December 5, 2025
Gender & Sexuality Issues Opini Relationship

50:50 Tak Selalu Adil: Mitos Kesetaraan Perempuan dan Lelaki 

Banyak lelaki mendefinisikan adil sebagai 50 persen untuk laki-laki dan 50 persen untuk perempuan. Tampak simpel, tapi realitas sosial perempuan jauh lebih rumit ketimbang itu, Ferguso.

  • October 8, 2025
  • 8 min read
  • 3301 Views
50:50 Tak Selalu Adil: Mitos Kesetaraan Perempuan dan Lelaki 

Saat bicara soal kesetaraan gender, kata yang paling sering muncul dari mulut laki-laki adalah “adil.” Definisi yang kebanyakan diyakini mereka sederhana: Sama rata, 50:50. Kalau laki-laki bekerja keras, perempuan juga harus bisa. Kalau laki-laki menanggung sakit hati karena perceraian, perempuan pun dianggap menanggung beban yang sama. Kedengarannya rapi dan logis, sampai kita menengok lebih dekat realitas sosial yang dijalani perempuan. 

Saya sendiri mendengar gagasan ini langsung dari dua laki-laki Milenial yang saya temui lewat aplikasi kencan. Algoritme aplikasi menilai kami punya kecocokan lebih dari 90 persen, artinya di atas kertas kami jodoh, termasuk secara intelektual. Namun angka tinggi itu tidak menjamin keselarasan pemikiran. Justru dari percakapan dengan R, seorang laki-laki Indonesia yang sudah lama tinggal di luar negeri, dan A, seorang laki-laki India yang merasa senasib dengan perempuan karena perceraian, saya melihat bias gender bisa menyelinap ke mana saja, bahkan di obrolan santai sebelum relasi dimulai. 

Data mendukung pengalaman ini. Survei Ipsos dan Global Institute for Women’s Leadership pada 2024 mencatat, meski 83 persen orang Indonesia mengakui kemajuan kesetaraan gender, hampir sepertiga (31 persen) takut bicara soal hak perempuan karena khawatir konsekuensi. Artinya, retorika kesetaraan ada, tapi praktiknya masih sarat bias dan stigma. 

Dari sini, saya ingin menyoroti percakapan saya dengan R dan A, mulai dari klaim 50:50 yang kelihatan adil sampai soal nilai diri perempuan yang sering dikaitkan pandangan orang lain. Obrolan itu bikin saya semakin yakin, bias gender bukan cuma warisan budaya, tapi sering dianggap hukum alam yang sulit digugat. 

Baca juga: Banyak Lelaki Ngaku Peduli tapi Masih Belum ‘Walk the Talk’ soal Kerja Perawatan

Are We on the Same Boat? 

Percakapan dengan A awalnya ringan, sampai ia bercerita tentang perceraiannya. Karena pernah diselingkuhi, ia merasa jadi korban dan menyimpulkan posisinya sama dengan saya. Dia bilang, “We are on the same boat.” 

No, sir. We certainly are NOT on the same boat. Kalau dia di boat, maka perempuan khususnya di Indonesia, jelas tidak ada di boat yang sama. Hidup kami lebih mirip film Titanic. Laki-laki seperti A bisa duduk aman di sekoci. Sementara perempuan pasca-cerai lebih mirip Rose, bahkan Jack yang mengapung di papan kayu sempit, setengah badan tetap terendam di laut stigma. Bedanya, tidak ada soundtrack Celine Dion yang menghibur sebelum tenggelam. 

A juga sempat membaca tulisan saya, “Dear Men, Know Your Place!” yang berisi kritik pada laki-laki yang mendambakan pasangan trad wife sambil melabeli perempuan ambisius sebagai gold digger. Alih-alih menangkap maksud kritik, ia justru menanggapi dengan argumen, ada juga perempuan yang terlalu bergantung finansial pada laki-laki. Menurutnya, di situlah pentingnya konsep 50:50. 

Masalahnya, definisi 50:50 ala A dangkal: split bill di dinner date, bahkan saat ia yang mengajak. 

Saya sempat memberi contoh. Bayangkan ada tagihan 10 rupiah. Gaji A 30, pasangannya hanya 15. Kalau tagihan dibagi dua, masing-masing bayar 5. Di atas kertas terlihat adil, tapi secara proporsi lebih berat bagi pasangan yang berpenghasilan lebih rendah. Dalam konteks nyata, keadilan seharusnya dibangun lewat komunikasi. Misalnya, siapa mampu menanggung berapa, bagaimana beban dibagi secara proporsional, dan bagaimana pasangan saling menopang. Jauh lebih realistis ketimbang sekadar menentukan 50:50. 

Fakta juga menegaskan perbedaan besar ini. Studi di India pada 2017 mencatat lebih dari 54 persen perempuan bercerai menghadapi prasangka dari keluarga dan masyarakat, bahkan ketika mereka bukan penyebab perceraian. Penelitian lain menegaskan perempuan menanggung kerugian berlapis, dari emosional, finansial, hingga sosial, mengutip The Journal of Multidisciplinary Research, (2025). 

Artinya, klaim same boat gagal melihat kenyataan laki-laki mungkin kehilangan pasangan, tetapi perempuan sering kehilangan lebih banyak. Enggak cuma harga diri di mata masyarakat, tapi juga kestabilan ekonomi bahkan rasa aman. 

Baca juga: #MerdekainThisEconomy: 5 Bukti Perempuan Pekerja Belum Benar-benar Merdeka

Dari Ketergantungan hingga Agensi Diri 

Sentimen serupa juga saya temui dalam obrolan dengan R. Dua pria, dua negara, dua cerita, tapi sama-sama lahir dari kultur Asia yang menekankan kemandirian laki-laki dan ketergantungan perempuan. Ujungnya narasi mereka sama: perempuan dianggap terlalu bergantung, solusinya ada di angka 50:50 dan agensi diri. 

Kalau A sibuk dengan logika angka dan mental korbannya, R datang dengan versi lebih filosofis. Ia menyinggung bagaimana banyak perempuan Indonesia berhenti bekerja setelah menikah, lalu bergantung penuh pada suami. Menurutnya, ketika suami menjadi abusif, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. 

“What I see is that women after married often too relying on her husband and quit the job. Then when her husband becomes too abusive she cannot do anything.” 

Sekilas terdengar seperti kritik peduli. Namun di balik kalimat itu ada bias halus. Perempuan ditempatkan sebagai pihak yang salah karena terlalu bergantung. Padahal, keputusan berhenti bekerja sering bukan pilihan pribadi, melainkan hasil tekanan sosial dan ekspektasi budaya. 

R mencontohkan dirinya yang bisa berdiri tegak, mandiri, dan menentukan jalan meski sering dilabeli nakal atau rebel. Menurutnya, itu bukti semua orang bisa berdaya kalau mau. Namun di mata saya, logika ini rapuh. Ia lupa ia tumbuh sebagai laki-laki, posisi yang sejak awal memberi ruang lebih untuk bereksperimen, mengambil risiko, dan diberi kebebasan oleh orang tua maupun masyarakat. Banyak perempuan bahkan tidak pernah diperkenalkan dengan konsep agensi sejak kecil. 

Dalam obrolan yang sama R juga bilang rasa takut, marah, atau kecenderungan mencari validasi dari orang lain itu hanya ada di kepala mereka (perempuan). Seolah semua kelemahan perempuan bawaan individu. Namun ia juga mengakui norma dan budaya diturunkan lintas generasi lewat orang tua. 

Nah, kontradiksi muncul: Kalau budaya dan pola asuh diwariskan, bukankah wajar pikiran itu ada di kepala perempuan? Kita semua lahir dengan kepala kosong, tapi kepala perempuan lebih sering diisi software patriarki. Menyalahkan perempuan dalam kondisi ini sama saja menyalahkan komputer rusak padahal sistem operasinya sejak awal penuh bug. 

Psikolog anak Indonesia, Saskhya Aulia Prima, dalam berbagai wawancara menekankan pola asuh sejak dini sangat menentukan cara anak melihat dirinya dan dunia. Anak perempuan sering dibesarkan dengan standar lebih ketat, termasuk dituntut sopan, rapi, dan berperilaku baik. Sebaliknya, anak laki-laki lebih diberi ruang mencoba, gagal, lalu bangkit. Pola ini membuat anak laki-laki terbiasa punya agensi, sementara anak perempuan tumbuh dengan batasan yang tidak mereka pilih sendiri. 

Hal serupa dicatat peneliti India Oommen C. Kurian. Ia mengamati meski akses pendidikan dan pekerjaan perempuan meningkat, norma tradisional soal peran gender tetap melekat dalam rumah tangga modern. Perempuan tetap didorong memikul beban domestik meski sudah berperan publik. 

Dengan logika R, perempuan salah karena terlalu mencari validasi. Padahal jelas, siapa yang sejak awal mengajarkan itu? Orang tua, keluarga, masyarakat. Lingkaran yang membentuk cara pandang sebelum perempuan sempat mengenal dirinya. Menyalahkan mereka tanpa konteks ini ibarat menyalahkan anak kecil tidak bisa membaca, padahal mengenal alfabet saja belum. 

Dari A yang menganggap 50:50 puncak keadilan, hingga R yang menilai perempuan salah karena bergantung, pola yang muncul sama: Bias gender dibungkus logika sehat. Padahal keduanya bicara dari posisi yang diuntungkan sistem, laki-laki Asia dengan ruang dan kebebasan lebih luas ketimbang perempuan sebayanya. 

Di titik ini terlihat jelas bias gender bekerja seperti dogma. A mengira adil berarti porsi sama tanpa peduli proporsi. R merasa agensi adalah soal kalau mau ya bisa. Keduanya terdengar meyakinkan karena dibungkus bahasa rasional. Namun ketika digali, argumen mereka bertumpu pada asumsi bahwa pengalaman laki-laki bisa jadi standar universal. 

Masalahnya, bias gender bukan sekadar pendapat individual. Cara kerjanya seperti gema: Semakin sering diucapkan dengan percaya diri, semakin terdengar seperti kebenaran kolektif. Banyak orang sadar ketidakadilan ini, tetapi memilih diam atau menganggapnya hal biasa. Diamnya mayoritaslah yang membuat bias terus hidup, seolah bagian dari hukum alam. 

Baca juga: Saat Tasya Farasya ‘Akhirnya’ Cerai Juga: Cermin dari Publik, Media, dan Standar Ganda

Ini sejalan dengan pendapat Martand Kaushik dari Population Foundation of India. Ia menegaskan rendahnya partisipasi perempuan di kerja formal bukan soal kemauan mereka, melainkan ekspektasi sosial tradisional yang membebani mereka dengan peran domestik terlebih dulu, dikutip dari India Today (2025). 

Di Indonesia, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap perempuan (Komnas Perempuan) berulang kali menyoroti hal serupa. Perempuan kepala keluarga kerap menghadapi stigma, diskriminasi, dan beban ganda tanpa dukungan struktural memadai. Pembakuan peran gender membuat perempuan menanggung kerja domestik lebih berat, apalagi saat kehilangan pekerjaan atau penghasilan. Hambatan yang dihadapi perempuan bukan sekadar kurang mandiri, tapi sistem sosial yang sengaja menempatkan mereka di posisi rentan. 

Akhirnya bias gender bekerja halus tapi mematikan ketika diyakini sebagai hukum alam. Bahwa perempuan lebih emosional, lebih butuh validasi, lebih bergantung. Laki-laki lebih rasional dan bebas memilih. Padahal sekali lagi, semua itu konstruksi sosial yang diwariskan lintas generasi, dikemas rapi, lalu disodorkan kembali sebagai kebenaran. 

Pesan untuk sobat perempuan: Kalau ada laki-laki bilang 50:50 itu adil, ingatlah angka tak pernah bercerita tentang beban yang tak terlihat, stigma yang menjerat, atau ruang yang tak pernah sama. Kesetaraan sejati bukan soal membagi tagihan atau label mandiri di atas kertas, tapi menghancurkan dogma yang bikin perempuan selalu di sisi lebih berat. 

Kalau dipikir-pikir, mungkin inilah alasan saya tidak melanjutkan hubungan dengan A dan R. Buat saya, kalau level pemikiran sudah beda, sulit setara dalam relasi. And THAT, Ladies and Gentlemen, adalah contoh agensi urusan relasi. Butuh waktu bertahun-tahun untuk saya, si Gen Y, membongkar pola pikir yang ditanamkan sejak kecil sebagai anak perempuan Jawa konservatif. Apakah artinya semua bisa kalau mau? Tentu. Meski tidak semua paham bagaimana memulainya. 

About Author

Poppy R. Dihardjo

Poppy R. Dihardjo atau biasa dipanggil Kapop adalah orangtua tunggal, praktisi komunikasi dan lawyer in progress yang suka sambat di medsos seputar isu perempuan.