5 Pelajaran dari Para Pahlawan Perempuan Indonesia
Dari soal usia sampai sorotan panggung, ada kearifan sehari-hari yang dapat ditarik dari para perempuan hebat ini.
Pernah menghitung ada berapa orang pahlawan nasional berjenis kelamin perempuan yang dimiliki Indonesia? Total ada 15 perempuan dari 185 individu yang berhak menyandang gelar pahlawan nasional. Perempuan-perempuan ini ada yang menjadi kombatan di medan perang, ada yang mendirikan sekolah perempuan, hingga menjadi bagian dari pergerakan persiapan kemerdekaan Indonesia.
Artikel pendek ini mungkin lebih tepat dimuat saat peringatan Hari Pahlawan 10 November. Tapi tanggal 10 Mei adalah Hari Ibu Internasional. Apakah kita tidak bisa melihat para pahlawan perempuan ini sebagai para ibu bangsa yang mencoba menyampaikan pelajaran pada generasi berikutnya? Selain itu, karena ibu adalah guru dan mentor pertama kita, mari kita bayangkan pelajaran untuk keseharian kita dari para pahlawan perempuan tersebut.
Sebelum mulai membaca, patut saya ingatkan bahwa tulisan ini sebisa mungkin menghindari kalimat-kalimat bombastis seperti “pengorbanan”, “perjuangan” atau “pengabdian” karena memang tujuannya semata-mata mencari kearifan sehari-hari sebagai pesan dari para perempuan hebat ini. Saya membayangkan apabila perempuan-perempuan ini bisa mewariskan pesan bagi perempuan generasi berikutnya mungkin sederhana saja pesannya.
Kurang lebih seperti ini.
Dewi Sartika dan Maria Walanda Maramis ketika mendirikan sekolah di Bandung dan Manado menginginkan agar perempuan bisa bersekolah, supaya bisa memiliki kompetensi lebih banyak. Menurut mereka, perempuan harus bisa membaca dan menulis agar tidak terkungkung pada aktivitas rumah tangga belaka. Dewi dan Maria selama hidupnya jatuh bangun membangun sekolah khusus bagi perempuan hingga akhir hayat mereka. Bahkan sekolah Dewi Sartika masih berdiri hingga kini di Jawa Barat. Namun justru yang lebih mendapat penghargaan dari apresiasi publik adalah Kartini yang keburu meninggal di usia muda.
Pelajaran: Bila orang lain yang lebih mendapat panggung dibanding kita yang bekerja lebih keras, coba cek. Apakah menerima sorot panggung menjadi tujuan kita dari awal?
Roehanna Koeddoes adalah jurnalis perempuan pertama Indonesia dari Sumatra Barat. Roehanna mendirikan sekolah khusus perempuan kemudian menerbitkan koran khusus perempuan Sunting Melayu. Koran tersebut terbit dua minggu sekali dan dibaca sampai Singapura hingga Malaysia.
Hari-hari Roehanna dimulai dengan dua jam mengajar, kemudian lanjut di siang hari di organisasi perempuan kemudian sore hingga malam hari menulis untuk koran. Roehanna diakui menjadi pahlawan nasional pada tahun 2019.
Pahlawan perempuan lainnya adalah Hajjah Rangkayo Rasuna Said, seorang aktivis pergerakan nasional yang kerap berorasi menentang kebijakan pemerintah kolonial. Rasuna Said adalah orang pertama yang ditahan pemerintah kolonial Belanda dengan tuduhan menyebarkan kebencian pada penguasa. Karena lebih ingin aktif di pergerakan dan politik, Rasuna Said memilih berpisah dari suaminya. Pada masa awal Republik, Rasuna Said mewakili Sumatra Barat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan wafat pada tahun 1965 sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung.
Baca juga: Ketika Cut Nyak Dien Terlempar ke Mesin Waktu
Pelajaran: Perempuan harus bekerja berkali-kali lebih keras dibandingkan lelaki untuk bisa diakui pencapaiannya dalam hidup. Try to elevate the game, ladies.
Tjoet Njak Dien dan Tjoet Meutia adalah pahlawan perempuan selama Perang Aceh (1821-1904). Menjadi ibu dan istri tidak menghentikan mereka untuk angkat senjata menjadi kombatan. Tjoet Meutia meninggalkan anak lelakinya yang masih kecil diasuh oleh keluarganya untuk memimpin pasukannya bertempur. Tjoet Njak Dien membawa bayinya ke hutan agar senantiasa dekat ketika ia di medan tempur.
Tjoet Njak Dien dan Tjoet Meutia menjadi bagian sejarah bukan sebagai istri yang turut angkat senjata mendampingi suami mereka yang kombatan, namun karena pencapaian mereka sebagai pemimpin pasukan tempur. Peluru menghabisi nyawa Tjoet Meutia ketika masih menghunus rencong menolak penangkapan Belanda, sementara Tjoet Njak Dien ditangkap Belanda ketika masih bergerilya di hutan untuk kemudian dibuang ke Sumedang.
Pelajaran: Definisi diri tidak ditentukan oleh pasangan hidup, tapi dari tindakan-tindakan aktif kita sendiri.
Baca juga: Hari Ibu dan Kakak Perempuan Sebagai Mentor
Martha Christina Tiahahu adalah seorang remaja putri berusia 17 tahun. Bersama ayahnya, ia melancarkan berbagai serangan ke pertahanan Belanda di Saparua. Ayahnya kemudian tertangkap dan dieksekusi oleh Belanda. Martha dilepas karena usianya yang masih belia. Belanda kemudian menangkapnya lagi untuk diperkerjakan sebagai pekerja kasar di perkebunan kopi di Jawa. Martha meninggal dalam perjalanan dari Saparua menuju Jawa.
Kontras dengan Martha Christina Tiahahu, Nyi Ageng Serang adalah seorang perempuan ningrat Jawa berusia 73 tahun ketika Pangeran Diponegoro memintanya membantu berperang melawan Belanda. Selama Perang Diponegoro (1825-1830), Nyi Ageng Serang berperan sebagai ahli strategi tangan kanan Pangeran Diponegoro dan memimpin pasukannya sendiri di daerah Prambanan. Nyi Ageng Serang meninggal pada usia 93 tahun di Yogyakarta
Pelajaran: Usia tinggal angka ketika kita ingin memenuhi panggilan
Tapi pelajaran terbaik datang dari Marsinah, aktivis buruh yang meninggal dibunuh pada 8 Mei 1993. Apakah itu? Jangan datang sendiri ke aparat keamanan, harus selalu ada lebih dari satu orang yang mendampingi.
NB: Ibu Tien Suharto dan Ibu Fatmawati Soekarno juga mendapat status pahlawan nasional. Jadi dari 15 orang perempuan tersebut, dua di antaranya adalah istri Presiden Indonesia.