Ahli: Ketaatan Mutlak pada Suami Salah Satu Faktor Perempuan Terlibat Terorisme
Indoktrinasi patriarkal seperti ketaatan mutlak pada suami adalah salah satu faktor pendorong perempuan terlibat dalam terorisme.
Ketika menikah dengan suaminya pada usia 16 tahun, “Humaira” membayangkan kehidupan rumah tangga yang normal dan bisa mengurangi beban finansial ibunya. Ia juga ingin segera meninggalkan kampungnya, karena para warga, menurutnya, tidak dapat menerima dirinya yang memilih memakai cadar.
Namun yang terjadi kemudian pada Humaira adalah “petualangan” dari satu daerah ke daerah lainnya, keluar masuk hutan, sebelum akhirnya ditangkap oleh polisi dan dipenjara. Ia mengikuti suaminya, pelaku terorisme yang masuk ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), dan rela berpisah dengan bayi perempuan semata wayang yang saat itu masih berusia delapan bulan.
Dari kampungnya di wilayah Indonesia timur, Humaira mengikuti suami ke belantara Sulawesi yang sangat lebat, sampai sinar matahari saja tidak bisa menembus pepohonan sehingga ia tidak bisa membedakan mana siang dan malam.
Humaira adalah salah satu dari beberapa istri teroris yang kisahnya diangkat dalam buku Perempuan dan Terorisme: Kisah Perempuan dalam Kejahatan Terorisme yang ditulis oleh Leebarty Taskarina, analis di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Buku tersebut merupakan hasil dari tesis pascasarjana di Jurusan Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia.
Dalam penelitiannya, Leebarty melakukan wawancara secara mendalam terhadap para perempuan ini, dan ia menemukan bahwa mereka sering kali berada dalam posisi tidak berdaya dan tidak memiliki banyak pilihan selain patuh terhadap suaminya.
“Suami mereka selalu membawa dalil sami’na wa atho’na yang artinya aku mendengar maka aku taat,“ ujar Leebarty atau Barty pada peluncuran dan diskusi buku di Jakarta (12/1).
Para suami tersebut, tambahnya, kerap kali berkata bahwa istri merupakan sekolah utama bagi anak-anak mereka yang nantinya akan meneruskan “perjuangan” ini.
Seperti pada kasus Humaira, “perjuangan” tersebut menghasilkan masalah ekonomi, psikologis, dan kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi. Barty mengatakan, Humaira tidak diberi nafkah oleh suami dan menggantungkan hidup pada belas kasihan orang-orang yang menampungnya bersama dengan anaknya. Kemiskinan yang dihadapinya kemudian mendorongnya menitipkan anak kepada saudara suaminya. Setelah itu, suaminya memerintahkan Humaira untuk ikut masuk ke dalam gerakan terorisme pada 2015.
Cendekiawan Islam Musdah Mulia menuturkan bahwa doktrin-doktrin pembodohan dan indoktrinasi patriarkal pada gerakan terorisme sangat merugikan perempuan.
“Seharusnya dalil ‘aku mendengar maka aku taat’ tidak bisa dimasukkan ke dalam konsep berkeluarga. Di dalam keluarga, baik istri maupun suami memiliki kedudukan yang setara dan wajib mengkritik dan mengingatkan satu sama lain. Jadi bukan ketaatan mutlak pada suami,” ujar Musdah, yang juga merupakan Ketua Yayasan Indonesia Conference on Religion and Peace, dalam diskusi yang sama.
Ia mengatakan bahwa gerakan terorisme saat ini menargetkan perempuan untuk menjadi bagian dari gerakan mereka karena perempuan dianggap lebih loyal. Selain itu, ujarnya, petugas keamanan tidak mudah curiga pada perempuan, apalagi yang membawa anak.
AKBP Didik Novirahmanto, Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Foreigner Terrorist BNPT, mengatakan peran aktif perempuan dalam gerakan terorisme ini sangat diperhatikan oleh BNPT karena juga ada pergeseran peran perempuan.
“Dulu, perempuan memang hanya menjadi pendukung. Namun akhir-akhir ini, doktrinnya membuat perempuan juga berada di posisi strategis, seperti posisi perekrutan, dan merekrut sesama perempuan,” ujar Didik dalam diskusi.
Adanya upaya sistematis di dalam gerakan terorisme untuk merekrut perempuan, menurut Musdah, harus menjadi peringatan bagi perempuan untuk waspada.
“Kita perlu membekali literasi damai pada perempuan mengenai pentingnya melawan terorisme,” ujar Musdah.
Menurutnya, literasi damai ini harus diterapkan dalam beragama, terutama memilah-milah ajaran agama yang memuat paham-paham intoleransi. Ia menyarankan agar masyarakat tidak lagi menggunakan narasi yang dibuat oleh kelompok terorisme, seperti menyebut aktivitas mereka sebagai aksi jihad.
“Sekecil apa pun paham intoleransi tersebut, harus sangat diwaspadai, karena ini telah menjadi bibit kehancuran yang terjadi di Suriah saat ini,” ujar Musdah.
Didik mengatakan bahwa narasi-narasi damai juga seharusnya mulai disebarkan melalui berbagai media sosial untuk melawan narasi yang digunakan oleh kelompok terorisme.
“Penelitian ini dapat membuka perspektif kita bahwa ternyata perempuan yang terlibat dalam aksi terorisme adalah korban. Perspektif baru ini dapat membantu memahami situasi dan kondisi mereka, dan membantu dalam proses deradikalisasi,” ujarnya.
Baca juga bagaimana konflik agraria menghambat kesejahteraan transmigran.