December 8, 2025
Issues Politics & Society

Refleksi 50 Tahun Hari Perempuan Sedunia: Tiga Perempuan Baca Ulang Makna Kebebasan dan Keadilan Gender 

Dalam peringatan 50 tahun Hari Perempuan Sedunia, Devi Asmarani, Theresa W. Devasahayam, dan Virginia Haussegger menyerukan perjuangan kesetaraan gender yang perlu terus dirawat.

  • November 17, 2025
  • 13 min read
  • 460 Views
Refleksi 50 Tahun Hari Perempuan Sedunia: Tiga Perempuan Baca Ulang Makna Kebebasan dan Keadilan Gender 

Tahun 2025 menandai 50 tahun sejak Hari Perempuan Internasional ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1975. Meski lima dekade telah berlalu, berbagai laporan internasional menunjukkan bahwa kesenjangan struktural masih membayangi kehidupan perempuan. PBB misalnya mencatat bahwa perempuan masih mengambil lebih dari tiga perempat seluruh kerja perawatan tidak berbayar, sebuah beban yang menghambat mobilitas ekonomi mereka di hampir semua kawasan.  

Laporan lain dari United Nation (UN) Women juga bilang, terlalu sedikit perempuan berada dalam posisi puncak pengambilan keputusan politik. Sementara United Nation Development Program (UNDP) melaporkan berbagai bentuk kekerasan berbasis gender tetap bertahan sebagai salah satu pelanggaran hak manusia paling meluas di dunia. 

Data-data ini menunjukkan kemajuan lima dekade terakhir berjalan berdampingan dengan kemunduran dan hambatan yang terus muncul dalam bentuk baru. Berangkat dari sinilah Ubud Writers and Readers Festival pada akhir Oktober 2025 lalu menghadirkan sesi khusus bertajuk “The Power of Women”

Sesi ini mempertemukan tiga perempuan dari tiga negara. Mereka adalah Devi Asmarani, Co-Founder sekaligus Editor in Chief Magdalene; Theresa W. Devasahayam, antropolog Singapura yang telah meneliti kehidupan perempuan Asia selama lebih dari 25 tahun; serta Virginia Haussegger, jurnalis Australia peraih berbagai penghargaan yang memandu jalannya diskusi. 

Dari panggung tersebut, peringatan 50 tahun Hari Perempuan Internasional tidak hanya dipahami sebagai momen perayaan, tetapi juga seruan untuk merawat keberlanjutan perjuangan agar generasi perempuan mendatang dapat tumbuh dan menentukan arah perubahan dunia.  

Baca Juga: Profil Sudarmi, Perempuan Penjaga Hutan Paliyan

Ketika kemajuan kesetaraan gender di banyak negara berjalan lambat mulai dari beban kerja perawatan yang tak dibayar yang masih menumpuk di pundak perempuan, meningkatnya kekerasan berbasis gender, hingga pemangkasan hak-hak reproduksi kebutuhan akan pemberdayaan perempuan terasa semakin mendesak. Dalam konteks tekanan global seperti ini, bagaimana kalian memaknai pemberdayaan perempuan dan apa arti konsep tersebut bagi masing-masing dari kalian?  

Devi:  

Bagi saya, pemberdayaan perempuan selalu berawal dari kemampuan untuk menceritakan kisah kita sendiri. Selama bertahun-tahun, bahkan hingga kini, cerita tentang perempuan sering kali tidak ditulis oleh perempuan. Dan sekalipun ditulis oleh perempuan, kisah-kisah itu masih dibingkai dengan kacamata laki-laki, disesuaikan untuk memenuhi selera audiens laki-laki.

Kesadaran itulah yang dulu membuat saya meninggalkan jurnalisme untuk sementara, karena merasa apa yang saya kerjakan tidak benar-benar mengubah apa pun. 

Selain itu, saat saya dan partner kembali ingin membangun media, saya menyadari publikasi perempuan yang ada waktu itu lebih banyak berkutat pada fesyen. Tidak ada yang salah dengan fesyen, tapi saya merasa ini tidak cukup. Dari situ muncul gagasan untuk membuat media yang benar-benar menampilkan suara perempuan dalam segala spektrum pengalaman perempuan.

Ketika kami mulai pada 2012, timnya kecil sekali, hanya saya dan mitra saya. Namun sejak awal kami tahu keberagaman suara adalah fondasi. Cerita harus dituturkan oleh perempuan, tentang perempuan, atau melalui sudut pandang perempuan termasuk ketika topiknya bukan tentang perempuan secara langsung. 

Kini kami tidak hanya menggarap liputan jurnalistik dan isu aktual, tetapi juga budaya populer. Karena bagi audiens muda, pop culture seperti musik, film, manga, K-Pop, buku adalah pintu masuk untuk memahami dunia dan perasaan mereka. Maka kami memanfaatkannya sebagai medium bercerita dengan lensa feminis interseksional. Tujuan kami sederhana. Kami ingin membahas apa saja, tetapi dari sudut pandang yang tak pernah muncul di media arus utama yang maskulin. 

Membangun media independen sendiri sudah sulit, apalagi membangun ruang jurnalisme progresif dan sensitif gender di Indonesia. Kalau meminjam istilah lokal itu susah susah gampang. Ketika kami muncul pada 2012, belum ada media seperti kami. Topik yang kami angkat juga beragam mulai dari pilihan hidup perempuan hingga isu LGBT dengan segala kompleksitasnya membuat orang sadar bahwa ada ruang baru yang selama ini kosong. 

Tentu saja itu mengundang minat sekaligus reaksi keras, terutama dari kelompok konservatif, baik religius maupun sekuler. Tantangannya adalah bagaimana tetap menyuarakan isu penting sambil menjaga agar media kami bisa terus hidup dengan model bisnis yang berkelanjutan. Pandemi menjadi momen refleksi.

Kami kemudian memilih pendekatan yang lebih mudah diakses, mengurangi penggunaan istilah “feminisme” tanpa mengurangi prinsipnya. Kami tetap feminis, para pembaca kami tahu itu, tetapi kami mencoba menyampaikan isu gender dengan cara yang tidak langsung memicu resistensi, sehingga percakapan bisa terbuka. 

Perjalanan ini tentu jauh dari selesai. Kami masih menghadapi kritik, termasuk tudingan “terlalu woke” atau agenda gender yang dipolitisasi. Namun ruang yang kami bangun terus berkembang, dan itu sudah menjadi bagian dari perjuangan itu sendiri. 

Theresa: 

Pemberdayaan perempuan tidak bisa dilepaskan dari pemahaman tentang sejarah panjang ketidaksetaraan. Jika melihat Global Gender Gap Report, kesenjangan gender dalam pendidikan memang hampir tertutup. Bahkan dalam beberapa konteks, lebih banyak perempuan yang masuk perguruan tinggi dibanding laki-laki. Namun kemajuan ini tidak boleh membuat kita lupa bahwa generasi sebelum kita seperti ibu dan nenek kita tidak menikmati kesempatan serupa. Banyak perempuan Asia hari ini masih hidup dengan pendidikan sangat terbatas, dan kisah mereka kerap terabaikan. 

Dalam buku saya (Little Drops), saya menelusuri kembali sejarah perempuan yang disebut transferred children atau anak-anak perempuan Tionghoa yang pada 1930–60-an diberikan kepada keluarga India atau Melayu karena kemiskinan. Pada masa Depresi Besar, banyak keluarga Tionghoa memiliki banyak anak dan selalu memilih mempertahankan anak laki-laki sebagai penerus nama keluarga, sementara anak perempuan dianggap “beban.” Karena itu, ribuan anak perempuan diserahkan tanpa proses adopsi resmi. Mereka hanya “dipindahkan” begitu saja, termasuk ibu saya. 

Yang menarik, keluarga angkat baik Melayu maupun India justru menerima anak-anak perempuan ini dengan penuh kasih. Bagi sebagian keluarga India, mereka menginginkan keseimbangan gender; bagi keluarga Melayu, ada keyakinan bahwa setiap anak adalah amanah yang akan dijaga Tuhan. Tanpa mereka, banyak dari anak-anak perempuan itu mungkin tidak akan selamat karena di beberapa tempat di Tiongkok dan India kala itu, bayi perempuan dibuang, dikubur, atau diabaikan setelah lahir. 

Menulis kisah ini terasa sangat personal. Saya sudah lama ingin menelusuri nilai dan keberhargaan anak perempuan, dan baru berhasil menyelesaikannya beberapa waktu sebelum ibu saya meninggal pada Mei lalu. Banyak generasi muda di Malaysia dan Singapura bahkan tidak mengetahui sejarah kelam ini. Karena itu, bagi saya, pemberdayaan perempuan juga berarti mengangkat kembali kisah-kisah yang pernah dibungkam agar kita memahami betapa berharganya setiap kehidupan perempuan. 

Virginia: 

Salah satu momen paling jelas ketika pemberdayaan perempuan tampak nyata adalah 15 Maret 2021, hari yang seharusnya dikenang sebagai titik balik dalam sejarah Australia. Hari itu, di depan Gedung Parlemen Canberra, kami menyaksikan sesuatu yang tidak pernah diprediksi, sebuah gelombang protes nasional bernama March for Justice yang lahir hanya dari satu unggahan media sosial, kemudian menyebar menjadi seruan massal.

Selama berhari-hari sebelumnya, kemarahan perempuan atas pelecehan, diskriminasi, pengabaian pemerintah, dan budaya yang meremehkan keselamatan perempuan terus menguat. Dan pada hari itu, kemarahan tersebut meledak menjadi tindakan kolektif. 

Saat saya berjalan keluar gedung bersama beberapa mahasiswa, suara ramai dari kejauhan hampir membuat kami terhenti. Di hamparan rumput depan parlemen, ribuan perempuan berpakaian hitam memenuhi lanskap sejauh mata memandang. Di Canberra saja hadir 12.000–15.000 orang. Pada waktu yang sama, di 42 lokasi di seluruh Australia, total sekitar 110.000 orang turun ke jalan menjadikannya aksi perempuan terbesar dalam sejarah negara ini. Semua terjadi hanya dalam 15 hari persiapan, digerakkan oleh kemarahan yang berubah menjadi tekad karena kami sudah muak mengalami diskriminasi ini. 

Momentum tersebut lahir dari keberanian perempuan-perempuan muda yang memutuskan untuk bersuara yang didorong oleh keyakinan bahwa ketidakadilan harus dihentikan. Ada Saxon Mullins, yang mengungkapkan betapa kacaunya sistem hukum terkait persetujuan seksual setelah ia menjadi korban pemerkosaan. Ada Grace Tame, penyintas kekerasan seksual yang pada 2021 dinobatkan sebagai Australian of the Year, dan menggunakan panggung itu untuk memecah budaya diam.  

Kemudian Chanel Contos, yang memicu percakapan nasional soal budaya pemerkosaan di sekolah-sekolah elite melalui unggahan Instagram sederhana yang berkembang menjadi gerakan besar. Dan yang paling mengguncang, kisah Brittany Higgins, staf parlemen yang mengaku diperkosa di kantor menterinya sendiri. Ini ebuah pengakuan yang memperlihatkan betapa dalamnya masalah ini melekat di pusat kekuasaan. 

Kisah demi kisah ini, yang muncul hampir beruntun, membentuk badai moral. Di tengahnya, perempuan di Australia merasakan kemarahan yang sama bahwa kemarahan yang telah lama ditekan, yang selama beberapa dekade dibungkam oleh budaya menyalahkan korban dan struktur politik yang tidak peduli. Pada hari itu, perempuan di Australia bersama dengan suara yang tidak lagi bisa diabaikan berkata lantang bahwa diskriminasi harus dihentikan sekarang. 

Baca Juga: Panen Air Hujan Sekolah Banyu Bening   

Kita memang melihat semakin banyak perempuan berada dalam posisi strategis, namun kendali kekuasaan masih bertumpu pada struktur yang sangat patriarkal. Bagaimana kalian memandang kondisi ini? Apakah sebenarnya ada political will untuk memperbaiki posisi negara dalam indeks kesetaraan gender di tingkat global? 

Devi: 

Ketika kita membicarakan political will, sebenarnya kita membicarakan dua hal yang yang berbeda. Yang pertama adalah political will di tingkat publik dan apa yang disampaikan pemerintah atau politisi sebagai komitmen umum. Selama ini, kita sering mendengar jargon soal pentingnya kesetaraan gender dan bagaimana perspektif gender harus diarusutamakan dalam semua kebijakan. Tetapi, ranah kedua jauh lebih menentukan, yaitu posisi dan komitmen para pemimpin. Di sinilah persoalan terbesar muncul. 

Dalam konteks Indonesia, fondasi demokrasi kita masih belum stabil. Institusinya belum kuat, proses pengambil keputusan masih sangat dipengaruhi kepentingan politik jangka pendek, dan akibatnya, banyak kebijakan terkait kesetaraan gender hanya berhenti pada simbolisme. Serba “checklist”, yang penting ada, tetapi tidak benar-benar dijalankan.

Tokenisme juga masih sering terjadi, terutama ketika perempuan ditempatkan di posisi tertentu hanya untuk memenuhi angka representasi tanpa diberi ruang nyata untuk memengaruhi kebijakan. 

Padahal Indonesia sudah memiliki tiga undang-undang penting yang terkait langsung dengan perlindungan perempuan seperti UU tentang perdagangan orang, UU tentang kekerasan dalam rumah tangga, dan yang paling baru, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Namun setelah undang-undang ini berjalan, kita justru melihat dua hal.

Satu sisi, laporan kekerasan meningkat yang bisa dibaca sebagai tanda positif bahwa perempuan lebih berani melapor dan akses layanan makin terbuka. Tapi di sisi lain, ketika bicara soal keadilan, banyak kasus tidak selesai. Banyak perempuan yang tetap tidak mendapatkan kepastian hukum. 

Ini terjadi karena penegak hukum dari tingkat kepolisian hingga kejaksaan belum memiliki perspektif gender yang kuat. Bahkan ketika ada satu atau dua pejabat yang peduli, mereka biasanya dipindahkan dalam dua atau tiga tahun, sehingga tidak pernah ada proses kelembagaan yang benar-benar mengakar. Dukungan tergantung individu, bukan sistem. Dan selama tidak ada penguatan institusi, kebijakan apa pun akan mudah runtuh. 

Namun demikian, Indonesia punya modal besar. Masyarakat sipil dan gerakan perempuan yang sangat kuat. Mereka aktif, berani, dan konsisten membela hak-hak perempuan. Tantangannya adalah bagaimana memastikan suara gerakan ini benar-benar masuk ke proses pembuatan kebijakan. Selama fondasi demokrasi dan institusi kita belum kokoh, kemauan politik yang diumumkan tidak akan cukup tanpa ekosistem yang mendukung implementasinya. 

Virgiana: 

Saya ingin menekankan salah satu poin penting yang disampaikan Devi, secara publik, dukungan terhadap kesetaraan gender sebenarnya cukup besar. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di Australia dan banyak negara lain. Masyarakat secara umum memahami bahwa kesetaraan gender membawa manfaat bagi semua perempuan, laki-laki, anak-anak, dan seluruh struktur sosial. Namun, dukungan publik ini tidak selalu terjemahkan menjadi perubahan pada tingkat kekuasaan. 

Masalahnya terletak pada satu hal: struktur kekuasaan patriarkal. Selama kekuasaan politik, bisnis, militer, dan industri besar didominasi oleh kelompok yang sama yaitu laki-laki dalam posisi dominan maka perubahan tidak akan berjalan cepat. Dan penting diingat bahwa kekuasaan tidak pernah diserahkan secara sukarela. Ini bukan teori ini realitas politik global. 

Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, sudah menegaskan hal ini sejak 2020. Ia secara terbuka menyerukan bahwa perempuan harus mengambil alih kekuasaan, karena kekuasaan tidak akan “diberikan”. Tahun ini, 2025, ia bahkan mengatakan bahwa dunia bukan sedang melakukan gender mainstreaming, tapi justru mengalami mainstreaming of misogyny. Pernyataan ini sangat keras, tetapi juga sangat tepat. Kita melihat serangan balik terhadap hak perempuan terjadi di berbagai negara, termasuk negara demokrasi besar. 

Isu hak reproduksi adalah contoh paling jelas. Di Amerika Serikat, hak aborsi dibatasi secara ekstrem oleh pemerintahan Trump. Di Australia pun sempat ada upaya dari politisi konservatif di dua negara bagian untuk membalikkan hak aborsi meski akhirnya gagal tipis. Padahal survei menunjukkan mayoritas publik, baik laki-laki maupun perempuan, mendukung hak perempuan menentukan tubuhnya sendiri. Ini menunjukkan kesenjangan besar antara kehendak publik dan kepentingan politik yang ingin mempertahankan kontrol patriarkal. 

Hal yang sama tampak pada isu iklim bahwa masyarakat menginginkan perubahan, tetapi kekuasaan ekonomi dan politik menolak bergerak karena takut kehilangan kendali. 

Jadi persoalannya bukan pada kurangnya dukungan publik, melainkan pada struktur kekuasaan yang enggan berubah. Untuk mengubah peta kekuasaan ini, perempuan harus punya ruang untuk benar-benar memegang kendali, bukan hanya berada di posisi simbolik. Dan perubahan itu, sebagaimana dikatakan Guterres, sering kali harus diperjuangkan, bukan ditunggu. 

Dengan demikian apakah media bisa menjadi solusi dari permasalahan ini? 

Virgiana:  

Media Australia sejak lama dibentuk oleh cara pandang maskulin–mulai dari nilai berita hingga siapa yang dianggap layak menjadi narasumber. Ketika saya masuk ABC pada 1986, ruang redaksi sepenuhnya dikuasai laki-laki, dan sebagai jurnalis muda saya merasa harus meniru budaya kerja mereka agar diterima. 

Namun menjelang 2021, tekanan publik dan serangkaian kasus pelecehan serta perundungan terhadap perempuan di parlemen memaksa media untuk berkaca. Pada awalnya banyak jurnalis politik gagal melihat akar misogini ini, seperti yang juga terjadi pada masa Julia Gillard. Tetapi perubahan mulai terjadi ketika sejumlah perempuan menduduki posisi penting di media. Mereka berani menantang cara lama pemberitaan dan menuliskan secara jujur mengapa perempuan marah dan merasa diperlakukan tidak adil. 

Respons sebagian jurnalis laki-laki memang defensif, namun para jurnalis perempuan justru menegaskan bahwa kemarahan itu sah. Sikap mereka mengubah arah liputan terutama terkait kekerasan terhadap perempuan yang kini lebih sensitif dan berpihak pada korban. Seperti sebuah poster di aksi protes yang berbunyi boys will be made accountable. Itu menggambarkan momen ketika media akhirnya mulai menuntut pertanggungjawaban, bukan lagi menormalisasi perilaku buruk. 

Baca Juga: Profil Sri Hartini, Penjaga Hutan Adat Wonosadi   

Ketika kita berbicara tentang kesetaraan gender, pada dasarnya kita sedang membahas soal kebebasan. Kebebasan atas tubuh, suara, dan hidup perempuan yang hingga kini masih terus dilanggar, baik oleh negara, institusi, maupun budaya patriarki. Di tengah kenyataan itu, saya ingin menutup percakapan ini dengan satu pertanyaan yang sama untuk kalian bertiga: Ketika mendengar kata pembebasan, gambaran seperti apa yang muncul di benak kalian? 

Theresa: 

Saya pikir kebebasan tentang menjadi seorang perempuan, seorang anak perempuan, dan diberikan semua kesempatan yang sama seperti anak laki-laki. Banyak budaya masih menempatkan nilai anak perempuan lebih rendah, dan preferensi itu diwariskan terus-menerus. Contohnya, dalam kepercayaan Tiongkok, anak yang lahir di tahun naga dianggap lebih berharga dibandingkan yang lahir di tahun macan.

Ibu saya sendiri lahir sebagai “tiger girl”, yang dalam budaya itu dianggap kurang menguntungkan. Data demografi juga menunjukkan bahwa kelahiran meningkat di tahun naga dan menurun di tahun macan, karena orang enggan memiliki “tiger child”, apalagi “tiger girl”. Cara pandang seperti ini seharusnya ditinggalkan. Pemerintah pun perlu membuat kebijakan yang membantu menghapus kepercayaan bias semacam ini. 

Devi: 

Bagi saya, kebebasan adalah soal memiliki kesempatan dan informasi yang lengkap untuk membuat keputusan yang tepat. Tidak cukup hanya bisa memilih. Perempuan juga harus tahu dampak dari pilihannya. Itu berarti pendidikan yang setara dan akses informasi yang setara dengan laki-laki. 

Virgiana: 

Pandangan saya tentang “kesetaraan” berubah ketika menulis buku saya. Dulu saya menganggap “kebebasan” adalah konsep lama yang diperjuangkan generasi ibu saya. Namun sekarang saya melihat bahwa pembicaraan soal kesetaraan sering kali hanya berarti perempuan masuk ke ruang-ruang yang selama ini dikuasai laki-laki dan meniru cara laki-laki bekerja. Itu yang saya alami saat terjun ke dunia jurnalisme. Padahal itu bukan soal equity atau keadilan, hanya soal mengikuti pola laki-laki.  

Gerakan pembebasan perempuan pada 1970-an justru menolak gagasan tersebut. Mereka ingin perempuan bisa berkembang sesuai keragamannya sendiri, bukan sekadar mendapatkan “izin” masuk ke ruang laki-laki. Karena itu, meski kata “pembebasan” tidak populer hari ini, saya pikir kita perlu kembali memikirkannya: pakah kesetaraan hanya soal akses yang sama atau sebenarnya kita sedang membicarakan keadilan, distribusi kesempatan, dan sumber daya yang lebih setara? 

About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.