5 Peretasan Akun Pengritik Pemerintah, Kini Mulai Sasar Warga Biasa
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah kasus peretasan, pengambilalihan akun, dan intimidasi digital terhadap WNI yang mengkritik pemerintah kian jamak terjadi. Serangan dilakukan tak lama usai kritik diunggah, menggunakan data pribadi yang tidak mudah diakses publik, dan sering disertai ancaman terhadap keluarga korban.
Kasus terbaru dialami “AL”, 18, setelah mengkritik insiden keracunan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Kritik yang ia unggah ke platform X tidak sampai tersebar ke seratus orang. Namun dalam hitungan jam, akun WhatsApp ayahnya diretas. Dengan menggunakan akun tersebut, pelaku memaksa AL menghapus unggahannya, mengirim pesan ke grup keluarga, dan menyebut identitas AL secara lengkap.
Kepada BBC Indonesia (27/11), AL mengaku panik dan trauma. “Dia sampai sebut nama panjang aku,” katanya. Ibunya menangis ketakutan, sementara keluarganya mendesak AL berhati-hati. Bagi AL, kejadian ini memastikan teror itu betulan nyata adanya.
AL tak sendirian. Laporan organisasi kebebasan berekspresi menunjukkan tindakan serupa telah berulang terhadap aktivis, mahasiswa, jurnalis, hingga warga biasa. Ini teridentifikasi dalam reply cuitan AL yang berisi testimoni sejumlah warga korban peretasan. Akun mereka diambil alih, data pribadi disebar, dan keluarga diancam untuk membungkam kritik.
Dalam banyak kasus, pelaku bahkan mengetahui informasi sensitif seperti alamat rumah, NIK, riwayat pendaftaran SIM card, hingga nama ibu kandung—data yang bukan hanya tidak tersedia secara publik, tetapi seharusnya dilindungi oleh negara.
Menurut SAFEnet dalam postingannya di Instagram, (3/9), pola ini menunjukkan pelaku memiliki “akses besar atas data pribadi warga Indonesia”, baik melalui kebocoran data, penyalahgunaan kewenangan, maupun infrastruktur digital yang tidak diawasi dengan ketat.
Hingga kini, laporan-laporan warga mengenai peretasan dan intimidasi digital jarang berujung pada penyelidikan menyeluruh. Minimnya transparansi dan lambatnya penegakan hukum memperkuat kesan, ruang ekspresi publik di Indonesia semakin menyempit, sementara pelaku serangan digital beroperasi tanpa konsekuensi.
Berikut lima kasus peretasan yang dirangkum Magdalene dari berbagai sumber:
Baca Juga: Tubuh Bukan Milik Negara: Pesan Kolektif dari Women’s March 2025
1. Serangan terhadap Iqbal Damanik Usai Kritik Tambang
Pada 17 Juni, akun WhatsApp Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace mengalami percobaan peretasan. Beberapa hari sebelumnya, ia dan dua relawan membentangkan poster “Save Raja Ampat, Papua bukan tanah kosong” di Forum Internasional “Critical Mineral Conference 2025”, lalu mengkritik Kementerian ESDM yang dinilai lamban merespons kerusakan lingkungan di Raja Ampat.
Serangan digital datang setelah kritik tersebut menjadi sorotan publik. Tak lama kemudian, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menghentikan aktivitas tambang PT Gag Nikel. Namun upaya peretasan terhadap Iqbal memperlihatkan respons digital yang agresif setiap kali isu sensitif lingkungan bersentuhan dengan kritik terhadap pemerintah.
2. Doxing Massal Usai Demo Agustus: Ancaman ke Orang Tua dan Kerabat
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menghimpun belasan laporan intimidasi digital setelah aksi demonstrasi besar Agustus lalu. Warga yang sekadar mengunggah dokumentasi demonstrasi menerima pesan ancaman dari nomor asing. Pelaku mengirim poster editan yang menyerupai Daftar Pencarian Orang (DPO), lengkap dengan foto dan data pribadi korban.
Salah satu pesan ancaman berbunyi: “Kasih tahu anak anda agar hapus akun Twitter atau X sekarang juga, atau aku sebarkan ini ke seluruh kontak ponsel anda.”
Dilansir dari postingan Instagram SaFEnet, (3/9), ancaman tidak hanya ditujukan kepada korban, tetapi juga kepada orang tua, saudara, dan keluarga besar. Pelaku kerap mengaku sebagai aparat dari berbagai Polda, memanfaatkan rasa takut masyarakat terhadap institusi penegak hukum.
Baca Juga: Sejumlah Aktivis Ditangkap, Puluhan Orang Masih Hilang: Kebebasan Sipil Terancam
3. Peretasan dan Kriminalisasi Ravio Patra
Kasus Ravio Patra menjadi salah satu contoh paling dikenal mengenai bagaimana peretasan diikuti tindakan hukum. Pada April 2020, Ravio mengritik dugaan konflik kepentingan Staf Khusus Presiden Billy Mambrasar. Sehari berselang, akun WhatsApp-nya diretas. Notifikasi pendaftaran perangkat baru, permintaan kode OTP, dan percobaan masuk berkali-kali membuat Ravio melapor ke SAFEnet.
Saat akun itu dikuasai peretas, pesan provokatif—termasuk ajakan penjarahan—disebarkan menggunakan namanya. Lima jam kemudian Ravio berhasil memulihkan kontrol atas akun tersebut. Namun keesokan harinya ia ditangkap polisi dan dituduh sebagai penyebar pesan provokatif yang muncul saat akunnya diretas.
Hingga kini, berbagai pertanyaan soal pelaku peretasan tidak pernah terjawab tuntas.
4. Serangan ke BEM UI Usai Kritik “The King of Lip Service”
Pada Juni 2020, akun media sosial BEM UI diretas beberapa jam setelah mereka mengunggah kritik terhadap Presiden Joko Widodo melalui poster bertuliskan “The King of Lip Service”. Serangan tidak hanya menyasar akun organisasi, tetapi juga akun WhatsApp pengurus inti: Wakil Ketua, Kepala Departemen Aksi dan Propaganda, dan Kepala Biro Humas.
Para pengurus melaporkan percobaan log-in dari berbagai perangkat asing, pengambilalihan akun, serta pesan yang menghilang dari riwayat percakapan. Serangan ini memperlihatkan bahwa organisasi mahasiswa pun menjadi target ketika kritik mereka memperoleh perhatian publik yang luas.
5. Peretasan Menyasar Keluarga Jurnalis Tempo Cica
Tempo juga mengalami rentetan teror, dari paket kepala babi tanpa telinga, kiriman enam tikus mati, hingga doxing terhadap jurnalis Francisca Christy Rosana (Cica) oleh pemilik akun Instagram @derrynoah. Pelaku mengunggah foto profil serta alamat email Cica sambil menuduh pemberitaan Tempo memprovokasi publik dan dikendalikan pihak asing.
Menurut Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), Erick Tanjung, serangan itu bahkan merembet ke keluarga. Ibunda Cica turut menerima ancaman dan akun WhatsApp-nya sempat diretas sebelum akhirnya dipulihkan oleh tim KKJ. Erick menilai pola teror yang berulang terjadi karena para pelaku merasa memiliki impunitas.
















