Anak Muda Melawan Lupa: Gelar Pahlawan Soeharto adalah Penghinaan pada Korban
Baru-baru ini, nama Soeharto kembali ramai dibicarakan setelah masuk daftar empat puluh calon penerima gelar pahlawan nasional. Pendukungnya beralasan, jasa Soeharto dalam pembangunan dan stabilitas nasional tak bisa diabaikan. Namun, banyak juga yang menolak lantaran rekam jejak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang masif selama pemerintahannya. Memberikan gelar pahlawan pada sosok seperti itu bukan cuma tidak pantas, tapi juga bentuk pengkhianatan terhadap sejarah dan korban.
Buatku, ini bukan soal menolak melihat sisi baik seseorang, tapi keberanian menanggung konsekuensi dari tindakan masa lalu. Dalam kasus seperti ini, yang paling sering dirugikan justru kelompok rentan dan korban. Mereka yang dulu ditindas kini harus menyaksikan pelaku atau simbol kekuasaan masa lalu kembali dimuliakan. Ajakan untuk bersikap “netral” dalam situasi seperti ini justru terasa absurd. Sebab, di balik narasi netralitas, selalu ada posisi kekuasaan yang sedang dilindungi.
Selama ini, masyarakat memandang gelar pahlawan sebagai simbol kehormatan tertinggi. Namun ketika sosok yang punya rekam jejak pelanggaran kemanusiaan diberi gelar itu, artinya negara sedang mengaburkan makna kepahlawanan itu sendiri. Pahlawan tidak diukur dari seberapa besar jasanya membangun gedung atau menstabilkan ekonomi, melainkan dari bagaimana ia memperlakukan rakyatnya.
Sebagai pelajar, aku sering dituntut meneladani pahlawan. Namun pahlawan seperti apa yang harus kami teladani kalau sejarah yang kami baca sudah disaring oleh negara? Versi yang ditampilkan di buku pelajaran sering kali hanya yang dianggap aman: Yang layak dipuja, bukan yang layak dikritisi.
Baca juga: Kita Harus Ingat, Soeharto adalah Koruptor yang Belum Diadili
Ketika Pahlawan Jadi Alat Kekuasaan
Coba lihat Kartini, pahlawan perempuan dari kota kelahiranku, Jepara. Ia sering digambarkan lembut dan anggun, padahal kenyataannya berani melawan norma dan berpikir jauh lebih progresif dari zamannya. Masalahnya, sisi berani itu jarang ditampilkan. Kartini seolah dikurung lagi dalam citra perempuan ideal: penurut, manis, dan aman bagi negara.
Versi Kartini yang beredar hari ini bukan Kartini yang menulis surat tentang ketimpangan sosial dan patriarki, tapi Kartini versi kartu ucapan, penuh bunga dan pita. Ia dijadikan ikon, tapi disterilkan dari gagasannya. Itulah yang sering dilakukan negara terhadap para pahlawannya: mereka disulap jadi simbol yang mudah dipuja, bukan sosok yang menantang status quo.
Seperti Kartini, banyak pahlawan lain juga disederhanakan oleh sejarah. Mereka dikenang, tapi tidak pernah benar-benar didengarkan. Akibatnya, kepahlawanan di negeri ini lebih sering jadi proyek narasi, sesuatu yang dibentuk untuk terlihat heroik, tapi justru menutupi luka sosial di baliknya. Kepahlawanan kehilangan konteks, menjadi sekadar upacara, bukan pengingat akan perjuangan yang tak selesai.
Gelar pahlawan pun sering dijadikan alat kekuasaan. Negara menentukan siapa yang layak dikenang dan siapa yang dihapus dari ingatan. Dalam buku sejarah, tak ada tempat bagi perempuan korban kekerasan, keluarga korban ’65, atau jurnalis yang dipenjara karena menulis terlalu jujur. Ingatan kolektif dimanipulasi agar tetap “aman” bagi penguasa, dan yang tidak sesuai versi resmi, dibiarkan menguap.
Bagi negara, sejarah kelam adalah aib yang harus disembunyikan. Namun bagi masyarakat, itu luka yang tak pernah sembuh. Setiap kali luka itu hendak dibicarakan, negara menutupnya dengan narasi baru—lebih rapi, lebih manis, lebih mudah diterima. Tapi luka yang tidak diakui hanya akan membusuk pelan-pelan. Kalau pola ini terus berulang, generasi muda akan tumbuh dengan keyakinan bahwa melindungi citra negara lebih penting daripada menegakkan kebenaran. Dan di titik itu, kita berhenti belajar dari sejarah—kita hanya menghafalnya.
Baca juga: #(Re)formasi1998: Penobatan Soeharto Jadi Pahlawan Ancam Gerakan Perempuan
Gelar Tak Bisa Menghapus Dosa Masa Lalu
Kalau kepahlawanan hanya dimaknai sebagai simbol formal, bukan sikap, maka maknanya akan terus kosong. Gelar pahlawan tidak seharusnya diberikan hanya karena jasa pembangunan, tapi juga karena integritas.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, salah satu syarat pahlawan nasional adalah memiliki moral, integritas, dan keteladanan. Berdasarkan catatan pelanggaran HAM dan praktik KKN yang dilakukan Soeharto, pemberian gelar itu jelas bertentangan dengan konstitusi dan akal sehat publik.
Daftar pelanggarannya panjang: pembantaian massal terhadap terduga G30S, operasi militer di Aceh, Papua, dan Timor Timur, penembakan misterius, hingga kerusuhan Mei 1998. Belum lagi praktik KKN yang memperparah krisis moneter 1997–1998. Kalau negara tetap memberinya gelar, artinya negara sedang mengajarkan bahwa pembangunan bisa menebus kekerasan terhadap rakyatnya.
Pemberian gelar pahlawan pada Soeharto bukan sekadar pelanggaran moral, tapi juga bentuk penghapusan ingatan kolektif. Negara berusaha menulis ulang sejarah dengan tinta kepentingan, seolah luka bisa hilang hanya karena ditutup dengan penghargaan. Padahal hasil baik tidak pernah bisa menghapus tindakan buruk.
Kalau seorang pemimpin seharusnya melindungi rakyat, bagaimana mungkin ia yang menyakiti rakyat justru diberi gelar kehormatan? Dalam politik, gelar pahlawan sering kali bekerja seperti mitos—terlihat mulia, padahal berfungsi menutupi dosa kekuasaan.
Kalau pola ini terus dibiarkan, masa depan negeri ini akan penuh dengan pahlawan yang tak benar-benar kepahlawanan. Karena gelar bisa diberikan, tapi sejarah tidak bisa dimanipulasi selamanya.
Maka, persoalannya bukan cuma siapa yang pantas disebut pahlawan, tapi kenapa negara terus merasa berhak menentukan siapa yang boleh diingat, dan siapa yang seharusnya dilupakan.
















