Dari Padamkan Api Neraka hingga Beri Syafaat, Bagaimana Agama Terus Jadi Candu
Candu pada agama tak bisa dilepaskan dari ramainya tren Gus dan Habib di Indonesia, yang kerap mengaku punya berbagai karomah.

Belakangan ramai beredar potongan klaim Hasan Bin Ismail Al Muhdor yang menukil perkataan Abu Bakar Bin Salim soal kemampuan memadamkan api Neraka Jahanam. Dalam akun YouTube, ia mengeklaim banyak orang kerap salam paham soal ini.
“Masalahnya itu bukan ucapan wali dengan syariat, ucapan wali dengan pemahaman Anda, itu harus Anda bedakan. Pemahaman Anda itu bukan Islam, pemahaman Anda bukan Alqur’an, bukan hadis, pemahaman Anda bisa salah atau benar,” ujarnya.
Ia melanjutkan, “Para aulia menunjukan apa yang beliau miliki itu bukan ujub, lain sama saya dan Anda. Mereka itu mensyukuri nikmat Allah, ‘Ini aku diberi ini oleh Allah, kalau sombong enggak jadi wali’. Yang kita dengar (cuma), ‘Saya bisa memadamkan Neraka Jahanam’. Kalau ini sulit dipahami karena pemahaman Anda sangat terbatas syariat Nabi SAW.”
Baca Juga : ‘Muslimah Bukan Agen Moral’: Menyoal Praktik Beragama yang Dangkal
Sepanjang video, Hasan juga terus memperingatkan agar orang-orang awam enggak gagal paham dan meremehkan para aulia atau orang saleh. “Ini yang ngomong yang kenal Allah, enggak mungkin dia berdusta dalam bicaranya,” katanya.
Klaim sejenis ini banyak bertebaran di internet. Misalnya klaim bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, saat di kuburan bisa makan pisang goreng, memundurkan pesawat yang sedang terbang, hingga orang-orang bisa terbang. Semua itu terfokus pada unsur karomah atau keistimewaan seseorang.
Klaim semacam ini umumnya diucapkan orang-orang yang menyandang gelar habib—keturunan langsung Nabi Muhammad melalui garis Husain bin Ali bin Abi Thalib. Abi Thalib sendiri adalah suami Fatimah Az-Zahra, putri Rasulullah. Gelar habib sendiri dapat dengan mudah ditemui di Indonesia.
Namun di Indonesia, klaim sebagai habib masih sering menuai polemik. Dalam konteks ini, sebagian masyarakat mendorong agar para habib melakukan tes DNA untuk membuktikan keturunan mereka, meskipun ada sebagian pihak yang menolak hal tersebut dengan alasan, tes DNA dianggap haram.
Mengutip Tempo, Ketua Departemen Hukum dan Legal Rabithah Alawiyah Ahmad Ramzy Ba’abud, lembaga pencatat keturunan Nabi Muhammad di Indonesia, mengeklaim jumlah orang yang menyandang gelar habib di Indonesia mencapai lebih dari seratus ribu.
“Jangan sampai ada penipuan terkait habib palsu. Jika ada yang mengeklaim sebagai bagian dari nasab, dipersilakan juga untuk mendaftarkan namanya,” ujarnya.
Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 mengungkap 245.973.915 jiwa atau 87,03 persen jumlah penduduk indonesia beragama Islam, menjadikan peringkat kedua negara populasi islam di dunia. Tidak heran dalam riset Pew Research disebutkan, 93 persen masyarakat indonesia bilang, agama adalah hal yang penting untuk kehidupan sehari-hari. Begitu pula dengan pemuka agama atau orang saleh.
Fenomena tumbuh suburnya gelar habib di tengah masyarakat serta pengultusan itu, terkait dengan cara pandang masyarakats. Dalam jurnal Sudirman Kindi, akademisi UIN Antasari Banjarmasin berjudul “Fenomena Habib terhadap Publik dalam Teologi dan Sosiologi,” ditekankan, gelar habib harus dimaknai dengan jelas oleh masyarakat. Agar umat mengikutinya, habib tidak lebih dari sekadar guru yang dihormati dan dicintai. Istilah habib harus dipahami bukan sebagai sebuah keistimewaan atau privilese, melainkan tanggung jawab bagi seseorang yang memiliki garis keturunan langsung dari Rasulullah.
Posisi klaim-klaim seperti ini, yang sering kali diglorifikasi oleh masyarakat, juga tidak lepas dari pengaruh fanatisme agama. Fenomena serupa dapat kita temui di berbagai tempat lainnya, di mana klaim-klaim tersebut sering kali mendapat penguatan melalui keyakinan agama yang mendalam.
Baca Juga : Mimpi Raja Charles III Bela Semua Agama
Mengapa Mistik Dekat dengan Agama?
Fenomena mistik juga sangat lekat dengan agama di Indonesia. Contohnya, menjelang Ramadan, muncul klaim-klaim wisata religi yang mengundang banyak perhatian. Salah satunya adalah Gua Safarwadi di Tasikmalaya, Jawa Barat, yang diklaim dapat tembus ke Mekah.
Konon, gua ini merupakan tempat penyebaran agama Islam oleh seorang ulama bernama Syekh Abdul Muhyi. Cerita mistik tentang Syekh Abdul Muhyi yang naik haji lewat Gua Safarwadi ini telah menjadi buah bibir turun-temurun di kalangan warga Pamijahan. Tak heran, masyarakat dari berbagai penjuru Indonesia datang berbondong-bondong untuk mengunjungi gua tersebut, berharap bisa merasakan pengalaman serupa seperti pergi haji ke Mekah dan mencari berkah.
Kepada BBC Indonesia, Amanah Nurish, antropolog agama dan budaya Universitas Indonesia bilang, masyarakat Indonesia sejak dulu sangat lekat dengan hal-hal mistik dan menyukai cerita-cerita mistis.
“Sebelum agama masuk ke Indonesia, kehidupan masyarakat dipenuhi dengan legenda, cerita, mitos, dan mereka menganggapnya sebagai kebenaran. Nusantara sangat kaya dengan mitologi. Hingga saat ini, sebagian masyarakat Indonesia masih mengekspresikan kepercayaan atau keimanan mereka melalui pintu-pintu kebudayaan hasil peninggalan zaman dulu,” ujarnya.
Ia menambahkan, khususnya terkait fenomena Goa Safarwadi, hal ini sangat masuk akal bagi masyarakat menengah ke bawah yang memiliki keinginan untuk naik haji. Tempat Safarwadi menjadi situs wisata religi yang menarik di tengah kesulitan mereka menjangkau ibadah haji yang biayanya terlampau mahal. Tahun ini saja, biaya haji sudah mencapai lima puluh lima juta dengan waktu tunggu belasan hingga puluhan tahun
“Coba pergi ke Gua Safarwadi ini mungkin (ongkosnya) cuma berapa puluh ribu atau berapa ratus ribu paling mahal. Dan itu membawa euforia tersendiri bagi mereka yang percaya bahwa mereka sudah mengalami proses-proses ritual yang sangat berharga,”ujarnya kepada BBC Indonesia.
Hiburan bagi masyarakat menengah-bawah ini pertanda masih ada harapan untuk merawat spiritualitas agama. Namun, agama tidak selalu dipenuhi dengan budaya, tradisi, mistik, tapi agama juga berperan aktif dalam politik di indonesia.
Baca Juga : 3 Alasan Kenapa Ormas Keagamaan Jangan Kelola Tambang
Berebut Pengaruh: Intrik Agama, Gus, dan Politik
Temuan Pew Research mengungkap bagaimana 90 persen masyarakat indonesia lebih memilih pemimpin yang beragama yang sama. Memori kita masih ingat tokoh agama diperebutkan saat Pemilihan Presiden, tak terkecuali organisasi islam, gus, habib, dan kiai. Nahdlatul Ulama (NU) mengutip Tempo mengungkap keterlibatan Pengurus Besar NU untuk menggerakan PWNU dan PCNU dalam memenangkan Prabowo-Gibran. Sikap berbeda dalam organisasi Islam terlihat jelas ketika PBNU memecat Ketua PWNU Jawa Timur Marzuki Mustamar. Pemecatan ini terjadi setelah video dukungannya kepada pasangan calon lain beredar di publik.
Hal senada juga terjadi pada Muhammadiyah yang relatif mendukung pasangan Anies-Cak Imin. Mayoritas umat Islam mengikuti titah dari para ulama atau tokoh islam sebagai panutan baik di NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi islam besar di indonesia.
Peneliti pada ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura, Made Supriatma, angkat bicara mengenai fenomena ini.
“Kelakuan para pemuka agama di negeri ini memang antik. Sistem politik dan sosial yang ada memang membuat mereka menjadi penting. Atau, lebih tepatnya, menjadikan mereka penting lebih dari proporsi yang seharusnya. Karena penting (dalam bahasa militernya: strategis) mereka mendapat kuasa. Kuasa besar! Mereka dianggap berpengaruh pada umatnya. Itulah, sejak zaman Orde Baru, apa yang namanya pemuka agama itu menjadi sangat penting,” ujarnya dalam tulisan itu.
Hal ini terbukti ketika Prabowo menang, Miftah, yang konon disebut Gus, dijadikan Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Namun, jabatan itu runtuh setelah peristiwa Miftah menghina penjual es. Miftah memiliki banyak pengikut, faktor yang didorong oleh statusnya sebagai penceramah masa kini.
Situasi serupa terjadi pada Gus Idham, yang memiliki pengaruh kuat di Jawa Timur. Ia pun mendapatkan keistimewaan seperti pengajiannya dikawal ketat oleh tentara bersenjata karena mendukung Prabowo-Gibran saat Pilpres.
Terlepas dari semua itu, Made menyebut para pemuka agama sebenarnya menyambut kepentingan penguasa ini dengan sukacita. Mereka menerima semua pengaruh dan kekuasaan itu dengan tangan terbuka. Alih-alih menjadi pelayan, mereka justru menjadi salah satu motor kekuasaan. Mereka sibuk berhitung, mencari siapa saja orang-orang mereka yang bisa masuk ke dalam kekuasaan.
