Issues Politics & Society

#SetopLiberalisasiKampus: Antara UKT Tinggi dan Obsesi Jadi ‘World Class University’

Kenapa pemerintah ngebet sekali menaikkan biaya kuliah mahasiswa?

Avatar
  • May 29, 2024
  • 6 min read
  • 1151 Views
#SetopLiberalisasiKampus: Antara UKT Tinggi dan Obsesi Jadi ‘World Class University’

Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Mendikbudristek) akhirnya buka suara setelah panen kritik keras dari publik. Dalam kunjungannya ke Istana Negara, (27/5), ia membatalkan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT)

Dikutip dari Tempo.co, pembatalan kenaikan UKT itu diatur dalam Peraturan Mendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024. Menurut Nadiem, keputusan ini diambil setelah pemerintah berdialog dengan para rektor universitas dan mendengar aspirasi dari berbagai pemangku kepentingan. Pemerintah pun berjanji akan merevaluasi semua permintaan peningkatan UKT dari perguruan tinggi negeri (PTN) agar besarannya tidak membebankan para mahasiswa. 

 

 

Kendati kenaikan UKT dibatalkan, bukan berati masyarakat bisa bernapas lega. Bak harapan palsu, selang beberapa jam setelah pernyataan Nadiem, Presiden Joko Widodo dikutip dari CNBC Indonesia bilang UKT tetap akan naik di tahun depan. 

“Kemungkinan ini (UKT) akan dievaluasi dulu, kemudian kenaikan setiap universitas akan dikaji dan dikalkulasi. Sehingga, kemungkinan, ini masih kemungkinan, nanti kebijakan (UKT) di Mendikbudristek akan dimulai kenaikannya tahun depan. Jadi ada jeda, tidak langsung seperti sekarang ini,” ucapnya. 

Pernyataan Jokowi bikin sejumlah orang was-was. Dian, 17, calon mahasiswa baru yang sedang menunggu pengumuman Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) salah satunya. Kepada Magdalene, Dian mengaku khawatir dengan kenaikan UKT di sejumlah PTN di Indonesia, mengingat ia bukan datang dari keluarga berkecukupan. Ibunya tidak bekerja sedangkan sang ayah membuka usaha fotokopi kecil-kecilan di rumah. 

Pertimbangan ekonomi keluarga, membuat Dian sengaja memilih jurusan pendidikan di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang UKT-nya cenderung lebih rendah dibanding PTN lain di Jakarta. Ia berharap dengan belajar di UNJ, orang tuanya takkan begitu terbebani dengan biaya kuliah yang paling tinggi hanya berkisar Rp8 juta per semester. 

Namun, strategi perempuan yang bercita-cita jadi guru ini punya kelemahan. Dalam pilihan keempat UTBK yang mengharuskan pilihan universitas dan jurusan lain, Dian memilih jurusan Administrasi Rumah Sakit di Universitas Indonesia. 

“Di UI kan UKT lagi naik-naiknya banget. Orang tua sih bilang enggak usah khawatir, tapi aku tuh beneran takut kalau nanti tiba-tiba malah keterima di sana (UI). Nanti harus gimana (bayar UKT),” curhatnya. 

Baca Juga: THR Sudah Dekat, Cari Tahu Dulu Sejarah dan Kontroversinya 

Persoalan Klasik yang Sudah Terjadi Lama 

Ayu Anastasya Rachman, Peneliti Ekonomi Politik dan Diplomasi Pendidikan Tinggi dari Universitas Padjadjaran kepada Magdalene mengatakan, UKT secara gradual naik setiap tahunnya. Dalam hal ini, mahasiswa apalagi yang punya keterbatasan finansial, selalu jadi yang paling rentan. Kenaikan gradual UKT, imbuh Ayu, tak lepas dari Undang-Undang Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). 

Lewat UU ini, PTN “di-badan-hukumkan”, sehingga punya otonomi sendiri dan leluasa mengelola urusannya. Merujuk Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, selama menjalankan pengelolaan, PTN BH memiliki wewenang antara lain: 

1.       Kekayaan PTN BH adalah milik institusi, kecuali tanah; 

2.       tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri; 

3.       unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi; 

4.       hak mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel; 

5.       wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri dosen dan tenaga kependidikan; 

6.       wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi; 

7.       dan wewenang membuka, menyelenggarakan, dan menutup program studi. 

Melalui regulasi ini pula, kampus bisa mendapatkan insentif PTN BH, berupa apresiasi pendanaan. Nantinya dana bisa digunakan untuk world class professor, akses hibah, atau organisasi internasional. 

“Universitas juga enggak perlu lagi pusing-pusing mengisi borang (alat untuk mengumpulkan dan mengungkapkan data dan informasi yang digunakan untuk menilai kelayakan dan mutu institusi perguruan tinggi) dan menunggu berbulan-bulan mendapatkan status akreditasi. Ini yang kerap kali menjebak perguruan tinggi pada kompetisi kosong dengan banyaknya manipulasi data,” jelasnya. 

Apa yang ditawarkan negara pada PTN ini diklaim sebagai cara menaikkan indeks daya saing perguruan tinggi dalam kancah persaingan global menuju World Class University. Dalam perjalanannya, obsesi itu identik dengan mengkomersialiasi dan neoliberalisasi kampus. 

Baca juga: Gaji Secuil, Lingkungan Toksik: Potret Buram Kesejahteraan Dosen Indonesia 

Menurut Ayu, praktik komersialisasi dan neoliberalisasi ini bukan barang baru. Ia sudah diinisiasi bertahap lebih dari dua dekade lalu. Pada 2003, pemerintah mengeluarkan Strategi Jangka Panjang Pendidikan Tinggi atau Higher Education Long Term Strategic (HELTS) 2003-2010.  Strategi tersebut lahir karena kurangnya reputasi Perguruan Tinggi Indonesia dibanding Perguruan Tinggi negara lain. Sehingga, pemerintah menerapkan sejumlah strategi, seperti daya saing bangsa, otonomi, desentralisasi, serta kesehatan organisasi. 

“Namun, sebelum HELTS 2003-2010 dikeluarkan, pemerintah sudah terlebih dahulu memberikan otonomi pendidikan melalui penetapan empat Perguruan Tinggi Negeri menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Negara (PT-BHMN). UI, UGM, ITB, dan IPB waktu itu yang dijadikan pilot project pemerintah,” tambah Ayu. 

Mengutip penelitian Ayu berjudul “Neoliberalism and Inclusivity in Indonesian Higher Education” (2017), setelah pilot project itu, pemerintah baru memperkenalkan Strategi Jangka Panjang Pendidikan Tinggi 2003-2010. 

Pada 2008, pemerintah lantas mengumumkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP yang merupakan singkatan dari Badan Hukum Pendidikan. Peraturan ini menyatakan, semua jenjang pendidikan harus diselenggarakan di bawah otonomi penuh lembaga/sekolah. 

Hadirnya peraturan ini sempat menimbulkan kritikan keras dari sivitas akademik. Mereka menilai, pemerintah ingin melepaskan diri dari kewajiban mendanai pendidikan, sehingga biaya pendidikan tinggi akan meningkatkan secara signifikan dan tidak bisa terjangkau oleh semua orang. 

Karena dapat kritikan keras, peraturan ini akhirnya ditolak. Namun tak lama kemudian, pemerintah memperkenalkan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang PTN-BH pada akhir 2012. Seperti halnya BHP, keputusan PTN-BH juga mengedepankan kepentingan pasar, khususnya kebebasan finansial. Karena tak ada penolakan yang berarti terhadap UU ini, PTN-BH pun disahkan dan diadopsi. Akibatnya subsidi untuk perguruan tinggi juga semakin berkurang sehingga otoritas kampus mau tidak mau harus menaikkan biaya kuliah mereka. 

Baca Juga: Mendadak Pulang, Balada Buruh Migran Perempuan Terjebak Stigma dan Beban Ganda 

Di luar itu, kata Ayu, komersialisasi dan neoliberalisasi pendidikan tinggi sendiri sebenarnya merupakan fenomena global. Di banyak negara yang ingin ada kebebasan akademik dan finansial, aturan semacam ini disahkan. Namun, Ayu juga mengkritisi, cara ini tak ubahnya jalan pintas yang punya kelemahan. 

“(Cara ini) memaksa kampus untuk cepat dewasa atau mapan dengan sendirinya. Worst case-nya angka putus kuliah di Indonesia akan semakin tinggi kalau ini terus terjadi (UKT mahal akibat adanya regulasi). Padahal jalan yang seharusnya ditempuh pemerintah itu adalah dengan mengatasi disparitas pendidikan. Meratakan akses pendidikan dari sekolah dasar, meningkatkan kualitas dari daerah ke kota,” tegas Ayu. 

Artikel ini adalah bagian series artikel pendidikan Magdalene bertema UKT mahal di banyak perguruan tinggi Indonesia. 

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *