5 Seniman Novel Grafis Feminis Eropa yang Patut Disimak
Para seniman feminis ini berhasil menuangkan ide-ide anti-patriarki dengan format novel grafis yang lebih mudah dicerna dan dipahami.
Lahir sebagai bentuk perkembangan komik, novel-grafis (roman graphique/graphic novel) akhir-akhir ini makin menjadi media populer. Seniman merasa lebih bebas berkarya, sementara para pembaca lebih mudah mengakses ceritanya. Malah novel grafis ini kerap dinikmati oleh orang dewasa sambil menambah pengetahuan umum.
Lewat novel grafis, sejumlah seniman feminis telah berhasil menuangkan ide-ide mereka soal kesetaraan, persamaan hak, anti-diskriminasi, anti-patriarki, dan kemajuan bersama. Dengan ini, masyarakat luas juga lebih mudah mencerna, memahami, dan menerima perjuangan gerakan perempuan umumnya. Dari sini pula, berkembang kesadaran umum akan pentingnya feminisme.
Tulisan ini memperkenalkan lima seniman novel grafis feminis Eropa masa kini. Karya-karya mereka tidak melulu terbatas dalam lingkaran feminis saja, tapi juga diakui publik luas. Dan mereka juga menjadi motor pembaharu di dalam bidang seni yang mereka geluti tersebut.
Kelahiran 1978, Liv Strömquist adalah seniman Swedia yang telah menghasilkan banyak karya sejak 2005. Hampir semua karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis, lebih banyak daripada bahasa-bahasa Eropa lainnya, karena penggemarnya banyak di negara tersebut.
Karyanya yang paling dikenal adalah Kunskapens frukt (Buah Pohon Pengetahuan, 2014) dengan edisi bahasa Perancis L’origine du monde (Asal Muasal Dunia) yang terbit 2016. Novel-grafis ini membahas sejarah seksualitas perempuan, yang mencakup tubuh, organ reproduksi, dan fertilitas. Dibahas dalam bahasa satir, penuh ironi, dan menyerang patriarki.
Baca juga: 8 Majalah Daring Feminis Eropa yang Perlu Disimak
Karyanya yang lain adalah I’m Every Woman (2018), novel grafis yang membahas kisah para perempuan yang kerap diperlakukan semena-mena oleh pasangan laki-laki mereka. Pembaca diajak menyadari bahwa kisah-kisah mereka adalah juga kisah-kisah perempuan umumnya yang hidup terkungkung dalam konservatisme yang masih mengutamakan laki-laki dan kepentingan laki-laki.
Pénélope Bagieu berasal dari Perancis dan awalnya bekerja sebagai ilustrator. Seniman berusia 38 tahun itu telah menghasilkan beberapa novel grafis, termasuk yang paling dikenal adalah Culottées (Para Perempuan Pemberani), terbit 2016. Edisi asli Perancis dan terjemahan bahasa Jerman terdiri dari 2 jilid, sementara edisi bahasa Inggris dijadikan dalam satu buku. Novel grafis ini telah diterjemahkan ke dalam 11 bahasa.
Buku ini membahas kisah 30 perempuan dari masa lalu dan masa sekarang, dari berbagai profesi, status, dan negara. Mereka dianggap pemberani karena mampu mengambil keputusan sendiri dan bertindak dengan kesadaran mereka sendiri pula, seperti Joséphine Baker (Amerika/ Perancis), Nzinga (Angola), Phulan Devi (India), Frances Glessner Lee (Amerika), Clémentine Delait (Prancis), Wu Zetian (Cina), dan Sonita Alizadeh (Afghanistan).
Kisah-kisah mereka memberikan gambaran dan inspirasi bagi perjuangan kaum perempuan di seluruh dunia dari berbagai masa, yang bisa membawa perubahan bagi masyarakat yang lebih adil dan menghargai perempuan.
Menariknya, novel-grafis ini telah diadaptasi dalam bentuk anime dan ditayangkan oleh TV5, stasiun televisi pendidikan Perancis, dengan tujuan pendidikan bagi anak-anak.
Baca juga: 5 Penulis Perempuan Perancis dengan Novel Bertema Perempuan Queer
Kelahiran Rumania, Maria Stoian besar di Kanada dan kini bermukim di Edinburgh, Skotlandia. Ia bekerja sebagai seniman profesional dan juga menjadi pengajar di Sekolah Seni Edinburgh. Kebanyakan karyanya mengangkat tema perjuangan pembebasan perempuan.
Karya utamanya adalah Take It As A Compliment (2015), yang membahas berbagai bentuk tindakan tidak menyenangkan yang kerap diterima perempuan (dan kelompok minoritas seksual) di tempat umum maupun di ruang privat, seperti catcalling, cercaan ringan, sentuhan tidak diinginkan, main colek, dan pelecehan seksual lainnya. Tindakan tidak menyenangkan itu kerap didiamkan, diterima, bahkan dimaklumi sebagai “pujian” kepada korban. Buku ini justru mengajak pembaca untuk tidak diam, menerima dan memaklumi itu semua.
Kelahiran 1992, Mirion Malle adalah seniman Perancis yang bermukim di Montréal (Kanada). Ia mulai menghasilkan gambar komik sejak 2011 dan ikut aktif dalam berbagai perkumpulan seniman feminis. Baginya, novel-grafis adalah media ekspresi yang penting dan gerakan perempuan mesti ikut memanfaatkannya untuk menyebarkan ide-ide feminisme.
Karya utamanya adalah Le Ligue de Super Féministes (Liga para Super Feminis), terbit 2018. Novel grafis ini sesungguhnya ditujukan bagi pembaca muda (usia remaja), guna membahas berbagai rupa identitas gender dan bentuk-bentuk diskriminasi gender yang terjadi sekarang ini. Meski begitu, buku ini dapat juga dinikmati oleh pembaca dewasa untuk mengerti perkembangan sosial terkini.
Baca juga: Keluarga Pelangi: 5 Buku Cerita Bergambar Progresif untuk Anak
Jacky Fleming, 65, adalah seniman kawakan asal Inggris yang telah menghasilkan banyak karya komik sejak 1991. Sejumlah karyanya juga terbit di banyak surat-kabar Inggris, seperti The Guardian, Independent, dan New Internationalist.
Karyanya yang paling diterima luas adalah The Trouble With Women (2016), yang membahas berbagai anggapan sosial, norma budaya, dan aturan masyarakat yang telah membelenggu perempuan dari masa lalu hingga masa kini.
Salah satu contohnya adalah anggapan bahwa perempuan tidak akan mampu menghasilkan karya-karya penting karena memiliki ukuran otak yang kecil—sebagaimana dijabarkan oleh Charles Darwin, bapak teori evolusi, sehingga perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Dengan bahasa yang humoris, novel grafis ini mengajak pembaca untuk mempertanyakan kesahihan berbagai konstruksi sosial tersebut.
Kita tentu akan menyambut gembira jika penerbit tanah air menerbitkan terjemahan satu atau bahkan kelima novel-grafis ini bagi pembaca Indonesia. Selain itu, kita juga mendorong seniman-seniman kita menghasilkan novel grafis feminis yang mencerminkan keindonesiaan.