’16 Film Festival’ Dorong Keberpihakan pada Korban Kekerasan Seksual
Tahun ini 16FF mengangkat tema global #HearMeToo yaitu mendengar dan berpihak pada korban.
Kekerasan berbasis gender di Indonesia terus meningkat setiap harinya, sementara masyarakat dan penegak hukum sering kali menutup mata dan menghakimi, bukannya berpihak kepada korban.
Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menerima 348.446 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2017, dan jumlahnya selalu meningkat setiap tahun.
Kekerasan seksual di kampus kembali menjadi sorotan, yaitu pemerkosaan seorang mahasiswi Universitas Gajah Mada yang terjadi pada 2017, namun baru menjadi perhatian publik sekarang karena pihak kampus yang tidak tegas menanganinya. Undang-undang yang tidak berpihak kepada korban juga banyak ditemukan dan sering kali menyerang perempuan dan minoritas. Yang paling baru adalah kasus Baiq Nuril, seorang guru di Mataram yang terjerat UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) saat berusaha membuktikan kasus pelecehan seksual yang dialaminya oleh rekan kerjanya dan dijatuhi denda Rp500 juta serta hukuman kurungan selama enam bulan.
Kasus kekerasan berbasis gender yang marak dan tindak lanjut yang berpaling dari, atau bahkan menghukum korban tersebut, menjadi alasan 16 Film Festival (16FF) kembali berpartisipasi dalam kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (#16HAKTP) dari PBB. Berlangsung dari 25 November sampai 10 Desember 2018, festival film ini diinisiasi oleh jaringan #gerakbersama, Kalyanashira Films, dan 100% Manusia, dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran untuk toleransi nol terhadap berbagai bentuk kekerasan berbasis gender, seksualitas, budaya, dan etnis. Khusus untuk tahun keduanya ini, 16FF mengangkat tema global #HearMeToo yaitu mendengar dan berpihak pada korban.
Magdalena Sitorus, Komisioner Komnas Perempuan mengatakan kultur Indonesia sering kali memihak kepada laki-laki dalam hal kekerasan.
“Kekerasan kepada perempuan itu dianggap biasa saja, tapi kekerasan kepada laki-laki menjadi hal yang heboh. Film dapat mengedukasi masyarakat tentang hal itu,” ujarnya dalam konferensi pers 16FF, Jumat lalu (16/11).
Upaya peningkatan kesadaran tersebut dilakukan dengan pemutaran 16 film panjang dan 16 film pendek bertema kekerasan terhadap perempuan dan kelompok marginal, termasuk Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak; Posesif; A Copy of My Mind; Opera Tikus Got; dan Cinta dari Wamena. Pemutaran film diselenggarakan secara simultan selama #16HAKTP di Jakarta, Serpong, Surabaya, Jombang, Provinsi Jambi (Kota Jambi, Kabupaten Batanghari, Kabupaten
Muara Bungo), Semarang, Rembang, Sragen, Yogyakarta, Bengkulu, Banda Lampung, dan Denpasar.
“Film adalah ice breaker yang bagus,” ujar pembuat film Nia Dinata dari Kalyanashira Films. “Mungkin orang kadang malu ngomong tentang dirinya, tetapi kalau habis nonton kan bisa pura-pura ngomongin karakter yang ada di filmnya. Tetapi saat ikut diskusinya, mengobrol dengan sutradaranya yang memang kita lakukan setelah setiap pemutaran, orang jadi lebih berani untuk bicara dan mengungkapkan perasaannya.”
Selain pemutaran film, 16FF mengadakan 16 acara lain seperti diskusi, pameran fotografi kisah inspiratif orang dengan HIV/AIDS (ODHA), pameran seni, serta
pertunjukan teater. Festival ini juga bekerja sama dengan 16 duta untuk mengangkat isu toleransi nol dalam kekerasan dan menghentikan budaya bungkam pada korban. Para duta tersebut termasuk pianis Ananda Sukarlan; aktris Hannah Al Rashid, Tara Basro, dan Ayushita; serta aktor Chicco Kurniawan dan Lukman Sardi.
“Saat masih sekolah, aku pernah mengalami kekerasan dari pacar. Dulu enggak berani buat ngomong, biasanya aku bilang bahwa temanku yang mengalami.
Tapi sekarang aku tahu kalau mengungkapkan itu sangat penting, dan 16FF ini bisa membantu kita menyadarkan hal itu,” ungkap Ayushita.
Perjuangan terhadap kekerasan sudah seharusnya bukan lagi menjadi perjuangan untuk diri sendiri tetapi juga orang lain, ujar Chicco.
“Temanku ada beberapa yang mengalami kekerasan dan aku sadar dari acara tahun lalu, yang paling kecil yang bisa kita lakukan adalah membuktikan kalau mereka tidak sendiri, dan kita bisa membantu mereka dengan mendampingi dan mendukung mereka,” ujarnya.
Informasi lebih rinci mengenai 16FF dapat dilihat di akun sosial medianya.
Baca juga bagaimana kebijakan Orde Baru dihidupkan kembali 20 tahun pascareformasi.
Angesti Citra Asih adalah reporter intern di Magdalene dan pejuang tugas akhir di Universitas Multimedia Nusantara. Kemanusiaan dan budaya pop merupakan topik perbincangan favoritnya. Dia sangat menyukai musik terutama RnB kontemporer seperti Teza Sumendra dan Honne dan hobi memainkan ukulele atau gitar.