Data Journalism Environment Issues People We Love

#TanahAirKrisisAir: Memanen Air Hujan bersama Banyu Bening

Sri Wahyuningsih mendirikan Sekolah Banyu Bening yang mengajari kita cara memanen air hujan. Diklaim sebagai solusi alternatif krisis air.

Avatar
  • February 26, 2024
  • 8 min read
  • 5177 Views
#TanahAirKrisisAir: Memanen Air Hujan bersama Banyu Bening

Mestinya saban Jumat, Sri Wahyuningsih, 56, libur tak menerima tamu ke rumahnya di Dusun Tempursari, Desa Sardonoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman. Namun, saat saya datang pada Januari silam, ada satu rombongan tamu yang sedang sibuk berbincang di teras dengannya. Bahkan, saat akhirnya saya berkesempatan ngobrol, sudah ada satu dosen dan keluarga yang menunggu giliran bertemu.

“Ya beginilah keseharian kami, Mbak, enggak ada liburnya. Tapi hati senang karena bisa sedekah ilmu,” ujar dia.

 

 

Saya mengedarkan pandangan ke papan tulis putih yang ditempel di teras tersebut. Jadwalnya padat merayap, dari wawancara media massa, sekolah reguler, hingga kunjungan siswa dan mahasiswa. Wajar saja karena Sekolah Banyu Bening yang ia dirikan pada 9 September 2019, memang menawarkan edukasi gratis untuk belajar air hujan buat siapa saja.

Bahkan jauh sebelum resmi dibuka, edukasi air hujan itu sudah ia lakukan sejak 2012, dan selalu ramai. Tak cuma disambangi oleh warga Jogja tapi juga Riau, Lampung, Bali, sampai Papua. “Yang bikin terharu, awal 2024, ada rombongan siswa SD dan SMP dari Kalimantan, ramai-ramai naik kapal laut cuma demi belajar air hujan di Banyu Bening,” kata perempuan yang akrab disapa Yu Ning tersebut.

Komunitas Banyu Bening ia dirikan dengan semangat untuk menjadi bagian solusi krisis air di Jogja. “Sekolah ini lahir karena kami melihat ironi yang selalu berulang tiap tahunnya. Begitu turun hujan, ada masalah genangan, banjir. Air membludak. Namun, begitu musim kemarau dimana-mana orang teriak enggak ada air. Saya kepikiran kenapa enggak pakai solusi yang permanen untuk mengatasi problem air, yang mudah diakses, murah, dan sederhana?”

Baca juga: #TanahAirKrisisAir: Sudarmi dan Hutan Jati yang Selamatkan Kami

Pernyataan Yu Ning ada benarnya. Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jogja, provinsi ini memang rentan terpapar bencana kekeringan. Walhi mengutip Kajian Risiko Bencana (KRB) Provinsi DIY 2022-2026 yang menunjukkan, sebanyak 3.675.662 jiwa masyarakat di DIY berpotensi jadi korban. Tak cuma  itu, sejak 2015, Survei Kualitas Air (SKA) Badan Pusat Statistik telah menunjukkan 67,1 persen rumah tangga Jogja memiliki air siap minum yang terkontaminasi bakteri E.Coli. Sleman tak terkecuali.

“Orang mengira, Sleman ini daerah hulu jadi sudah pasti tak akan krisis air. Padahal sekarang kalau dilihat, mana ada sungai yang mengalir lancar? Beberapa daerah seperti Prambanan pun langganan kekeringan,” ujar perempuan yang biasa jualan kudapan getuk dan tiwul di pasar tersebut.

Perjuangan Yu Ning mengelola Sekolah Banyu Bening itu tak semudah membalikkan telapak tangan. “Yang kami punya cuma modal nekat dan semangat. Dalam pandangan kami, sebetulnya air hujan itu sangat strategis jadi bagian penyelesaian krisis air yang sekarang sedang kita hadapi. Kita bukan sedang bersiap menyongsong krisis lho, tapi kita sudah ada dalam kondisi krisis itu sendiri. Inilah pentingnya kita melakukan edukasi agar air hujan populer di masyarakat,” tuturnya.

Selain bergerak lewat kampanye digital di media sosial, Sekolah Banyu Bening mengajarkan praktik manajemen air hujan setiap Sabtu. Dalam waktu dua hingga tiga jam, para peserta diajari seluk beluk air hujan, mengubah mindset agar tak ada stigma negatif tentang air hujan, serta bagaimana memastikan air hujan yang ditampung bisa aman dikonsumsi. Yu Ning merumuskannya dengan Konsep 5 M, yakni keterampilan untuk Menampung, Mengolah, Meminum, Menabung, dan Mandiri air hujan.

“Kami ingin air hujan yang melimpah, ayo kita kelola dengan baik. Kita tampung sesuai kebutuhan di musim kemarau. Kita olah untuk dikonsumsi. Sisanya kita kembalikan ke tanah. Karena apa? Karena ada hak makhluk lain yang kita ambil, seperti ulat, cacing, kodok. Sebagai tamu di semesta yang bisa berpikir, tugas kita memastikan hak-hak tamu lain bisa terpenuhi,” ujar dia.

Ada dua cara yang bisa digunakan untuk mengelola air hujan, imbuh Yu Ning. Cara pertama menggunakan Gama Rain Filter, teknologi yang dipatenkan pada 2020 oleh Dr. Agus Maryono dan rekan-rekan peneliti Teknik Sipil Sekolah Vokasi UGM. Teknologi ini berwujud tabung berukuran 1000-1.500 liter yang dilengkapi penyangga berlapis tiga, agar air hujan yang mengalir dari atap atau talang air bisa dikonsumsi. Biayanya dibanderol sekitar Rp4-6 juta. Cara kedua jauh lebih mudah karena hanya memanfaatkan ember, corong, kain putih, dan wadah tertutup seperti galon, toples, atau dirigen air.

sekolah banyu bening
Sri Wahyuningsih menunjukkan air hujan di Sekolah Air Hujan Banyu Bening, yang dielektrolisis agar siap diminum (Foto: Magdalene/Tommy Triardhikara)

“Tahapannya, lewatkan satu dua kali air hujan pertama agar polutan hilang. Yakinkan atap atau talang sudah bersih. Jika sudah, lewatkan lagi air hujan sekitar 10 menit, lalu tampung, endapkan, saring, dan masukkan dalam wadah tertutup rapat dan di tempat teduh,” urai Yu Ning lagi.

Dengan cara manual macam ini, setiap rumah tangga sudah andil dalam solusi mengatasi kekeringan. Ia menghitung, jika setiap rumah tangga terdiri atas empat orang dengan kebutuhan air minum masing-masing 3 liter per hari. Jika air per liter seribu rupiah, dalam sehari harus menghabiskan uang Rp12 ribu, sebulan Rp360 ribu. Dikali berapa total penduduk Jogja.

“Kebutuhan air minum yang totalnya miliaran itu bisa kita alokasikan untuk yang lain. Berapa banyak anggaran yang bisa dihemat pemerintah, jika mau berpikir cerdas dan strategis,” ujarnya.

Baca Juga: Profil Sri Hartini, Penjaga Hutan Adat Wonosadi

Air Hujan Aman Dikonsumsi?

Sebenarnya apa yang diajarkan di Sekolah Banyu Bening bukan hal yang benar-benar baru di Indonesia dan dunia. Dalam buku “Memanen Air Hujan” (2016) karya Agus Maryono dan dikutip juga dalam artikel “Menjajaki Langkah Pemanenan Air Hujan” Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM, negara sudah ada regulasinya sejak 2009. Adalah Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pemanfaatan Air Hujan.

Dalam Permen itu dijelaskan, pemanfaatan air hujan dilakukan dengan membuat: a. kolam pengumpul air hujan; b. sumur resapan; dan/atau c. lubang resapan biopori. Selain itu, ada juga Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Air Hujan Pada Bangunan Gedung Dan Persilnya.

Di Jogja, belum ada peraturan turunan yang secara khusus mengatur tentang manajemen pengelolaan air hujan. Ini agak disayangkan, mengingat kualitas mutu air hujan di provinsi ini pada 2015 amat baik dan bersih. “Hasil analisisnya kualitas air hujan mencapai 20-50 kali lebih baik dari baku mutu standar air yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan,” ujar Agus dalam bukunya.

Bahkan di luar negeri, menurut ahli hidrologi yang dinobatkan sebagai Pelopor Restorasi Sungai oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2015, mengelola air hujan sudah jadi praktik lazim. Di Brisbane, Australia, hampir setiap rumah punya penampung air hujan sendiri. Tak heran jika kamu berkunjung ke Australia, banyak fasilitas umum seperti toilet, yang sudah menggunakan air hujan. Di Amerika Serikat, negara-negara progresif seperti Texas, North Carolina, dan New Mexico juga menawarkan insentif kepada mereka yang memilih memanen air hujan. Mereka juga punya regulasi khusus yang membatasi penampungan air hujan untuk masing-masing properti, saking tingginya kesadaran pengelolaan itu.

Air hujan sendiri memang relatif aman dikonsumsi dengan beberapa catatan. Agus bilang dalam bukunya, air hujan yang turun pertama sampai dengan ketiga kalinya, jangan dulu dikonsumsi dan digunakan untuk keperluan lainnya karena masih berisi debu dan polutan. Namun, air hujan yang sudah disaring hingga tiga tahapan, bisa dikonsumsi karena kualitasnya yang teruji aman.

Sri Wahyuningsih menunjukkan air hujan, yang ditampung di dalam drum plastik berukuran 150-200 liter (kiri) (Foto: Magdalene/Tommy Triardhikara)

Hal ini juga diamini oleh Yu Ning. Di kampung tempat ia tinggal, 90 persen tetangganya sudah teredukasi menampung air hujan di kediaman masing-masing, baik dengan Gama Rain Filter atau cara manual. “Ini sebenarnya menjadi bentuk progresivitas kami yang memitigasi krisis iklim saat ini. Jadi saat daerah lain teriak-teriak kurang air, persoalan kekeringan tak pernah jadi isu buat kami,” tandas Yu Ning.

Baca Juga: Krisis Air Bersih Marak, Orang Kota Serasa Minum Air Sungai

Tantangan Sekolah Air Hujan Banyu Bening

Meski perannya vital, Yu Ning mengaku belum pernah mendapat dukungan yang konkret berwujud regulasi pemerintah daerah. “Memang sudah banyak pemerintah pusat dan daerah yang datang. Tapi ya sekadar datang saja. Padahal yang kami butuhkan sebenarnya adalah kebijakan yang nyata, aksi konkret supaya memanen air hujan ini jadi arus utama,” ujar dia.

“Saya juga enggak akan merengek-rengek minta dana program dari mereka. Padahal kampanye tentang air hujan ini tak mudah, bahkan tidak mudah juga memberi pemahaman ke orang-orang terdidik sekali pun. Ini bukan pendidikan biasa, tapi pendidikan karakter, pendidikan berpikir, pendidikan untuk kemanusiaan,” kata dia.

Yu Ning bercerita, saat ini komunitasnya didirikan dengan tenaga pro bono. Bahkan dana yang digunakan untuk mengelola Sekolah Banyu Bening kebanyakan berasal dari sumbangan sukarela. “Ada yang nyumbang juga dalam bentuk galon untuk penampungan, saya terima,” tukasnya.

Ia berharap inisiatifnya ini bisa direplikasi lebih banyak lagi, tak cuma di Jogja tapi juga se-Indonesia. Pemerintah harus mulai serius membuat kebijakan, mengelola, merangkul, dan membuat program-program konkret yang bisa memitigasi air di masa depan. Apalagi memanen air hujan adalah solusi yang bisa diterapkan di berbagai wilayah tanpa kecuali selama masih turun hujan.

Air hujan yang ditampung oleh Sekolah Air Hujan Banyu Bening disimpan dalam galon (Foto: Magdalene/Tommy Triardhikara)

“Orientasinya harus pada solusi. Kita sudah tahu Sleman dan daerah lain di Jogja over-populasi, pembangunan hotel dan bangunan gila-gilaan. Sementara mata air di tanah ya segitu-segitu saja. Ya sudah lah, sekarang waktunya untuk melakukan aksi konkret,” ucapnya.

Terlebih ia melihat, dalam situasi krisis air, selalu perempuan seperti dirinya yang lebih banyak menanggung beban. “Perempuanlah yang dibebani masyarakat tugas menyiapkan generasi unggul di masa depan, menjaga keluarga agar tetap sehat. Kami tidak menafikan peran lelaki tapi perempuan yang berperan lebih banyak dalam isu air, seperti memasak, minum, dan lainnya,” ujar dia.

“Buat saya, perempuan harus bisa punya agensi untuk bertindak. Salah satunya dengan mengelola air hujan. Sebab, perempuan bukan lagi korban, justru talentanya melebihi lelaki, terbiasa berpikir rumit. Perempuan itu ya otot kawat balung wesi,” tutup Yu Ning.

Artikel ini merupakan bagian dari series liputan Krisis Air di Daerah Istimewa Yogyakarta, didukung oleh International Media Support (IMS). Magdalene berkolaborasi dengan dua media, dari Filipina GMA News dan Timor Leste Neon Metin.


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *