22 Tahun Pasca-Kerusuhan Mei 1998, Prasangka dan Trauma Masih Ada
Sentimen anti-Cina yang masih hidup sampai kini membuat trauma dan rasa marah sebagian orang yang mengalami kerusuhan Mei 1998 tak kunjung surut.
Tepat 22 tahun yang lalu pada bulan Mei, kekerasan anti-Cina yang telah puluhan tahun terjadi di Indonesia mencapai puncaknya. Masyarakat Indonesia beretnis Cina menjadi korban pemerkosaan, pembunuhan, serta rumah dan toko miliknya dibakar.
Di Indonesia, orang keturunan Cina memegang kendali perekonomian Indonesia. Beberapa dari mereka sangat kaya meskipun jumlah mereka hanya sekitar 2 persen dari populasi masyarakat Indonesia.
Saat krisis ekonomi menghantam Indonesia pada tahun 1998, oknum-oknum yang berkepentingan politik mengambinghitamkan orang keturunan Cina atas krisis yang terjadi. Oknum-oknum tersebut mengerahkan massa yang terdiri dari masyarakat pribumi untuk menyerang mereka.
Baca juga: Reformasi: Di Mana Sekarang?
Sudah lebih dari dua dekade peristiwa itu terjadi, tapi diskriminasi dan kebencian terhadap etnis Cina masih ada hingga sekarang. Pandemi COVID-19, yang berawal dari Wuhan, Cina, menjadi amunisi baru untuk kembali menyerang etnis Cina di Indonesia.
Penelitian saya pada bulan Januari hingga Maret lalu mengenai persepsi warga negara Indonesia terhadap peristiwa kerusuhan Mei 1998 mengindikasikan bahwa prasangka negatif warga pribumi terhadap etnis Cina masih ada hingga sekarang. Prasangka ini yang menyebabkan konflik dengan etnis Cina sangat rentan terjadi.
Selain itu, penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa trauma atas peristiwa kerusuhan Mei 1998 masih membekas hingga sekarang.
Hasil penelitian
Untuk penelitian ini, saya melakukan survei online terhadap 100 warga pribumi dan 100 warga Cina yang berusia 30 tahun ke atas. Saya membatasi usia responden untuk memastikan bahwa responden benar mengetahui atau mengalami peristiwa kerusuhan yang terjadi lebih dari 20 tahun yang lalu.
Saya mengajukan beberapa pertanyaan terkait persepsi mereka terhadap apa yang sebenarnya terjadi pada kerusuhan Mei, perasaan mereka, lalu dampak yang mereka rasakan.
Jawaban yang saya dapat menunjukkan dua hal:
- Prasangka penyebab konflik
Baik responden pribumi maupun etnis Cina mengatakan bahwa prasangka buruk terhadap etnis Cina menjadi salah satu penyebab kerusuhan Mei 1998.
Dari jawaban responden, prasangka negatif muncul karena adanya kesenjangan ekonomi antara warga pribumi dan warga etnis Cina. Responden warga pribumi melihat kesenjangan terjadi karena etnis Cina menguasai ekonomi.
Prasangka adalah penilaian negatif terhadap suatu kelompok sosial. Biasanya, penilaian ini tidak berdasarkan pengalaman langsung dan hanya didasari oleh keyakinan diri dan kelompoknya. Prasangka muncul dari interaksi sosial, baik dengan keluarga, teman, atau komunitas, dan dapat berubah jika ada peran signifikan dari lingkungan terhadap individu.
Baca juga: 20 Tahun Reformasi dan Narasi Gerakan Perempuan
Prasangka negatif terhadap warga etnis Cina sudah terbentuk sejak pemerintahan Orde Baru. Sentimen terhadap Cina muncul setelah mantan presiden Suharto berkuasa. Selama kepemimpinannya, Suharto berusaha menghilangkan warisan Presiden Sukarno yang dekat dengan Cina dengan menghapus segala pengaruh Cina, termasuk membatasi hak-hak warga keturunan Cina.
Semenjak Orde Baru, warga keturunan Cina harus meninggalkan segala atribut berbau Cina, termasuk misalnya mengganti namanya menjadi nama pribumi. Pengategorian ini memunculkan perbedaan mencolok dan mengarah pada prasangka buruk.
Setelah kejadian Mei 1998, penelitian saya menunjukkan bahwa prasangka negatif terhadap etnis Cina tetap ada. Hal ini karena semua kasus terkait etnis Cina belum pernah diselesaikan.
- Trauma yang membekas
Meski kerusuhan sudah terjadi lebih dari 20 tahun yang lalu, trauma atas peristiwa itu sangat membekas. Baik responden beretnis Cina maupun pribumi masih mengingat dengan jelas perasaan marah dan takut ketika membayangkan kerusuhan Mei 1998.
Penelitian menunjukkan memori pengalaman buruk di masa lalu sulit dilupakan karena terdapat stimulus yang dapat memicu memori mengenai kejadian tersebut. Misalnya, saat sedang melihat berita tentang kerusuhan di suatu tempat, responden mengatakan dirinya selalu teringat perasaan mencekam saat kerusuhan Mei 1998 di masa lalu.
Salah satu responden etnis Cina, yang berumur 33 tahun dan menjadi korban kerusuhan Mei 1998, mengatakan masih merasa takut dan bahkan sampai saat ini mengalami luka batin.
Perasaan takut juga dirasakan oleh responden lainnya yang meski bukan menjadi sasaran penyerangan tapi juga merasakan emosi yang sama. “Saya juga takut kerusuhan tersebut terjadi lagi,” ujar perempuan berumur 31 tahun tersebut.
Tidak adanya penuntasan terhadap peristiwa tersebut menjadi kekecewaan dan luka mendalam bagi para korban hingga hari ini.
Trauma tersebut mungkin tidak mudah hilang hingga beberapa generasi ke depan. Meski langkah hukum belum dapat dilakukan untuk menuntut para pelaku ke jalur hukum, setidaknya pemerintah bisa memelihara iklim persatuan di antara etnis masyarakat agar tidak lagi dipecah belah oleh segelintir orang demi kepentingan politik.
Pemerintah juga seharusnya dapat lebih mempromosikan identitas etnis seluruh warganya sebagai kekayaan bangsa yang bisa digunakan untuk mewujudkan persatuan.