December 25, 2025
Culture Screen Raves

#MadgeKaleidoskop 2025: 5 Film Indonesia Pilihan Magdalene dan Isu Menarik yang Dibawanya

Ada lima film Indonesia pilihan #MadgeReview sepanjang 2025. Dari ‘Sore: Istri dari Masa Depan’ bergenre drama romantis fiksi ilmiah, hingga film omnibus ‘The Period of Her’.

  • December 24, 2025
  • 6 min read
  • 300 Views
#MadgeKaleidoskop 2025: 5 Film Indonesia Pilihan Magdalene dan Isu Menarik yang Dibawanya

Sepanjang tahun ini, film-film yang kami bahas di #MadgeReview menghadirkan potret keseharian yang dekat dengan pengalaman banyak orang. Misalnya relasi keluarga, beban emosional, kerja perawatan, dan pilihan hidup yang diambil untuk bertahan di tengah situasi sulit. Cerita-cerita ini memperlihatkan bagaimana keputusan individu dibentuk oleh ketidakadilan sistem.

Daftar ini kami susun berdasarkan film yang punya isu menarik, dari bergenre drama romantis fiksi ilmiah hingga horor komedi. Kebanyakan di antaranya menampilkan pengalaman dan hak perempuan yang terpinggirkan. Dalam konteks ini, film berperan sebagai medium yang menyampaikan keberpihakan terhadap isu-isu tersebut.

Kami menyadari bahwa film-film yang dirilis sepanjang tahun ini terlalu luas untuk dirangkum secara menyeluruh, dan tak semua bisa kami tonton. Karena itu, film-film yang masuk dalam daftar ini tidak merepresentasikan narasi penting yang beredar, melainkan sebagian kecil dari percakapan yang berkembang. Berikut kelima daftar filmnya:

1. Sore: Istri dari Masa Depan (Yandy Laurens)

Tema “cinta” kembali ditampilkan Yandy Laurens. Dalam Sore: Istri dari Masa Depan (2025), Yandy menghadirkannya lewat Sore (Sheila Dara). Ia karakter yang bucin pada suami dan sedang berproses melepas duka.

Sebagai sutradara dan penulis naskah, karakter itu menjadi ciri khas Yandy dalam film-filmnya: Keluarga Cemara (2019), Jatuh Cinta Seperti di Film-film (2023), dan 1 Kakak 7 Ponakan (2025). Yandy juga menekankan cinta sehidup semati dalam hubungan heteronormatif, yang dalam film ini didukung dengan plot time loop.

Dalam ulasan ini, kami mempertanyakan plot time loop yang masih berpusat pada laki-laki. Sebab, karakter yang mengalami time loop biasanya akan menerima, menanti, merawat ingatan, dan ingin menyelamatkan karakter laki-laki. Perilaku obsesif, yang dianggap romantis, seperti dilakukan oleh Sore.

Ulasan lengkapnya bisa ditonton di sini.

2. Pangku (Reza Rahadian)

Dalam debut sutradaranya, Reza Rahadian menyebut Pangku sebagai surat cinta untuk ibu. Ini terlihat jelas pada karakter ibu yang menjadi subjek, dan cerita yang disampaikan tentang relasi ibu dan anak.

Secara biologis, kita bisa melihat hubungan Sartika (Claresta Taufan) dan Bayu. Sebagai ibu tunggal, berbagai pilihan hidup yang diambil Sartika mencerminkan identitasnya sebagai ibu: bekerja sebagai pelayan kopi pangku karena alasan ekonomi, dan menikah dengan Hadi (Fedi Nuril) supaya anaknya punya sosok ayah.

Ada juga Maya (Christine Hakim) dan Sartika, relasi ibu dan anak yang berawal dari hubungan transaksional. Ini ditandai dengan Maya, yang awalnya berharap Sartika jadi penglaris di warung kopinya. Seiring berjalannya waktu, Maya mengasihi Sartika seperti anaknya, sekaligus merawat Bayu seperti cucunya sendiri.

Lewat film ini, Reza memberikan jarak ketika menarasikan perempuan. Kita tak pernah tahu latar belakang Sartika yang sebenarnya, selain perannya sebagai ibu. Ketika menampilkan pelayan kopi pangku pun—yang dekat dengan stigma prostitusi—kamera tak banyak menampilkan adegan seks ataupun menyorot tubuh perempuan. Justru menggarisbawahi ketimpangan dan kemiskinan yang menjerat perempuan, sehingga mereka harus berjuang.

Baca ulasannya di sini. 

3. 1 Kakak 7 Ponakan (Yandy Laurens)

Jika film panjang pertamanya, Keluarga Cemara (2019) mengisahkan dinamika keluarga nuklir, Yandy Laurens justru mengkritisi konsep tersebut dalam 1 Kakak 7 Ponakan (2025). “Keluarga ideal” yang kita kenal dari budaya patriarki dan kapitalisme—terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak, enggak berlaku bagi Moko (Chicco Kurniawan).

Pasca kematian kakak dan iparnya, Moko adalah satu-satunya sosok yang bisa diandalkan. Iparnya, Eka (Ringgo Agus Rahman), justru menggambarkan laki-laki patriarki: menuntut status kepala keluarga tanpa berpenghasilan, ingin dilayani istri, enggan melakukan kerja perawatan, dan mendefinisikan keluarga sebatas keluarga inti.

Situasi itulah yang membuat Moko bertanggung jawab, atas hidup keponakan-keponakannya. Ia juga menerima kehadiran Ais dan Ano, dua anak yang tak termasuk keluarga inti—meski artinya lebih besar pengeluaran yang disalurkan. Dari peran sebagai caretaker ini, Moko bisa melihat pentingnya pembangunan yang mengakomodasi kebutuhan keluarga.

1 Kakak 7 Ponakan memperlihatkan bahwa “keluarga ideal” tak efektif. Tugas seorang provider bisa menjadi tanggung jawab siapa pun—tak melulu dipegang oleh ayah seperti praktik budaya patriarki. Dan pengasuhan anak dalam sistem keluarga inti, justru punya celah menelantarkan pengasuhan anak karena tanggung jawab negara dibebankan pada orang tua.

Tonton ulasannya di sini.

4. Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah (Kuntz Agus)

Dalam Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah (2025), sutradara Kuntz Agus menyorot kehidupan seorang ibu, yang berusaha menciptakan keluarga fungsional. Kondisi di rumah tak ideal, suaminya hanya hadir secara fisik tapi absen dalam menjalankan peran.

Kekosongan itu membuat Wulan harus menanggung semua beban: melakukan pekerjaan domestik, mengasuh anak dan cucu, sekaligus menafkahi keluarga. Belum lagi beban emosional, karena suami Wulan melakukan kekerasan verbal.

Situasi yang dihadapi Wulan, berawal dari perjodohan yang dilakukan orang tua. Mereka melihat pernikahan sebagai solusi dari masalah ekonomi. Harapannya, Wulan akan memiliki kehidupan yang layak setelah menikahi laki-laki mapan.

Namun, hidup yang awalnya ideal, berubah sejak suami Wulan bangkrut. Keluarga mereka tak punya sumber penghasilan lain, karena suami Wulan melarangnya bekerja dan melanjutkan pendidikan. Wulan diminta fokus mengurus rumah tangga.

Lewat karakter Wulan, Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah menekankan, pernikahan bukanlah cara untuk memperbaiki kondisi finansial. Film ini juga mempertanyakan indoktrinasi ibuisme yang usang, lewat pembagian peran gender tradisional dalam rumah tangga, dan karakter Wulan yang diharapkan menjaga keutuhan keluarga.

Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah juga mengingatkan kita, akan toksiknya sistem patriarki yang meminggirkan perempuan. Bahwa perempuan masih dihadapkan dengan kerja perawatan tak berbayar, dan sering kali tak punya pilihan untuk menjalankan agensinya sebagai individu.

Ulasan lengkapnya bisa dibaca di sini.

5. The Period of Her (Linda Andriyani, Praditha Blifa, Sarah Adilah, Erlina Rakhmawati)

Film omnibus yang digarap oleh empat sutradara perempuan ini, memosisikan perempuan sebagai subjek yang memiliki agensi. Linda Andriyani, Praditha Blifa, Sarah Adilah, dan Erlina Rakhmawati, menarasikannya lewat menstruasi dan ketubuhan perempuan. Dua hal yang dianggap oleh masyarakat patriarkal sebagai hal tabu, dan membatasi ruang gerak perempuan.

Dalam Serixad Patah Hati, Linda memotret perempuan yang merebut kontrol atas tubuhnya, saat “kerasukan” ketika pertunjukkan kuda lumping. Sementara Praditha, dalam Romansa Keparat, menunjukkan bahwa tubuh perempuan bukanlah “alat” untuk memvalidasi maskulinitas laki-laki. 

Kemudian Swim Swimming to The Shore karya Sarah, mencerminkan sekolah—sebagai institusi—yang mengatur moralitas perempuan lewat aturan diskriminatif. Jilbab dilihat sebagai pelindung dan lambang kesalehan. Meski kenyataannya merebut otonomi tubuh perempuan, rasa aman, dan keberhargaan diri.

Sementara Erlina dalam Not Dead Enough, menggarisbawahi kompleksnya ketubuhan dan pengalaman perempuan. Ia menggambarkannya dengan gender swap, sehingga laki-laki merasakan yang dialami perempuan: menstruasi, di-catcall, harus menutup aurat, dan melakukan kerja perawatan.

The Period of Her menjadi film penting karena membongkar cara pandang patriarki terhadap ketubuhan perempuan. Yang juga kentara dari cara karakternya melawan, adalah membentuk support system dari pengalaman kolektif selama dipinggirkan oleh sistem opresif.

Baca ulasannya di sini.

About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.