Angkat Sapumu, Saatnya Bersih-bersih Negara yang Kotor
Intan Shabira menggantungkan sapu lidi di tas ranselnya. Ia adalah simbol bersih-bersih negara yang sudah terlalu kotor. “Dengan menciptakan narasi-narasi fear mongering akhirnya negara mau mengontrol masyarakat, tanpa harus membenahi diri,” ucap Intan pada Magdalene.
Intan datang aksi karena kesal melihat media sosialnya penuh dengan demonisasi aksi massa dengan narasi poster jelek.
Menurutnya, poster-poster aksi bisa jadi dibuat dengan waktu mepet, sehingga tidak memikirkan elemen desain. Netizen memang sempat mencurigai poster aksi massa yang dinilai “jelek”, sebagai provokasi belaka. Padahal, Intan berkata, masyarakat harusnya bersatu di tengah kondisi negara yang kacau.
Baca juga: Fakta Penting 17+8 yang Harus Kamu Tahu: Pencetus hingga Isi Tuntutan
Sementara, Aita dari organisasi Srikandi Sejati membawa sapu dengan alasan hampir mirip, “untuk membersihkan noda-noda, kotoran-kotoran yang ada di gedung DPR.” Tujuannya mengikuti aksi ini untuk menyuarakan hak-hak transpuan.
“Harapannya hak-hak kami sebagai kelompok marjinal itu terpenuhi. Karena kami juga sama, warga negara Indonesia yang berhak dilindungi hak berekspresi dan bersuaranya,” lanjutnya.
Di posko logistik, sambil membagikan konsumsi seperti air minum, Annett Mau dari Aliansi Ibu Indonesia sesekali mengangkat sapu lidi yang ada di genggamannya untuk mengamini orator di mobil komando. Menurutnya, karyawan rakyat seperti pemerintah dan anggota DPR harus disapu bersih jika sudah mengkhianati amanat rakyat.
Annett frustrasi karena semua kanal untuk menyuarakan pendapat ke negara mandek. Melihat represivitas aparat kepada anak muda yang ingin menyuarakan aspirasi, ia marah. “Anak-anak kami yang sedang memperjuangkan suara rakyat ditangkapi, anak-anak kami dituduh makar, padahal mereka adalah penggerak demokrasi,” tuturnya.

Intan, Aita, dan Annett adalah bagian dari massa aksi Aliansi Perempuan Indonesia (API) yang turun ke depan gedung DPR RI, kemarin, 3 September. Boleh saja punya tuntutan mereka berbeda-beda. Tapi ada satu kesamaan: sapu lidi untuk membersihkan negara yang kotor.
Tak sedikit juga yang berteriak, “bersihkan DPR,” sambil memegang sapu. Beberapa dari mereka juga memegang poster tuntutan, sebagian menggenggam payung untuk berlindung dari panas matahari.
Imbauan membawa sapu memang jadi arahan API. Panitia aksi API sekaligus aktivis dari Arus Pelangi, Echa Waode bilang sapu memiliki makna besar. Sebagai alat untuk melakukan bersih-bersih, API menuntut Presiden Prabowo untuk membersihkan gedung DPR dari pejabat publik yang tidak melakukan tugasnya dengan baik.
“Sapu itu juga bentuk kebersamaan,” kata Echa.
Baca juga: Resistance Blue, Brave Pink, dan Hero Green: Simbol Perlawanan Rakyat
Macam-macam Simbol Perlawanan
Sapu bukan barang pertama yang dijadikan simbol perlawanan. Melansir Tribun, pada 2013, kelompok ibu menggelar aksi dengan membawa peralatan rumah tangga, seperti sutil, wajan, dandang, dan ember, di Kecamatan Jetis, Mojokerto. Mereka memukul peralatan rumah tangga itu untuk menyuarakan kekhawatiran bahwa pabrik pengelola limbah akan mengotori sumber air.
Selain itu, peralatan dapur seperti wajan, panci, kompor dan kayu bakar pernah menjadi simbol untuk menolak kenaikan harga bahan bakar pada 2012. Alat dapur itu, adalah simbol penolakan kenaikan harga BBM yang nantinya akan berpengaruh pada harga kebutuhan pokok.
Selama 18 tahun, Aksi Kamisan juga lekat dengan payung hitam. Melansir Kompas.com, aksi menuntut keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat ini memilih payung sebagai maskot untuk melambangkan perlindungan. Sementara, warna hitam dipilih sebagai simbol keteguhan memperjuangkan HAM.
Baca juga: Kenapa Gedung DPR Enggak Pas buat Wakil Rakyat: 3 Alasan Versi Ahli Arsitektur
Tak hanya di Indonesia, di Amerika, gantungan baju berbahan kawat digunakan untuk memprotes kebijakan anti-aborsi dari masa ke masa. Menurut kolumnis The Los Angeles Times, Patt Morrison simbol ini mengingatkan waktu kelam, ketika perempuan Amerika melakukan aborsi mandiri menggunakan gantungan baju kawat.
Peneliti Aalborg University, Denmark, Awad dan Wagoner menulis di jurnal berjudul Protests Symbols, simbol dalam unjuk rasa dapat menyatukan latar belakang peserta yang berbeda-beda. Peserta aksi dapat berbaur karena saling mengerti simbol yang digunakan dan membuat tuntutan lebih solid.
















