Adik Perempuan dan Kisah-kisah Kesetaraan
Apakah kamu laki-laki yang cukup cakap untuk menjadi pasangan perempuan cakap?
Saya bersyukur bisa berteman dengan perempuan penyintas kekerasan seksual, lalu pernah menawarkan diri menjadi suami kontrak bagi seorang kenalan lain yang ingin mengambil tes pap smear tapi takut dirinya memperoleh diskriminasi. Ekosistem pendidikan formal saya, teknik, yang belum begitu ramah pada insinyur perempuan turut pula memberikan pengalaman berharga, apalagi cerita-cerita beraroma seksis dari lingkungan kerja. Ragam interaksi sosial tersebut mempertajam pola pikir saya tentang perempuan, terutama di Indonesia, dewasa ini.
Pola pikir sedemikian tidak serta merta muncul begitu saja ketika saya tumbuh dewasa. Ada dua poin utama yang mempengaruhi kelahiran kerangka berpikir semacam itu. Pertama, pengalaman pribadi menyaksikan Mama mendidik anak perempuannya.
Saya adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Satu-satunya adik perempuan saya kini menjadi dokter muda. Tahun depan ia berencana mengabdi selama lebih kurang setahun di Nusa Tenggara Timur. Bila terwujud, pengabdian ini akan menjadi pengalaman pertama adik perempuan saya hidup jauh terpisah dari keluarga dengan segala konsekuensinya. Tapi ia tidak sedikit pun tampak khawatir dan hampir tak ada perdebatan berarti di internal keluarga tentang bagaimana ia akan menghidupi dirinya selama di sana atau kabupaten/kota mana yang ia pilih sebagai lokasi pengabdian.
Saya tahu persis keberanian seperti ini dapat muncul sebab Mama menurunkan cara pandang progresif kepada semua anaknya, terutama anak perempuan. Walaupun orang tua kami dewasa di zaman Orde Baru, secara umum mereka justru menanggalkan konsepsi Orba mengenai “kodrat” seorang perempuan.
Mama memang masih konservatif dalam beberapa hal, seperti menekankan kami harus menikah dan memilih pasangan seiman. Ia juga amat keras jika menyangkut ritual adat istiadat sebagai pertimbangan status sosial dan silsilah keluarga kami. Namun dalam banyak hal lainnya, ia berpikiran maju.
Dalam acara keluarga besar misalnya, Mama beberapa kali menekankan di depan para tante, paman, bahkan ipar bahwa “laki-laki kudu belajar masak dan perempuan harus bisa menggergaji kayu”. Pada kesempatan lain, Mama sudah membebaskan adik perempuan saya mengebut di jalanan tatkala sepupu-sepupu yang seumur dengannya masih belum diizinkan menyetir mobil sendiri. Alhasil adik perempuan saya tumbuh menjadi pribadi yang berkemauan kuat, kritis, serta tidak gampang terintimidasi atau dimanipulasi, apalagi oleh laki-laki.
Poin kedua ada dalam Alkitab. Saya bukan sok-sokan pamer sebagai penganut Kristen yang taat, tapi ada pernyataan gamblang dalam Alkitab yang menarik perhatian saya. Dalam Kitab Amsal Pasal 12 ayat 4 disebutkan bahwa “istri yang cakap adalah mahkota suaminya, tetapi yang membuat malu adalah seperti penyakit yang membusukkan tulang suaminya.”
Kisah Ang Lee, sutradara Asia pertama yang berhasil meraih sepasang piala Oscar untuk kategori Sutradara Terbaik, mungkin salah satu contoh baik guna merefleksikan ayat tersebut. Setelah lulus dari New York University pada 1984, Lee menganggur selama enam tahun dan hanya menghabiskan waktunya mengurus kebutuhan rumah sehari-hari.
Istrinya, Jane Lin, seorang peneliti biologi molekuler, mengambil alih tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga. Lee sebetulnya tidak masalah dengan kondisi tersebut, namun ia sempat amat terganggu menghadapi tekanan sosial keluarga besar di Taiwan yang menganggap ia gagal menjadi seorang suami. Sang istri pun turun tangan dengan mengingatkan kembali bahwa pernikahan mereka dilandasi komitmen kesetaraan. Lin yakin bahwa kesempatan bagi suaminya untuk sukses merealisasikan mimpinya sendiri, cepat atau lambat, pasti tiba.
Jika Ang Lee menolak mempercayai sang istri lantas memilih tunduk pada tekanan keluarga besarnya, ia tak akan pernah mengukir sejarah di ajang Academy Awards maupun sederet festival bergengsi kelas dunia lainnya. Lin pun mungkin takkan mampu menjadi seorang ahli biologi molekuler internasional. Faktanya keduanya berhasil mencapai impian mereka masing-masing tanpa mengorbankan keutuhan rumah tangga maupun kebahagiaan berkeluarga.
Saya memang belum menentukan akan menikah atau tidak, namun bila memutuskan menikah, saya tidak mau punya istri yang terpaksa mengorbankan karier atau rencana studi lanjutan atau bahkan mimpi pribadinya atas nama kestabilan dan kemapanan keluarga. Saya tidak akan malu beristrikan seorang perempuan yang memiliki gelar akademis lebih tinggi, penghasilan lebih banyak, atau reputasi lebih mentereng. Saya tidak keberatan pula tinggal di rumah seraya mengurus anak (jika punya keturunan atau mengangkat anak) sementara istri saya sibuk membuat semua orang kagum dengan pencapaian-pencapaian hebatnya, karena saya sadar bahwa giliran saya akan datang untuk mewujudkan impian-impian pribadi dan saya tak perlu pusing memikirkan urusan-urusan lain sebab ada pasangan setara yang mengambil peran menangani hal itu.
Buat saya, istri yang cakap bermula dari perempuan yang cakap. Jadi ketika kamu punya teman atau kenalan atau bahkan pasanganmu seorang perempuan cerdas, berdaya pikir kritis, humanis, mandiri, serta pluralis, ia sejatinya seorang perempuan cakap. Dengan kata lain, ia sudah menjadi mahkota kemanusiaan bagi orang-orang lain di sekitarnya.
Pertanyaannya sekarang: apakah kamu laki-laki yang cukup cakap untuk menjadi pasangan seorang perempuan cakap?
Di titik ini, laki-laki yang mendapati dirinya tidak cukup cakap biasanya tidak percaya diri mengakui kekurangannya. Laki-laki demikian lantas berupaya merendahkan perempuan dimaksud dengan segala cara, tak jarang pula memanfaatkan tindak kekerasan. Padahal tidak ada salahnya mengakui kekurangan individu kemudian giat belajar demi meningkatkan kualitas pribadi masing-masing.
Pada akhirnya, menurut saya, berbicara tentang perempuan di Indonesia berarti berbicara tentang pilihan dan kesempatan yang berbasis kesetaraan. Tanpa prinsip ini, tak akan hadir perempuan yang cakap. Tanpa perempuan yang cakap, peradaban bangsa kita ya bakal begini-begini saja.
Sayangnya saat ini, mengharapkan realisasi kesetaraan ibarat merindukan pengakuan dan permintaan maaf negara atas tragedi pembantaian 1965. Entah kesampaian kapan, tapi terus diperjuangkan, yang penting tidak tinggal diam.
Jonathan Manullang adalah penyuka robot dan sepakbola yang diam-diam mengagumi perempuan. Oknum perempuan yang mana, masih misterius sih.