Culture

5 Penulis Perempuan Perancis dengan Novel Bertema Perempuan Queer

Di tangan lima penulis perempuan Perancis ini, sastra adalah senjata pembebasan perempuan, khususnya perempuan queer.

Avatar
  • March 27, 2020
  • 5 min read
  • 1971 Views
5 Penulis Perempuan Perancis dengan Novel Bertema Perempuan Queer

Di Perancis, Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret diperingati dengan serangkaian aksi dan beragam kegiatan budaya. Sepanjang bulan Maret pada umumnya sejumlah toko buku dan perpustakaan kota memajang buku-buku tema perempuan. Hal ini menjadikan bulan Maret sebagai ajang melek buku tema perempuan bagi masyarakat umum.

Mumpung masih bulan Maret, berikut ini ada lima pengarang Perancis yang menghasilkan karya-karya utama bertema perempuan. Secara khusus, novel yang merayakan hubungan homoseksual antar perempuan.

 

 

Kelima penulis dan karya-karya mereka ini cukup memberikan gambaran keberagaman perjuangan perempuan Perancis modern dalam membentuk dunia mereka. Baik itu secara manis-sendu seperti Jocelyne François, radikal seperti Monique Wittig, elusif seperti Anne Françoise Garréta, punk seperti Virginie Despentes, ataupun problematik seperti Pauline Delabroy-Allard. Di tangan mereka, sastra adalah senjata pembebasan perempuan.

  1. Jocelyne François (1933)

François berasal dari Nancy, wilayah barat laut Perancis, dan kuliah filsafat di kota tersebut. Novel pertamanya, Les Bonheurs (Rupa-rupa Kebahagiaan) yang terbit 1970, bercerita tentang kehidupan Sarah dan Anne yang saling jatuh cinta saat mereka berusia 16 tahun. Namun, karena situasi masyarakat yang kolot (termasuk pengaruh agama Katolik), mereka menikah dengan pria dan terus menjalani kehidupan seperti perempuan heteroseksual. Selang 10 tahun, mereka bertemu kembali dan mulai merajut kisah kasih mereka yang sempat tertunda, tinggal bersama di bawah satu atap sebagai pasangan.

Baca juga: Perempuan yang Timbul Tenggelam dalam Narasi Peralihan Rezim

Kisah ini bernuansa otobiografi: Tokoh Anne adalah François sendiri, dan Sarah adalah kekasihnya, Marie-Claire Pichaud. Novel ini kemudian disusul dengan empat novel lainnya, yang juga bernuansa otobiografi. Salah satunya, Joue-nous « España » (Mainkanlah “Espana”/ Spanyol), yang terbit pada 1980 dan memperoleh penghargaan Prix Femina (penghargaan untuk karya tema perempuan).

  1. Monique Wittig (1935-2003)

Wittig adalah lulusan Sastra di Universitas Sorbonne, Paris. Usai kuliah, ia sempat bekerja di Bibliothèque Nationale (Perpustakaan Nasional Perancis). Novel pertamanya berjudul L’Opoponax (Tanaman Opopanax) (1964) diterima baik di kalangan sastrawan. Novel keduanya berjudul Les Guérillères (Gerilyawan) (1969) juga disambut hangat oleh publik. Perlu dicatat bahwa pada Mei 1968, terjadi protes mahasiswa seantero Perancis yang mengguncang situasi politik nasional.

Novel kedua ini bercerita tentang para pejuang perempuan, yang tinggal bersama-sama sebagai satu suku. Mereka memuja dewi matahari dan rahim. Mereka memiliki ritual pembersihan tubuh dan bersenandung kidung pujian. Sebagai hiburan, mereka berburu pria dan membunuhnya. Menariknya, novel ini ditulis dari sudut pandang orang ketiga feminin jamak (féminin pluriel) yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Nuansa ini penting untuk menggambarkan perjuangan perempuan yang bersifat kolektif, baik itu perjuangan sehari-hari dan bahkan perjuangan di dalam teks. Wittig merajut kasih dan berteman hidup dengan Sande Zeig, sutradara asal New York. Mereka bertemu di Paris pada 1975.

Baca juga: Lasminingrat Lawan Perjodohan di Tatar Sunda Lewat Sastra

  1. Anne Françoise Garréta (1962)

Garréta lahir di Paris dan lulus kuliah Sastra dari Ecole Normale Supérieure di Fontenay-aux-Roses, pinggir kota Paris pada 1982. Ia adalah dosen di Universitas Rennes-2 di Upper Brittany, Perancis. Novel pertamanya berjudul Sphinx (1986), mengisahkan percintaan dua orang yang tidak diketahui jenis kelamin atau gendernya. Pada 2002, terbit novel Pas un jour (Tidak Sehari) yang bercerita tentang proses penulisan sebuah otobiografi seorang narator perempuan dalam 12 bab ingatannya.

Menariknya, Garréta adalah anggota Oulipo dan ia menulis novel Pas un jour mengikuti kaidah lembaga tersebut. Oulipo adalah perkumpulan para pengarang yang menghasilkan karya dengan menggunakan teknik pembatasan kata. Misalnya, tidak menggunakan kata yang mengandung huruf “e”. Dalam bahasa Perancis, huruf “e” ditemukan dalam banyak kata. Jadi, pengarang dituntut untuk menyusun pembatasan yang mengikat dirinya dalam menghasilkan karya yang bermutu.

  1. Virginie Despentes (1969)

Berasal dari kota Lyon, bagian timur Perancis, Despentes dan sempat bekerja sebagai asisten rumah tangga, pekerja seks, dan kasir toko. Ia kemudian pindah ke Paris dan menerbitkan novelnya yang pertama Baise-moi (Perkosa Aku) pada 1994. Novel ini bercerita tentang Manu dan Nadine, dua perempuan muda yang tinggal di pinggiran kota Paris. Lelah dengan pandangan masyarakat yang merendahkan kehidupan mereka, kedua perempuan itu memutuskan untuk memanfaatkan semua sumber daya yang mereka miliki, termasuk tubuh, untuk hidup sepenuh hati.

Baca juga: Baju Adat, Kuda Lumping, dan Bendera Pelangi: LGBT Indonesia Rayakan Paris Pride

Berkelana ke seantero Perancis, Manu dan Nadine merayu laki-laki hidung belang, untuk kemudian merampok dan membunuh para pria itu. Karena menampilkan karakter perempuan muda yang seksi nan agresif dan desakralisasi tubuh perempuan, novel ini membuka pintu neo-feminisme dalam dunia sastra Perancis.

  1. Pauline Delabroy-Allard (1988)

Dellabroy-Allard adalah pengarang muda yang sedang naik daun belakangan ini. Novel pertamanya, Ça raconte Sarah (Tentang Sarah), terbit 2018 dan masuk dalam daftar nominasi kompetisi sastra Prix Goncourt tahun itu. Novel ini mengisahkan hubungan narator dan Sarah. Sang narator adalah seorang ibu tunggal yang bekerja sebagai guru SMA di pinggiran kota Paris. Ia menjalani rutinitas hidup yang menurutnya membosankan dan merasa kesulitan mengatur waktu bagi dirinya sendiri. Semua ini berubah ketika ia bertemu dengan Sarah, seorang pemain biola profesional, pada sebuah pesta tahun baru di Paris. Seketika terjalin hubungan di antara mereka dan berlangsung sangat intens. Novel ini memenangkan penghargaan Prix du Roman des Etudiants (Penghargaan Novel Mahasiswa) dan Prix France Culture/ Télérama (Penghargaan dari radio France Culture dan majalah Télérama).

Foto toko buku di kawasan Quartier Latin yang memajang buku-buku tema perempuan sepanjang bulan Maret.
(Foto: Jafar Suryomenggolo)


#waveforequality


Avatar
About Author

Jafar Suryomenggolo

Jafar Suryomenggolo adalah penerima LITRI Translation Grant 2018 atas terjemahan beberapa cerpen karya buruh migran dalam kumcer At A Moment’s Notice (NIAS Press, 2019). Saat ini ia bermukim di Paris, Perancis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *