Politics & Society

6 Alasan untuk Memilih dalam Pemilu Legislatif

Tidak memberikan suara dalam pemilu tahun ini? Coba pikirkan lagi. Ada enam alasan mengapa Anda harus memilih.

Avatar
  • June 23, 2014
  • 6 min read
  • 1353 Views
6 Alasan untuk Memilih dalam Pemilu Legislatif

Baru-baru ini saya ngobrol dengan seseorang yang belum pernah memberikan suaranya seumur hidup. Pria ini berusia di awal 40an, seusia dengan saya, yang berarti ia telah melewatkan lima pemilu terakhir.

“Bahkan tidak untuk mendapatkan kopi Starbucks gratis?” tanya saya.

 

 

“Tidak,” ujarnya bangga, dengan menambahkan bahwa ia juga berniat untuk tidur seharian dalam pemilihan legislatif 9 April.

OK, saya juga tidak memberikan suara pada dua pemilu pertama setelah saya berusia cukup, karena saya tinggal di luar negeri, di sebuah kota kecil yang terlalu jauh dari konsulat Indonesia terdekat (dan tidak terlalu peduli saat itu untuk mencari informasi mengenai pemilihan jarak jauh).

Selain itu, menjadi Golput (golongan putih, secara sadar tidak memilih) merupakan pernyataan politik yang kuat dalam tiga dekade pemerintahan Suharto, ketika pemilihan umum setiap lima tahun merupakan formalitas belaka untuk mengesahkan jabatannya.

Namun Indonesia adalah negara demokrasi seutuhnya sekarang ini, dan untuk tidak memilih – setidaknya pada tahun-tahun awal transisi pada 1999, pemilu legislatif pertama di negara ini, dan pemilihan presiden langsung pertama pada 2004 – merupakan sikap yang, menurut hemat saya, sama saja dengan malas, penilaian yang buruk dan lebih buruk lagi, tidak patriotis.

Ketika orang-orang yang Golput ini kemudian mengeluh tentang pemerintah yang tidak efektif atau korupsi di parlemen, saya ingin mengatakan: “Anda tidak memberikan suara, jadi tidak berhak untuk protes. Anda tidak memiliki kepemilikan dalam hal ini.”

Menurut harian Kompas, 29,1 persen populasi usia memilih atau 49,7 juta orang tidak memberikan suaranya pada pemilihan legislatif 2009. Hal ini membuat mereka “pemenang” dalam pemilihan umum tersebut, dengan suara lebih tinggi dari Partai Demokrat yang memiliki suara tertinggi pada 21,7 juta. Dalam lebih dari 10 tahun, jumlah pemilih terus menurun, dari 92,7 persen pada 1999, menjadi 84 persen pada 2004 dan 70 persen pada 2009.

Ironisnya, banyak dari yang tidak memilih ini, seperti kawan saya di atas, adalah kelompok orang-orang berpendidikan dan berpengetahuan. Beberapa alasan yang mungkin dapat menjelaskan pilihan mereka adalah kekecewaan terhadap kinerja parlemen, kasus korupsi yang marak yang melibatkan anggota parlemen, perasaan bahwa mereka tidak memiliki bagian dalam badan legislatif, serta fakta bahwa mereka tidak punya ide siapa yang harus dipilih.

Tapi apa yang terjadi jika Anda tidak memilih? Sejumlah besar pemilih yang kurang berpengetahuan akan memilih kandidat yang membeli suara dari orang miskin, atau kandidat dari kalangan selebritis yang hanya menjual tampang dan popularitas – pada dasarnya orang-orang yang tidak pantas duduk di parlemen. Atau mungkin mereka akan memilih berdasarkan prasangka mereka – bias-bias ras dan agama – sehingga mengantarkan orang yang dapat mengancam keberagaman yang kaya yang merupakan bahan dasar bangsa ini, ke kursi lembaga perwakilan.

Karena Anda membaca artikel dari, ehm, majalah yang keren ini, saya yakin Anda berasal dari kelompok berpendidikan dan berpengetahuan, dan Anda ingin melihat orang-orang yang kompeten dan dapat dipercaya untuk duduk di lembaga legislatif. Tapi jika Anda masih belum tergerak memilih, berikut adalah beberapa alasan mengapa Anda harus mencoblos:

  1. Jika Anda pikir parlemen tidak ada hubungannya dengan orang-orang biasa seperti saya dan Anda sehingga tidak ada perlunya kita memilih dalam pemilu legislatif, coba pikirkan kembali. Pajak-pajak yang Anda bayar akan masuk ke kantong angota-anggota legislatif sebagai gaji mereka, untuk membayar staf dan merawat rumah dinas, dan membayar biaya transportasi, untuk memastikan mereka menghadiri rapat parlemen, dst, dst. Seorang anggota badan legislatif dapat membawa pulang uang bulanan lebih dari Rp 50 juta. Anda pembayar gaji mereka, jadi Anda harus memastikan mereka adalah orang-orang yang akan bekerja keras saat duduk di kursi-kursi empuk tersebut.
  2. Anda khawatir saat terpilih, mereka akan sama korupnya dengan pendahulu mereka. Sebuah survei yang dilakukan oleh sebuah koalisi LSM menunjukkan bahwa hanya 0,5 persen dari kandidat-kandidat anggota legislatif yang memiliki catatan bersih dan kompetensi. Hal ini menjadi alasan lain untuk memilih orang-orang yang tepat. Jika itu tidak cukup, ada satu hal yang keterlaluan yang harus Anda tahu: saat Anda dan saya sibuk menertawakan banyolan politik, DPR bersama pemerintah saat ini sedang bersekongkol untuk melakukan perubahan-perubahan pada hukum pidana Indonesia yang dapat merongrong wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika disahkan, inisiatif legal ini akan mempersulit KPK dalam menyelidiki dan melakukan tuntutan dalam kasus-kasus korupsi. Pilihlah kandidat yang berkomitmen memberantas korupsi, bukannya mengeremnya.
  3. Parlemen memiliki pekerjaan lain selain membuat undang-undang. Badan ini memutuskan anggaran negara bersama dengan pemerintah, mengawasi badan eksekutif, dan membantu memilih orang-orang yang akan menjabat posisi-posisi kepemimpinan strategis seperti Komandan Militer, Kepala Kepolisian RI dan hakim-hakim Mahkamah Agung. Ini adalah keputusan-keputusan penting yang seharusnya tidak dibuat oleh orang-orang yang tidak kompeten dan serakah.
  4. Tapi Anda tidak tahan dengan partai-partai politik? Siapa juga yang tahan? Mereka gemuk, perlu banyak uang untuk beroperasi (sehingga memberikan tekanan pada para kader untuk mendapatkan uang dengan cara apapun), dan mereka tidak peduli dengan para konstituen sampai tiba waktu pemilu.
    Kabar baiknya adalah, banyak kandidat legislatif yang bukan merupakan kader partai, namun undang-undang mengharuskan mereka mencalonkan diri lewat partai. Riset yang saya lakukan terhadap beberapa anggota parlemen telah meyakinkan saya bahwa ada sejumlah orang baik yang menggunakan partai sebagai kendaraan menuju parlemen. Dan memang seharusnya seperti itu, bukan sebaliknya.
  5. Tetap saja Anda tidak terlalu peduli dengan pemilihan legislatif dan hanya ingin mencoblos pada pemilihan presiden. Tunggu dulu. Aturan di Indonesia mewajibkan sebuah partai politik untuk memenangkan 25 persen dari jumlah total suara atau 20 kursi di parlemen supaya bisa mengajukan calon presiden, atau mereka harus membentuk koalisi dengan partai-partai lain (sebuah proses yang akan mengarah pada iklim politik dagang sapi yang kental). Jika Anda ingin kandidat Anda maju dalam pemilihan presiden, Anda tidak punya pilihan selain memilih partainya. Atau Anda juga dapat melakukan apa yang akan dilakukan teman saya, yaitu memilih kandidat legislatif yang berasal dari partai yang berlawanan dengan partai kandidat presiden pilihan teman saya. (“Karena saya pikir partai pilihan calon presiden saya sudah mendapatkan banyak suara, jadi saya ingin memastikan adanya oposisi yang kuat di parlemen,” ujarnya).
  6. Tapi ada terlalu banyak kandidat, dan Anda tidak tahu siapa yang harus dipilih. Jika Anda punya waktu membaca artikel ini, maka Anda punya waktu luang beberapa menit untuk menggunakan sumber daya besar di Internet untuk menemukan calon-calon yang sesuai. Pertama, cek laman Komite Pemilihan Umum (KPU) yang menyediakan informasi mengenai calon-calon legislatif yang ada di daerah Anda, lalu Anda dapat pergi ke salah satu sumber-sumber berikut –Bersih2014jariungu,checkyourcandidates dan wikikandidat untuk menemukan lebih banyak informasi, atau baca media-media terpercaya seperti majalah Tempo, yang baru-baru ini menampilkan profil-profil kandidat yang tampak kompeten dan berintegritas.

Salah seorang analis menulis dalam blognya bahwa dalam sebuah demokrasi yang terdiri dari sebagian besar pemilih yang tidak berpengetahuan, bahkan 1 persen pemilih yang bijak pun akan dapat membuat perbedaan.

Supaya demokrasi dapat bekerja dengan baik, partisipasi kita semua sangat dibutuhkan.

Ikuti Devi Asmarani di Twitter.

Diterjemahkan dari artikel 6 Reasons to Vote in the Legislative Election.



#waveforequality


Avatar
About Author

Devi Asmarani

Devi Asmarani is the co-founder and Editor-in-Chief of Magdalene. She has enjoyed resisting every effort to tame her and ignoring every expectation tied to her gender.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *