December 17, 2025
Issues Opini

10 Tahun Naik Ojol, Bagaimana Kita Memahami Permainan Ini?

Sepuluh tahun menjadi penumpang ojol, saya melihat bagaimana tarif “hemat”, potongan aplikator, dan algoritma mengubah kerja pengemudi serta pilihan-pilihan kecil konsumen di dalamnya.

  • December 17, 2025
  • 5 min read
  • 145 Views
10 Tahun Naik Ojol, Bagaimana Kita Memahami Permainan Ini?

Sudah kurang lebih sepuluh tahun saya rutin naik ojek online (ojol). Dalam rentang itu, perubahan yang saya rasakan bukan cuma soal fitur aplikasi, melainkan juga soal cara kerja “permainan” ini bagi para pengemudi. Dari Bekasi, Jakarta, Yogyakarta, hingga Bandung, cerita-cerita mereka bergaung dan saling melengkapi, seperti potongan teka-teki yang perlahan membentuk gambar utuh.

Dulu, poin dan bonus kerap dibahas dengan antusias, karena pendapatan mereka bisa melampaui gaji dari pekerjaan formal yang sebelumnya mereka tekuni. Tanpa saya tanyakan pun beberapa pengemudi bercerita bahwa kejenuhan kerja kantoran mendorong mereka mencoba menjadi pengemudi ojol.

Sebagai penumpang, saya sendiri merasa sangat terbantu dengan hadirnya aplikasi ojol (biasa disebut aplikator oleh komunitas pengemudi), karena tarif yang transparan dan layanannya praktis untuk berbagai kebutuhan. Pada sekitar tahun 2017 di Yogyakarta, tarifnya bahkan pernah tidak masuk akal murahnya, yakni Rp2.000 untuk perjalanan kurang lebih 3km.

Baca juga: Kepadatan KRL dari ‘Green Line’ hingga ‘Red Line’: Apakah Tambah Armada ala Prabowo adalah Solusi?

Pandemi menghantam, gelombang PHK dan minimnya lowongan kerja formal mendorong lebih banyak pekerja memasuki permainan ini. Lambat laun, poin dan bonus sudah hampir tidak terucap. Jika ditanyakan, responsnya pun cenderung apatis. Euforianya sudah susut karena potongan dari aplikator kian besar dan target poin untuk mencapai bonus semakin sulit untuk diraih. Kini, ada lebih banyak cerita tentang siasat-siasat yang perlu mereka kembangkan untuk mengakali kemacetan yang kian parah dan pemasukan yang menyusut.

“Dulu mah masih bisa kita kejar poin, sekarang kita kerja waras aja,” ujar seorang pengemudi ojol di bilangan Jakarta Selatan baru-baru ini.

Salah satu hal yang saya kira berkontribusi pada perubahan ini adalah hadirnya berbagai tingkat pelayanan, seperti hemat, reguler, dan prioritas, yang disinyalir muncul karena persaingan antarplatform. Sekilas, tingkatan layanan ini membuat tarif tampak lebih kompetitif dan konsumen diuntungkan karenanya. Sejenak, konsumen rasanya diajak kembali ke masa bulan madu ojol beberapa tahun silam.

Pada April 2025, sebuah utas dari dosen Fakultas Hukum UGM, Nabiyla Risfa Izzati, menimbulkan polemik di Twitter (X), karena ia menggarisbawahi bagaimana pengemudi yang ingin mendapatkan pesanan hemat harus berlangganan fitur hemat dengan membayar sejumlah uang. Artinya, tingkatan layanan yang menguntungkan konsumen diberikan dengan mengorbankan pengemudi ojol.

Kondisi ekonomi yang kian menghimpit akhirnya menjadi salah satu faktor yang memicu gelombang demonstrasi ojol dari waktu ke waktu.

Awalnya saya pikir, berarti sebaiknya kita memilih layanan reguler jika mampu. Riset dari Policy Research Center pun mencatat ada 75,2 persen responden yang bersedia membayar tarif lebih tinggi agar pengemudi mendapatkan penghasilan yang layak. Sialnya, harga-harga kebutuhan lain ikut naik, transportasi umum belum begitu efektif, dan pada dasarnya pilihan hemat memang menggoda. Seorang pengemudi ojol pun berkata, “Ya mau gimana lagi, namanya orang kan cari yang lebih hemat.”

Baca juga: Bagi Laki-laki Ini Cuma Perjalanan, Bagi Perempuan Ini Pertaruhan

Ketika “hemat” jadi beban dan regular tetap dipotong

Anehnya, jika mengintip ponsel pengemudi yang biasa diletakkan di holder dekat spion, selisih antara harga yang dibayarkan penumpang dan uang yang diterima pengemudi justru terasa lebih besar untuk layanan reguler. Misalnya, jika saya membayar Rp22.000 untuk layanan reguler, pengemudi menerima Rp16.500. Jika saya membayar Rp18.000 untuk layanan hemat, pengemudi menerima Rp15.000. Menurut salah satu pengemudi ojol di Bandung, potongannya berbentuk persentase, yang kalau dilihat dari contoh di atas, mencapai sekitar 25 persen dari tarif yang dibayar penumpang.

Konsumen juga terkena dampak dari tekanan yang dirasakan para pengemudi, salah satunya soal pembatalan pesanan. Terkadang saya menemui pengemudi yang enggan membatalkan, tetapi juga tidak benar-benar berniat mengambil order. Alih-alih menekan tombol batal, mereka memberi “kode”—misalnya dengan diam, berputar-putar, atau menyiratkan agar saya saja yang membatalkan. Dalam situasi seperti ini, sistem autobid yang mungkin dimanfaatkan untuk mengejar pesanan “gacor” justru merugikan penumpang.

Kita dibuat bingung, tetapi juga terjebak. Jika penumpang yang membatalkan, ada kekhawatiran aplikasi akan mencatatnya sebagai pembatalan dari pihak kita dan membuat akun lebih sulit mendapatkan pengemudi pada pesanan berikutnya.

Sejak tahun 2022, saya juga kerap ditawari untuk pesan “offline” saja atau berlangganan ojek dengan beberapa pengemudi ojol di Bandung dan Yogyakarta. Mengetahui kondisi kerja dan potongan yang kian tidak masuk akal, sebenarnya saya tertarik dan sempat mencoba skema tersebut dengan dua pengemudi di Yogyakarta.

Kami bertukar nomor WhatsApp, menyepakati rute dan jam rutinitas, lalu saya akan mengirim pesan ketika membutuhkan layanan ojek. Jika lokasi pengemudi dekat, saya menggunakan jasanya. Namun, lama-lama saya tidak nyaman sebagai perempuan. Bagi saya, salah satu keunggulan platform adalah rasa aman yang (relatif) lebih terjaga dan adanya mekanisme pengaduan jika terjadi hal yang tidak diinginkan.

Baca juga: Dari ‘Anker’ Cikarang Saya Belajar, Rumah Bukan Tempat Pulang tapi Alasan Bertahan

Karena itu, sebagai konsumen, penting bagi kita bersolidaritas dengan pengemudi agar aplikator tidak leluasa membuat kebijakan yang menguntungkan mereka dan merugikan pengemudi. Transparansi harga juga mendesak. Aplikasi perlu membuka pembagian biaya—berapa persen untuk pengemudi, administrasi, dan komponen lain, agar konsumen paham siapa yang menanggung konsekuensi dari tarif “murah”.

Di saat yang sama, pemerintah seharusnya mengakui bahwa relasi kerja antara pengemudi dan aplikator tidak setara. Ketergantungan pada algoritma, aturan yang dapat berubah sepihak, dan sistem penilaian yang menentukan akses pesanan membuat label “mitra” terdengar semakin hampa.

Istilah “gig economy” pun terasa tak lagi tepat. Beberapa pengemudi di Bandung mengatakan mereka harus disiplin agar pesanan tetap masuk. Libur sehari-dua hari saja bisa membuat pesanan “anyep” beberapa hari berikutnya, yang langsung memukul pemasukan. Jika algoritma begitu menentukan ritme kerja dan aplikasi semakin posesif, barangkali sudah saatnya kita mengakui: pengemudi ojol bukanlah mitra yang setara dengan aplikasi.

Meivy adalah peneliti dan penerjemah dengan latar antropologi budaya. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Ia kini mengasah kemampuan membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan di Samahita Foundation.

About Author

Meivy Andriani