Menjadi Anak Perempuan dalam Keluarga Batak
Jejak ayah seolah terhapus dari sejarah keluarga sejak meninggal karena ia hanya punya anak perempuan.
“Seharusnya kita sadar, masih banyak golongan ‘disalib’ karena kepentingan pribadi. Masih banyak anak perempuan ‘disalib’ karena dia bukan terlahir sebagai anak laki-laki.”
Kata-kata Pendeta Roy A. Surjanegara dalam sebuah kebaktian Jumat Agung di GKI Maulana Yusuf, Bandung, beberapa bulan lalu itu membuat saya seketika tersentak. Pdt. Roy menyampaikan hal yang selama ini saya pribadi rasakan sebagai anak perempuan di keluarga asli Batak. Budaya Batak sangat mengutamakan laki-laki, salah satunya karena anak laki-laki sebagai pembawa marga yang jadi kebanggaan keluarga (entah apa kaitan langsungnya laki-laki dengan kebanggaan).
Itu stereotip yang akan selalu terdengar ketika saya berbincang dan bertemu orang Batak.
Mendiang Papa saya adalah anak kedua namun anak laki-laki pertama di keluarganya. Secara otomatis dalam adat Batak, saya sebagai anak perempuan pertamanya akan menjadi cucu yang namanya melekat pada kedua Opung dari pihak Papa saya. Orang-orang akan mengenal kedua orangtua Papa saya dengan sebutan “Opung Shely”. Namun sejak Papa saya meninggal, keluarganya tidak lagi menganggap kami berhak atas warisan karena Papa dan Mama hanya punya dua orang anak perempuan. Buat saya tidak masalah karena harta tidak dibawa mati, dan lagi bisa dicari.
Bertahun-tahun saya dan adik tidak punya tempat bercerita dan menyampaikan cita-cita kecuali pada Mama yang harus pontang-panting bekerja menutup piutang sisa biaya berobat Papa, sambil memastikan kedua anaknya yang bukan laki-laki tersebut tetap tumbuh sehat dengan kualitas pendidikan yang tidak kalah dengan anak lain. Sepupu, Tante, Paman, adalah sosok-sosok yang langka di hidup saya sejak Papa meninggal. Teman dan tetangga justru punya bagian lebih besar dalam mendukung perjuangan Mama dan mereka lebih peduli pada kami.
Salah satu alasan ipar-iparnya mengucilkan Mama karena dia harus bekerja tanpa kenal waktu, mendatangi pembeli barang jualannya ke rumah, kantor, kafe bahkan menghampiri para pembeli ke tempat anak mereka kursus untuk mengambil uang barang yang dibeli. Dia sadar penuh tanggung jawabnya sebagai orangtua tunggal.
Namun, di kacamata keluarga Papa, adalah tabu seorang janda bertandang ke banyak tempat, bertemu orang lain selain keluarga. Mereka mungkin tidak ingat kalau kami pun butuh bayar uang sekolah tiap bulan dan membeli beras untuk dimasak.
Selang lima tahun, kabar baru dari keluarga Papa datang. Kuburan Opung yang dulu tertulis “Opung Shely” sudah berganti dengan nama anak dari Bapa uda (Paman, adik laki-laki Papa) saya. Kalau harta bisa dijual-beli lalu terganti, tidak dengan sejarah dan riwayat. Namun Papa saya seolah terhapus jejak hidupnya dari dan oleh keluarga besarnya sendiri, saya dan adik yang masih bernapas juga tidak lagi dianggap nyata oleh mereka dengan keputusan mengubah identitas di nisan pendahulu kami.
Cerita dan pengalaman hidup tersebut adalah pahit, tapi bukan untuk disimpan menjadi luka yang bernanah dan membekas borok di hati saya. Saya belajar mengampuni sebelum ada kata maaf, tidak mendendam supaya pintu berkat selalu penuh kiriman sukacita, dan yang tak kalah penting, saya melihat perempuan kuat itu bukan legenda. Perempuan bekerja dari pagi sampai malam, pakai rok atau celana, di ruangan megah atau di pinggir jalan, berusaha membangun kehidupan.
Momen Jumat Agung kembali mengingatkan supaya hati saya tidak boleh rusak karena masa lalu. Tuhan Yesus tidak mati hanya untuk kedua belas murid-Nya saja, saya yang orang awam dan perempuan sekalipun ikut Dia tebus. Belum pernah saya baca ayat menyatakan penyertaan-Nya hanya bagi satu golongan. Tidak juga Dia pandang dosa dan amal waktu mencurahkan kesehatan dan keselamatan pada kita.
Lalu siapa kita untuk mengaku kuat atas yang lain dan ‘menyalib’ sesama manusia atas nama gender? Pengorbanan seperti apa yang membuat kita sah menjadi hakim atas orang yang memperjuangkan hidupnya, hanya karena dia perempuan?
Shely Napitupulu adalah lulusan Sastra Inggris yang terjebak dalam lingkup korporasi dan sistem patriarkal budaya sendiri. Senang menghabiskan waktu untuk membaca baik keterangan foto di Instagram ataupun liputan Pilkada. Tidak keberatan untuk berdiri jika bangku Transjakarta di gerbong khusus perempuan habis karena percaya laki-laki juga bisa merasa letih.