Tak jarang, kita temui film-film produksi sana memotret orang-orang dari negaara ketiga sebagai yang terbelakang, primitif, atau lawan dari modernitas.

Kesan itu juga muncul dalam Ticket to Paradise. Ada adegan berburu babi di Nusa Penida, dengan didahului jangkar kapal yang copot dan bikin David, Georgia, Gede, dan Lily tak bisa balik ke Bali.

Adegan itu tentu saja bikin risih, terutama buat mereka yang pernah ke Nusa Penida atau penduduk asli Bali.

Beberapa kali, David juga tak segan mengeluarkan komentar-komentar rasis yang dipotret film sebagai sesuatu yang lucu atau patut ditertawakan. Pandangan rasis ini tentu saja ada kaitannya dengan kolonisasi yang dilakukan bangsa Kaukasia saat berlayar ke pulau-pulau di luar tanah mereka. Mereka melihat hal-hal menarik di luar dari tradisinya sendiri sebagai sesuatu yang eksotis.

White gaze ini yang kemudian diproduksi masal dan masif oleh Hollywood, dan berakhir jadi stereotip atau stigma yang akan fatal efeknya pada kelompok minoritas.

Baca juga: ‘Ngeri-ngeri Sedap’ dan Film Batak yang Berusaha Lepas dari Jakartasentris

2. Suting di Australia, Bukan Bali

Lucunya, lebih dari 90 persen lokasi suting mereka diproduksi di Australia, bukan Bali. Hal ini terjadi karena proses suting yang direncanakan terpaksa tertunda karena pandemi COVID-19. Para aktor Indonesia yang terlibat di film-film ini juga merupakan orang-orang Indonesia yang telah lama tinggal di Australia.

“Yang beneran terbang dari Indonesia cuma aku sendiri,” kata Maxime Bouttier dalam wawancaranya di Tonight Show.

Meski telah dikembangkan sejak 2018, film ini ternyata dibikin untuk tujuan senang-senang belaka. Di acara yang sama, Maxime juga membeberkan bahwa proyek film Ticket to Paradise ini sebetulnya berawal dari rencana para produser dan kru untuk seru-seruan bikin projek film sekalian liburan. 

Baca juga: Review ‘Little Women’: Adaptasi Karya Louisa May Alcott Tanpa Khianati Aslinya 

3. Kritik Atas Dipilihnya Maxime Sebagai Gede

Kegembiraan atas terlibatnya Maxime dalam produksi Hollywood ini tak lepas dari kritik. Meski yang lebih ramai di media adalah perayaan dan ungkapan bangga, beberapa pihak merasa terpilihnya Maxime sebagai bagian dari white gaze yang masih sulit dilepaskan Hollywood. 

Sang aktor dinilai masih terlalu “bule” daripada kebanyakan orang asli Indonesia. Maxime sendiri merupakan keturunan darah Prancis dari sang ayah, dan darah Jawa dari sang ibu.

Sebelum pindah ke Jakarta dan mengejar karier aktingnya, Maxime pernah tinggal di Bali selama 12 tahun.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aulia Adam

Aulia Adam adalah penulis, editor, produser yang terlibat jurnalisme sejak 2013. Ia menggemari pemikiran Ursula Kroeber Le Guin, Angela Davis, Zoe Baker, dan Intan Paramaditha.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *