Lifestyle

Ibu Enggak Suka Melihatku Karaokean: Enggak Baik untuk Anak Perempuan

Stigma yang ada membuat ibu enggak senang melihat saya karaokean. Hal itu dilatarbelakangi kasus prostitusi dan narkotika yang sering terungkap. Padahal, bagi saya karaoke adalah cara ampuh melepas stres.

Avatar
  • February 12, 2023
  • 6 min read
  • 1320 Views
Ibu Enggak Suka Melihatku Karaokean: Enggak Baik untuk Anak Perempuan

Di suatu Minggu siang di bulan Oktober, ibu menghampiri saya yang sedang rebahan di kasur. Ia bertanya, ke mana saya menghabiskan waktu semalam. Sampai-sampai tiba di rumah pukul 10 malam—waktu yang cukup larut bagi ibu.

“Karaoke di Blok M bareng teman-teman,” jawab saya.

 

 

Ingin rasanya memberikan jawaban lain, begitu mendengar respons ibu kala itu. “Masa karaoke dua minggu berturut-turut? Ibu enggak suka lihatnya,” katanya. “Jangan sering-sering, enggak bagus.”

Sebenarnya saya sudah menduga, ibu akan menanggapi demikian. Menurut ibu, enggak baik sering-sering karaokean—apalagi saya anak perempuan. Tanpa perlu dijelaskan spesifik, saya mengerti maksudnya. Tempat karaoke lekat dengan stigma terhadap ladies companion (LC), membuat ibu enggak ingin saya sering ke sana.

Baca Juga: Kegiatan Self-Healing yang Murah Meriah

Padahal, saya karaokean untuk melepas penat dan stres akibat pekerjaan. Karaoke adalah one-stop happiness, yang bisa mengembalikan kewarasan dalam waktu singkat. Lagi pula, enggak ada yang dilakukan di dalam ruangan, selain menyanyi bak penyanyi papan atas.

Namun, “ultimatum” yang dilemparkan ibu siang itu cukup mengingatkan, enggak perlu bercerita padanya kalau pergi karaokean. Alhasil, saya memilih berbohong tipis-tipis, supaya enggak menerima respons seperti di hari itu. Setiap karaokean, saya bilang sedang makan bareng teman-teman, atau nonton bioskop—dua aktivitas yang paling sering dilakukan.

Lantas saya berpikir, bagaimana sejarahnya sampai muncul stigma begitu kuat terhadap karaoke?

Menelusuri Perkembangan Karaoke

Sebelum muncul karaoke television (KTV) seperti banyak ditemukan sekarang, jenis hiburan yang populer dengan iringan musik itu muncul berupa mesin. Daisuke Inoue, adalah pebisnis asal Jepang yang dikenal sebagai penemu mesin karaoke.

Awalnya, ia memberikan mesin tersebut kepada rekan bisnisnya, sebagai bentuk dukungan di perjalanan bisnis yang tidak dapat Daisuke hadiri. Kemudian pada 1971, Daisuke menyewakan 11 mesin karaoke yang dirakit bersama teman-temannya, ke sejumlah bar di Kobe—lengkap dengan kaset dan amplifier.

Dengan mesin tersebut, Daisuke memudahkan penyanyi amatir dalam menyanyikan lagu pop. Yaitu dengan merekam lagu-lagu populer versinya, dengan kunci-kunci yang lebih mudah dinyanyikan.

Sayangnya, Daisuke tidak mengambil hak paten atas temuannya. Alhasil pada 1975, pengusaha asal Filipina, Roberto del Rosario, memegang titel penemu sistem karaoke secara sah. Sistem karaoke yang dirancang Roberto menggabungkan amplifier speaker, dua kaset, tuner atau radio, dan mixer mikrofon untuk menyempurnakan suara penyanyi—seperti bergema jika menyanyi di ruangan opera.

Baca Juga:Atas Nama Agama Aku Dilarang Kerja

Barulah pada 1980-an, muncul karaoke dalam bilik-bilik yang disebut karaoke box—tipe KTV yang kini dikenal. Jenis karaoke yang bermula di Jepang itu dapat banyak ditemukan di berbagai negara—terutama Asia, termasuk Indonesia. Bahkan, di Korea Selatan, karaoke yang disebut noraebang ini populer sebagai pelepas stres dan memperkuat relasi.

Biasanya, warga Korea berkaraoke setelah menghabiskan waktu di bar atau restoran bersama teman-teman. Bagi mereka, hiburan ini merupakan salah satu cara mengekspresikan emosi.

Lebih dari itu, karaoke telah menjadi bagian dari gaya hidup orang Korea. Melansir Korea Herald, saat ini terdapat lebih dari 30 ribu bisnis noraebang di Korea Selatan. Selain terletak di pusat kota, lokasi noraebang diperluas hingga ke pangkalan militer, untuk mengurangi tingkat stres para tentara.

Di Indonesia sendiri, karaoke telah berkembang menjadi hiburan komunal. Selain KTV, beberapa tahun terakhir, karaoke night yang dikemas sebagai party di kelab malam semakin marak. Seperti diusung oleh Videostarr, Suara Disko, Dizkorea, dan Festa de Fandom.

Setiap acara memiliki karakternya masing-masing. Videostarr, misalnya, memutarkan lagu-lagu pop 1990-2000-an lengkap dengan video klip—membuat pengunjung tak hanya bernyanyi, tapi juga bernostalgia. Kemudian Dizkorea hadir dengan ciri khasnya memainkan lagu-lagu K-pop. Atau Festa de Fandom, yang khusus memainkan lagu-lagu berdasarkan komunitas berbasis fandom.

Dalam wawancara bersama Whiteboard Journal, penyiar Ryo Wicaksono mengatakan, menjamurnya karaoke night didorong oleh nostalgia dengan lagu-lagu yang hits pada masanya.

Tentu lagu-lagu itu bisa ditemukan di platform digital—ketika dimainkan di bar atau kelab malam pun hanya membutuhkan layar, proyektor, kompilasi lagu, dan disjoki. Namun, suasana nyanyi ramai-ramai membuat orang memilih datang ke karaoke night. Ditambah disjoki yang berkarakter.

Selain melepas penat di KTV, faktor di atas juga menjadi alasan saya senang pergi ke karaoke night. Menyanyikan lagu-lagu hits dan Indo pop 2000-an lebih menyenangkan, bersama orang-orang yang tumbuh mendengarkan musik yang sama. Walaupun artinya, saya enggak bisa bercerita ke ibu kalau pergi karaokean. Soalnya akan berujung diingatkan dengan stigma seputar hiburan tersebut.

Di Balik Stigma Terhadap Karaoke

Waktu berusia 14 tahun, saya pernah keceplosan ngomong ke ibu. Saat itu, saya bilang habis karaokean di sebuah mal dekat rumah bareng dua teman sekolah. Ibu kaget bukan main, mengetahui anak semata wayangnya pergi ke tempat hiburan itu. Kemudian ibu menjelaskan, KTV enggak bagus dan berbahaya untuk anak-anak. Katanya, banyak om-om dan “perempuan enggak bener”.

Sebagai anak yang waktu itu masih di bawah umur, saya mengaku salah. KTV bukan tempat hiburan yang tepat bagi remaja akil balig, setidaknya masih perlu pendampingan orang dewasa. Namun, setelah saya berusia 23, prasangka ibu terhadap tempat karaoke belum berubah.

Baca Juga: Tidak Menjadi Perempuan Sunda

Di Minggu siang yang sama, saya bertanya pada ibu, alasannya enggak suka melihat saya pergi ke tempat karaoke. Ia tidak menjelaskan secara spesifik, tetapi tampaknya ingin menuturkan alasan yang sama dengan sembilan tahun lalu.

Prasangka yang ibu yakini terhadap karaoke, tak lain tak bukan disebabkan oleh konstruksi sosial dan pemberitaan media. Melihat karaoke sebagai salah satu hiburan malam, dan terdapat LC yang dianggap bukan perempuan baik-baik. Dikarenakan pekerjaannya menemani laki-laki di ruang karaoke. Asumsi tersebut diperkuat dengan sejumlah kasus prostitusi yang terjadi di tempat karaoke.

Contohnya Karaoke Next KTV yang terletak di Surabaya, Jawa Timur pada 2021 silam. Saat itu, polisi mengamankan muncikari dan lima orang LC. Mereka menyediakan layanan prostitusi di dalam ruangan karaoke, maupun di hotel, dengan tarif layanan Rp600 ribu hingga Rp1 juta.

Hal serupa terjadi di beberapa negara lain di Asia—seperti Sri Lanka, Kamboja, dan Thailand. Pada 2020, sebuah tim operasi khusus di Thailand menutup tempat karaoke, setelah mendapati kasus prostitusi yang juga mempekerjakan anak di bawah umur.

Selain prostitusi, sejumlah kasus penggunaan narkotika di tempat karaoke memperkuat stigma yang ada. Salah satunya Vins, tempat spa dan karaoke di bilangan Kebayoran, Jakarta Selatan, yang disegel pada 2019 lalu.

Melansir Kompas.com, aktivitas di Vins diberhentikan karena sering dijadikan tempat prostitusi, perjudian, dan mengonsumsi narkoba. Maka itu, Vins dinyatakan melanggar Pasal 54 Peraturan Gubernur No. 18 Tahun 2018 tentang Kepariwisataan.

Peraturan tersebut menyebutkan, apabila terjadi transaksi atau penggunaan narkotika–dan zat psikotropika lain–di tempat hiburan malam, akan dilakukan pencabutan Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) tanpa sanksi teguran.

Melihat berbagai pemberitaan yang ada, saya mengerti kekhawatiran ibu tiap kali saya pergi karaokean. Namun, layaknya berbagai hal lain dalam hidup, karaoke juga enggak bisa dilihat secara hitam putih. Ada hal-hal positif dan menyenangkan dari hiburan ini. Salah satunya bikin mood lebih bahagia dan merasa energik, karena tubuh melepas hormon endorfin setelah karaoke.

Jadi, selama enggak merugikan, rasanya sah-sah aja untuk tetap karaokean. Walaupun artinya, saya mesti menyembunyikannya dari ibu.



#waveforequality


Avatar
About Author

Dian Herfina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *