Aikup Sakaliou: ‘Hutan Mentawai adalah Sumber Kehidupan Kami’
Sebagai ‘sikerei’ alias tabib asli suku Mentawai, Aikup Sakaliou sangat bergantung pada hutan yang jumlahnya semakin terbatas.
Aikup Sakaliou, 75, duduk bersila di depan kami. Rajah yang memenuhi badan dengan anting khas Mentawai di telinganya, sepintas bikin saya gugup. Rasa grogi itu makin menjadi saat melihatnya mengenakan pakaian “dinas” lengkap, dari luat (ikat kepala), lekkau (ikat lengan), tokgro/kabit (cawat sikerei yang terbuat dari kulit baiko), dan tudda (sejenis kalung) dengan tambahan daun aileppet.
Namun, tak butuh waktu lama sampai situasi di Sanggar Uma Jaraik Sikerei itu mencair. Sambil mengisap klobot, ia mempersilakan kami para wartawan untuk duduk mendekat. Sesekali ia tertawa sampai kerutan di kedua ujung matanya terlihat jelas.
Saya termasuk yang beruntung bisa bertemu dengannya di sanggar yang konsisten mempertahankan tradisi dan budaya Mentawai sejak 2006 silam tersebut. Didampingi Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCM-M), termasuk antropolog cum penerjemah Tarida Hernawati dan Kemitraan, kami menggali pengalamannya menjadi sikerei, tabib asli suku Mentawai.
Dalam Bahasa Mentawai, Aikup Sakaliou menceritakan pengalamannya jadi sikerei selama lima dekade. Perjalanannya bermula saat ia baru saja menjadi ayah dari lima anak, kira-kira saat usianya 20-an. Seperti sikerei pada umumnya, Aikup Sakaliou menerima nubuat mimpi dari para leluhur. Dalam mimpi itu, ia diberikan tanda-tanda agar dirinya menjadi sikerei.
Buat Sakaliou, menjadi sikerei sudah seperti jadi panggilan dan pelengkap hidupnya. Nubuat mimpi ini pun semakin diperkuat dengan latar belakang keluarganya. Aikup Sakaliou lahir dari keluarga kaya, memiliki banyak tanah warisan leluhur yang digunakan untuk berladang serta beternak ayam dan babi. Kekayaan ini jadi modal sekaligus prasyarat wajib untuk dinobatkan sebagai sikerei.
Kekayaan itu, kata dia, takkan ada harganya jika tak bermanfaat untuk sesama manusia. Karena kekayaan itu pula, ia semakin mantap mendedikasikan hidupnya menjadi sikerei. “Sikerei menjadi orang yang bermanfaat ketika dia bisa membantu banyak (orang). Apa yang saya berikan (saat menjadi sikerei) juga nanti akan balik lagi ke saya,” tuturnya.
Baca juga: Mpu Uteun: Kelompok Perempuan Pelindung Hutan Aceh yang Melawan Patriarki
Pantangan yang Dibawa Mati
Menjadi sikerei memang ada sejumlah prasyarat. Selain kaya, diberi nubuat lewat mimpi, mereka juga harus kuat pantangan. Mungkin karena syarat-syarat inilah, anak muda Mentawai tak banyak yang berminat.
Aikup Sakaliou mengatakan, selama mencari obat untuk pasien, ia pantang mengganggu dan bersentuhan dengan perempuan. Ia juga tidak diperbolehkan berhubungan seksual dengan istrinya selama ritual dalam masa pantangan ini.
“Bersentuhan saja bisa sakit karena saya sudah melakukan perjanjian dengan roh-roh leluhur,” katanya.
Selain menjaga diri dari segala nafsu duniawi, pantangan lain yang harus ia jalani adalah makanan. Sebagai sikerei, ia tidak boleh makan makanan, seperti belut, endemik primata khas mentawai monyet putih, cilak (semacam ikan sungai yang berbadan tipis), tupai, dan paki.
Pantangan spesifik makanan-makanan ini bukan tanpa alasan. Ada arti mendalam di balik pantangan tersebut, yang berpengaruh pada kelancaran kesembuhan pasien yang ia rawat.
“Belut itu licin. Kalau makan belut, orang yang membutuhkan bantuan jadi susah mencari saya. Lalu kalau makan monyet putih, maka orang yang saya obati akan mati, karena mati itu pucat, putih. Cilak, kalau makan itu tubuh saya akan tinggal tulang, lama-lama mati seperti ikan,” jelasnya.
Lebih lanjut, kalau ia makan tupai, maka penyakit akan menggerogoti tubuh dari ujung kaki ke kepala. Persis seperti bagaimana tupai menggerogoti pohon. Makan pakis juga dilarang karena sifatnya yang mudah diolah dan bisa langsung dimakan. Ini sejalan dengan usaha-usaha pengobatan yang dilakukan dengan gigih, penuh komitmen, dan enggak “gampangan”.
“Ini yang membuat tidak semua orang bisa jadi sikerei dan tetap hidup sampai tua. Sikerei tidak habis masa jabatannya, berbeda sama dokter dan tentara. Pantangan-pantangan ini harus dibawa mereka sampai mati dan keluarga juga harus menaati. Kalau tidak, ya sikerei bisa sakit atau mati, itu banyak terjadi,” tuturnya.
Baca juga: Rambu Dai Mami, Pemimpin Perempuan dari Tanah Sumba
Perbedaan Sikerei dan Pengobatan Modern
Banyak orang salah kaprah dengan sikerei, kata Aikup Sakaliou. Orang luar Mentawai menganggap mereka sebagai dukun. Padahal secara bahasa, sikerei berarti orang yang memiliki kemampuan untuk menyembuhkan. Anggapan bahwa sikerei adalah dukun melekat di pandangan orang luar Mentawai lantaran untuk menyembuhkan penyakit pasien, mereka banyak mengandalkan komunikasi dengan roh-roh leluhur.
Konsep penyakit sendiri dalam masyarakat tradisional Mentawai bahkan dipercaya disebabkan oleh ketidakseimbangan antara jasmani (tubu) dan jiwa (simagere) seseorang. Karena itu, dalam setiap upacara penyembuhan, enggak cuma jasmani yang diobati tetapi juga jiwa.
Menurut Aikup Sakaliou, ada jenis-jenis penyakit spesifik yang hanya bisa disembuhkan oleh sikerei , alih-alih pengobatan modern. Salah satunya kisei, penyakit yang berhubungan dengan dunia roh yang menyebabkan demam tinggi dan pusing. Kisei sering kali tidak bisa disembuhkan dokter. Sikerei sendiri butuh daun-daun khusus yang digabungkan dengan rapalan mantra.
Perbedaan sikerei dengan ilmu kesehatan modern, juga semakin terlihat dari dua hal. Pertama, penghormatan terhadap pasien. Jika dalam konsep pengobatan modern modern, pasien yang sakit harus rela datang ke rumah sakit untuk disembuhkan penyakitnya, sikerei justru melakukan sebaliknya.
“Pasien harus menempuh hujan, badai dengan jarak yang begitu jauh berikut segala risiko baru bisa diperiksa dan diagnosis penyakitnya apa. Bedanya dengan sikerei, kalau ada informasi seseorang sakit, mereka cukup duduk saja di rumah, kami yang akan datang ke rumah mereka. Pasien tidak punya beban tambahan, tidak perlu ada risiko untuk bisa sembuh,” tuturnya.
Kedua, dalam menyembuhkan pasien, sikerei cenderung langsung melakukan penyembuhan ke titik-titik di mana pasien mengeluhkan sakit. Aikup Sakaliou menjelaskan, dalam konsep pengobatan modern, hampir semua jenis penyakit akan diberikan obat minum yang akan diproses di lambung. Logika ini cenderung tidak masuk akal dalam pandangan pengobatan tradisional Mentawai.
“Pasien sakit kepala, tapi di rumah sakit diberi Paramex. Itu masuknya ke perut, terus bagaimana sembuhnya kepala itu? Kalau sakit kepala, maka ada ramuan yang diparut untuk ditaruh di kepala. Pengobatan modern itu semua masuk ke perut, kalau ini kepala yang sakit ya kepalanya yang diobati,” jelasnya.
Baca juga: Santi Warastuti dan Legalisasi Ganja Medis: Saya Takkan Berhenti
Mengandalkan Alam untuk Hidup
Sebagai tabib asli suku Mentawai, sikerei dihormati. Kedekatannya dengan para roh leluhur, membuat mereka tidak hanya didapuk jadi tokoh adat yang bisa menyembuhkan, tapi juga guru atau tokoh spiritual.
Untuk bisa menjalankan misinya sebagai penyembuh dan tokoh spiritual, sikerei sendiri sangat bergantung pada alam. Sebab, menurut kepercayaan asli suku Mentawai, Arat Sabulungan, roh-roh leluhur bersemayam di alam. Mereka ada di setiap jengkal kehidupan alam, di pohon, di batu, di sungai. Sehingga, jika alam diganggu, roh pun akan marah. Lebih dari itu, dalam melakukan segala ritual penyembuhan, sikerei juga sangat mengandalkan alam terutama hutan.
“Hutan adalah sumber kehidupan dan inspirasi kami,” ucapnya.
Semua ramuan obat-obatan mereka yang terdiri dari daun-daunan semua tersedia di alam. Obat yang dari alam termasuk hutan dan sungai, kata Aikup Sakaliou, punya kegunaan yang berbeda-beda, sehingga harus dijaga. Menjaga ekosistem alam juga penting lantaran pengobatan tradisional Mentawai menganggap dedaunan harus murni tumbuh dari alam jauh dari campur tangan manusia.
Menurut Aikup Sakaliou, dedaunan yang secara sengaja ditanam oleh manusia akan memiliki khasiat yang lebih rendah daripada daun asli yang tumbuh dari alam. Ini nantinya bisa memengaruhi proses penyembuhan pasien.
Karena mengandalkan alam yang masih murni, enggak heran menjadi sikerei di era sekarang semakin sulit. Sebab, kini sikerei bisa menghabiskan waktu dua jam sendiri untuk mencari dedaunan di hutan yang kian jarang. Jarak tempuh mencari dedaunan semakin jauh. Padahal berkat teknik penyembuhan sikerei, banyak nyawa orang terselamatkan, termasuk ibu yang mengalami pendarahan pascamelahirkan.
“Karena semuanya alami, tidak pake suntik-suntik atau bahan kimia. Jadi sikerei banyak membantu penyakit ibu-ibu pascamelahirkan dan penyakit perempuan yang berhubungan langsung dengan kesehatan reproduksinya,” tukas Aikup Sakaliou.
Kesulitan sikerei mengobati pasien-pasiennya adalah dampak pembangunan yang tak berkelanjutan. Pembangunan infrastruktur seperti jalan dan bangunan serta pengambilalihan lahan, semua dilakukan secara besar-besaran tanpa pertimbangan ekosistem alam. Ironisnya, sikerei yang punya peran penting dalam menentukan ruang-ruang alam, bahkan tak pernah sekalipun dilibatkan.
“Saya tidak pernah dilibatkan dalam pembangunan, (padahal) saya sering minta (untuk dilibatkan). Harusnya setiap ada program pembangunan, ketuklah pintu kami. Pemerintah harus datang. Tanyalah, mintalah pendapat kami. Kami pasti akan kasih pendapat. Tapi ini mereka (pemerintah) tidak, main masuk saja,” tambahnya.
Aikup Sakaliou menambahkan, pembangunan di Mentawai dilakukan oleh orang luar demi kepentingan mereka. Celakanya itu menciptakan celah korupsi yang berdampak pada kehidupan warga. Karena itu, Aikup Sakaliou punya satu pesan bagi pemerintah dan pihak luar.
“Kembalikan ini (hak-hak atas tanah asal mereka) kepada kami, niscaya kami juga bisa lebih maksimal mengelolanya,” tutupnya.