Kita Harus Ingat, Soeharto adalah Koruptor yang Belum Diadili

Reformasi yang terjadi 27 tahun lalu masih menyisakan beban yang belum terselesaikan, salah satunya kasus korupsi Soeharto.
Ubedilah Badrun, aktivis 98 yang sekarang menjadi dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, mengaku sedih dan kecewa.
“Kerugian negara akibat korupsi Soeharto mencapai Rp6 triliun, namun sampai hari ini dia tidak pernah diadili. Ini menunjukkan bahwa penegakan hukum kita dari 1998 sampai sekarang masih punya persoalan serius. Supremasi hukum itu kunci kemajuan negara. Kalau hukum tidak tegak, ya begini-begini terus,” ujarnya saat Aksi Kamisan memperingati 27 tahun Reformasi di depan Istana, Kamis (22/5).
Ubed mengenang bagaimana usai lengsernya Soeharto, gelombang demonstrasi besar mendesak pengadilan terhadapnya. Namun upaya itu kandas karena Soeharto wafat pada 2008 tanpa pernah menginjak pengadilan.
Menurut Ubed, hal ini tak lepas dari perlindungan rezim setelahnya. “Di Indonesia, mantan presiden kadang dianggap seperti ‘orang suci’, padahal terbukti bersalah. Soeharto jelas-jelas koruptor, malah mau dijadikan Pahlawan Nasional. Ini aneh dan problem besar. Di negara lain, siapapun, termasuk presiden, kalau bersalah ya dihukum,” tegasnya.
Ia juga mengkritik sebagian aktivis 98 yang kini justru bersekutu dengan kekuasaan, padahal dulu paling lantang melawan oligarki. Meski pesimis pada generasi aktivis 98, Ubed masih melihat harapan pada generasi muda.
“Kasus ini masih bisa diselesaikan karena data dan bukti kuat. Logikanya, bagaimana mungkin kekayaan keluarga itu tidak terkait dengan kekuasaan ayahnya? Saya berharap pada Gen Z untuk membalikkan keadaan. Jangan percaya sama semua tokoh reformasi, mereka banyak berkhianat,” tutupnya.
Baca juga: #(Re)formasi1998: Penobatan Soeharto Jadi Pahlawan Ancam Gerakan Perempuan
Warisan rezim Soeharto memperburuk situasi
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, mengatakan, meski tanggung jawab pidana gugur karena Soeharto wafat, proses hukum secara perdata seharusnya tetap berjalan.
“Pemerintah memang sempat menggugat secara perdata tujuh yayasan milik Soeharto yang terindikasi korupsi. Tapi dari tujuh, baru satu, yaitu Yayasan Supersemar, yang dijatuhi sanksi mengembalikan uang negara. Itupun belum semua dikembalikan,” ujar Usman kepada Magdalene (27/5).
Usman menilai peluang membuka kembali kasus ini kecil karena otoritas ada di tangan jaksa agung, yang rawan konflik kepentingan dan ada di bawah presiden. Jika presiden tidak punya kemauan politik, jaksa agung takkan bertindak.
“Presiden Prabowo Subianto, sejak kampanye 2014, sudah bilang ingin menjadikan mantan mertuanya, Soeharto, sebagai pahlawan. Jadi unsur subjektivitasnya tinggi,” katanya.
Bagi Usman, pemerintah kini justru terkesan ingin ‘membersihkan’ nama Soeharto, dari catatan korupsi hingga pelanggaran HAM, guna mendorong simpati publik dan memuluskan wacana gelar Pahlawan Nasional.
Baca juga: #(Re)Formasi1998: Titik Balik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
Lebih jauh, Usman menyoroti bahwa budaya impunitas di Indonesia adalah warisan rezim Soeharto. Ada tiga warisan yang memperburuk keadaan saat ini. Pertama, kekakuan ideologis. Ia mencontohkan pembantaian PKI 1965.
“Kalau Indonesia komunis, kenapa? Vietnam dan China komunis, sekarang negara maju. Kita terlalu kaku. Semua harus sama, yang beda dihabisi. Padahal tiap paham punya kekurangan, dan butuh paham lain agar bisa dibandingkan,” katanya.
Kedua, fetisisme negara kesatuan. Menurutnya, mempertahankan negara kesatuan tanpa perlindungan bagi rakyat justru keliru.
“Lihat Papua, pemerintah menahan mereka tetap di Indonesia, tapi warga aslinya terus dibunuh. Untuk apa? Tidak ada salahnya menjadi negara federasi,” jelasnya.
Ketiga, pembenaran atas pelanggaran hukum atas nama kekakuan ideologis dan negara kesatuan, yang melanggengkan impunitas.
Meski pesimis, Usman tetap mendorong masyarakat sipil untuk bersuara.
“Masih ada enam yayasan yang belum diusut. Keluarga dan orang dekat Soeharto masih melenggang bebas. Maka masyarakat harus tetap ‘berisik’ menegakkan keadilan. Lewat demonstrasi, kertas posisi, audiensi dengan pejabat—apa pun celah demokrasi yang ada, harus digunakan,” tegasnya.
Baca juga: Seramnya Pencabutan Nama Soeharto dari Tap MPR dan Wacana “Pahlawan Nasional”
Rakyat dibuat lupa dengan kejahatan rezim Soeharto
Sari Wijaya, Ketua Front Perjuangan Pemuda Indonesia, menilai masyarakat makin dilupakan soal kejahatan rezim Soeharto, dan wacana gelar Pahlawan Nasional makin memperparah.
“Buat saya, Soeharto bukan sekadar presiden, tapi simbol rezim otoriter. Simbol yang bikin demokrasi makin tidak jelas, ruang sipil makin sempit,” ujarnya.
Sari, yang merupakan bagian generasi milenial, mempertanyakan generasi 98. “Dulu kalian menurunkan Orde Baru untuk apa? Sekarang banyak yang justru di dalam kekuasaan. Masa diam saja? Apa yang dulu kalian perjuangkan?” katanya.
Meski saat 1998 ia masih SD, Sari tak ingin menjadi generasi yang ahistoris.
“Cukup membaca sejarah untuk tahu bobroknya kepemimpinan Soeharto,” tegasnya.
Ia juga mengkritik pelemahan institusi demokrasi saat ini, mulai dari meningkatnya tindakan represif terhadap pers, pengesahan undang-undang bermasalah, dan supremasi sipil yang dilemahkan. Meski tantangan berat, Sari mendorong anak muda dan masyarakat sipil tetap bersuara. Ia mengingatkan pentingnya mengingat dan mengetahui sejarah gerak Indonesia, agar bisa dijadikan pelajaran untuk generasi mendatang.
“Kalau kita diam, generasi kita akan dicatat sebagai generasi yang membiarkan sejarah dilupakan. Yang membiarkan pelanggar HAM dimuliakan. Yang membiarkan ruang sipil dihancurkan perlahan atas nama stabilitas dan pembangunan,” pungkasnya.
