5 Alasan Kita Harus ‘Kepo’ Soal RKUHP
Kita semua tanpa terkecuali bisa terjerat hukuman pidana jika RKUHP disahkan.
Belakangan ini muncul tagar #TolakRKUHPngawur di media sosial, mulai dari Twitter, Facebook, sampai Instagram. Beberapa teman mulai bertanya mengapa tagar ini sering sekali hilir mudik di lini masa mereka, dan pertanyaan yang paling sering dilontarkan adalah “RKUHP itu apa? Kenapa kami harus peduli?”.
Banyak hal yang perlu diketahui soal Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang tengah digodok oleh Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia yang membidangi masalah hukum, hak asasi manusia, dan keamanan. Untuk merangkum semua itu, ada lima alasan kenapa kita harus kepo dengan RKUHP.
Pertama, ada aturan-aturan yang bakal membuat kita sulit mendapatkan informasi mengenai alat kontrasepsi dan kesehatan reproduksi. Pasal 481 dan 483 menetapkan bahwa siapa pun selain petugas yang “berwenang”, jika ketahuan memberikan edukasi mengenai alat kontrasepsi dan kesehatan reproduksi, maka mereka akan terkena sanksi pidana. Hal ini jelas akan sangat menghalangi gerak-gerik masyarakat untuk mengadakan penyuluhan. Padahal data Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) menunjukkan bahwa secara umum, sumber edukasi utama masyarakat tentang kesehatan reproduksi, KB, dan Infeksi Menular Seksual (IMS) berasal dari sektor non-pemerintah.
Kedua, penyebaran fitnah, main hakim sendiri, dan persekusi akan semakin marak terjadi. Kok bisa? Pasal 484 ayat (1) huruf e menyebutkan: “Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun: laki-laki dan perempuan yang masing- masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.” Sementara itu Pasal 488 adalah sebagai berikut:
Jika disahkan, berapa banyak persekusi yang akan terjadi dengan mengatasnamakan aturan-aturan ini? Ketentuan pasal-pasal tersebut akan menjadi celah untuk disalahgunakan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab. Salah satu contoh saja, tetangga yang kesal dengan kamu bisa saja melaporkan kamu dan seorang teman yang tengah menginap di rumah meskipun mereka tidak memiliki bukti-bukti yang kuat. Kasus persekusi yang terjadi di Tangerang belum lama ini, di mana pasangan yang tidak terbukti berbuat mesum ditelanjangi, kemungkinan besar akan meningkat dengan adanya pasal-pasal ini.
Pasal 484 ayat 1 (satu) huruf E juga berpotensi mengkriminalisasi kelompok rentan, masyarakat miskin, dan para penghayat kepercayaan karena tidak mempunyai surat nikah. Padalah menurut data dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) tahun 2016, temuan studi representatif di daerah Aceh, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan memperlihatkan bahwa 41 persen pasangan menikah tidak dapat menunjukkan akta nikah mereka dan 21 persen pasangan menikah status pernikahannya tidak tercantum dalam Kartu Keluarga mereka. Apalagi kelompok masyarakat dari penghayat kepercayaan yang belum diakui oleh negara. Pada 2012 saja sekitar 40 sampai 50 juta masyarakat adat yang belum difasilitasi oleh negara karena sistem ideologi dan nilai yang mereka anut.
Ketiga, ketentuan Pasal 496 RKUHP hanya memberikan perlindungan bagi anak yang “belum menikah”. Penggunaan frasa “belum menikah” berarti mengesampingkan perlindungan bagi 25 persen anak perempuan yang telah dikawinkan sebelum berusia 18 tahun. Padahal definisi anak dalam Undang-undang Perlindungan Anak tidak berdasarkan pada status perkawinan.
Pasal 496 juga hanya memberi perlindungan pada anak yang “berkelakuan baik.” Frasa “berkelakuan baik” ini patut dipertanyakan pada pembuat rancangan undang-undang ini. Kata-kata tersebut bisa menjadi celah bagi orang dewasa untuk bersikap sewenang-wenang pada anak, dan juga mendiskriminasi anak yang dianggap “tidak berkelakuan baik” dan menganggap mereka pantas mendapatkan kekerasan seksual.
Keempat, perkawinan anak dianggap rasional bagi masyarakat untuk menghindari zina. Jika RKUHP disahkan, pilihan untuk menikahkan anak-anak berusia di bawah 18 tahun akan semakin digandrungi oleh orang tua untuk menghindari zina. Padahal anak-anak di bawah usia 18 tahun belum matang secara fisik maupun mental untuk menghadapi kehidupan rumah tangga. Salah satu dampaknya adalah potensi kekerasan dalam rumah tangga yang akan semakin meningkat karena ketidaksiapan pasangan muda tersebut.
Kelima, orang-orang dengan orientasi seksual di luar heteroseksual sangat rentan untuk dikriminalisasi. Pasal 495 RKUHP akan memberikan celah bagi masyarakat yang tidak menerima keberagaman orientasi seksual untuk mengkrimininalisasi mereka yang memiliki orientasi seksual yang berbeda. Ini juga dapat meningkatkan stigma dan persekusi terhadap mereka.
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini oleh pemerintah digadang-gadang akan “melindungi” masyarakat Indonesia, namun perlindungan macam apa jika ada aturan-aturan yang berpotensi mengancam banyak lapisan masyarakat? Setiap dari kita bisa saja terjerat pasal-pasal tersebut.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk menolak RKUHP yang rencananya akan disahkan bulan ini? Kamu bisa memulai dengan memantau media serta akun-akun Twitter yang kerap membahas tentang RKUHP seperti PUSKAPA, LBH Masyarakat , dan ICJR. Bagikan informasi yang didapat pada teman-teman yang belum tahu alasan kenapa kita harus menolak RKUHP ini. Bicarakan hal ini dengan siapa saja yang kamu kenal atau temui. Sebanyak mungkin orang harus mengetahui hal ini. Selain itu, kamu juga bisa ikut untuk menandatangani petisi daring soal penolakan terhadap RKUHP.
Yuk, gerak cepat sebelum terlambat!