Ada Tangis Buruh Perempuan di Balik Ambisi Prabowo Perluas Lahan Sawit
Ambisi Prabowo perluas lahan sawit kembali akan korbankan buruh perempuan. Berbagai diskriminasi dan kekerasan seksual menanti di depan mata.
Presiden Prabowo Subianto bilang, Indonesia perlu memperluas perkebunan kelapa sawit. Ia berdalih kelapa sawit adalah produk strategis dan dibutuhkan banyak negara. Mantan Danjen Kopassus tersebut juga mengatakan masyarakat tidak perlu khawatir soal deforestasi.
“Namanya kelapa sawit ya pohon, ya kan? Kelapa sawit itu pohon, ada daunnya kan? Ya dia menyerap karbon dioksida, darimana kita dituduh, yang mboten-mboten aja orang-orang itu,” ungkap Prabowo dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Nasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, di Jakarta, Senin (30/12) dikutip dari VOA Indonesia.
Beberapa pengamat lingkungan mengkritik keras pernyataan Prabowo tersebut. Pengamat politik lingkungan dari Konsorsium Peneliti dan Pemberdayaan untuk Kesejahteraan (KIPRAH), Ahalla Tsauro misalnya mengatakan bisnis perkebunan sawit justru berperan besar dalam deforestasi selama bertahun-tahun yang berdampak pada degradasi lingkungan dan mengancam biodiversitas alam serta kepunahan. Pernyataannya didukung oleh Kajian Auriga yang menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 2000-2019, deforestasi langsung (hutan alam yang dalam rentang maksimal tiga tahun telah berubah menjadi tutupan) oleh sawit mencapai 2.935.906 hektar.
Selain itu, Ahalla dalam wawancaranya bersama tempo.co menilai pernyataan Prabowo soal sawit termasuk pohon juga salah kaprah. Pernyataan ini ia anggap dapat menggiring opini publik karena menyamakan fungsi pohon sawit dengan jenis tanaman lainnya dalam menyerap karbon dioksida.
“Penggiringan opini ini mirip dengan kampanye #SawitBaik di era Jokowi yang justru menjustifikasi pembebasan hutan untuk perkebunan sawit yang lebih luas,” ucap Ahalla.
Baca Juga: Anjuran Suswono Janda Kaya Nikahi Pengangguran: Sudah Seksis, Objektifikasi Pula
Industri Perkebunan Sawit yang Picu Konflik Agraria
Salah kaprah soal deforestasi dalam ambisi Prabowo memperluas perkebunan sawit bukan satu-satunya pernyataan yang banjir kritikan. Dalam pidato yang sama Prabowo juga mengimbau seluruh pejabat daerah, termasuk kepolisian dan TNI, untuk menjaga kebun-kebun kelapa sawit karena merupakan aset negara yang sangat penting. Roni Septian dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan pernyataan ini menandakan pengamanan kebun sawit ke depannya bakal semakin ketat. Hal ini berpotensi besar memicu kenaikan konflik agraria di Indonesia dengan petani hingga masyarakat adat semakin rentan dikriminalisasi.
“Apalagi perkebunan sawit sendiri memang selalu jadi tertinggi dalam menyumbang angka konflik agraria,” sebut Roni.
Roni lalu mengacu pada temuan Catatan Tahunan KPA pada 2-23. Dalam CATAHU 2023 tersebut, terjadi setidaknya 108 letusan konflik agraria di sektor Perkebunan dan 88 kasus di antaranya disebabkan oleh perkebunan dan industri sawit atau 88 persen menjadi peyumbang konflik agraria tertinggi di sektor perkebunan pada tahun 2023. Angka ini mengalami kenaikan dari tahun 2022 dengan jumlah konflik sebanyak 99 letusan dan jika ditarik selama pemerintahan Presiden Joko Widodo sebelumnya (2015-2023), konflik agraria akibat perkebunan sawit telah mencapai 1.131 letusan.
Salah satu kasus yang mungkin masih segar dalam ingatan publik adalah kasus petani bernama Gijik (35 tahun) asal Bangka, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah tewas terkena timah panas aparat keamanan saat terjadi konflik antara warga dengan PT. Hamparan Masawit Bangun Persada I (PT. HMBP I), salah satu bagian dari Best Agro Group Internasional.
Selain menewaskan Gijik, tindakan represif aparat di lapangan juga menyebabkan tiga orang tertembak dan 20 orang warga dikriminalisasi. Peristiwa ini adalah buntut dari konflik agraria yang tak terselesaikan sejak 2006 silam. Mengutip dari laporan BBC Indonesia, PT. HMBP 1 memiliki izin usaha perkebunan yang dikeluarkan langsung oleh Bupati Seruyan pada 13 Februari 2006. Dalam dokumen itu, PT. HMBP 1 diberikan lahan seluas 11.200 hektare yang dapat dimanfaatkan dalam status hak guna usaha.
Selama bertahun-tahun tanah milik warga Bangkal diubah menjadi kebun sawit oleh PT. HMBP 1. Pihak perusahaan berdalih pengambilan dan perubahan fungsi lahan itu dilakukan karena tanah warga itu masuk dalam dokumen hak guna usaha. Namun belakangan warga mendapatkan informasi bahwa kebun sawit PT. HMBP telah merambah keluar hingga sekitar 1.175 hektare dari batas hak guna usaha mereka. Persoalan ini memicu tuntutan lain warga Bangkal kepada perusahaan yang kebetulan juga menjanjikan memberikan lahan plasma sawit kepada mereka.
Sudah tidak terhitung berapa banyak aksi protes yang dilakukan warga. Bahkan dalam aksi damai di areal perkebunan PT. HMBP 1 aparat kepolisian selalu dikerahkan oleh perusahaan untuk mengamankan aset perusahaan dan mengurai massa aksi. Ibu-ibu masyarakat Bangkal ditembaki gas air mata, saat mendekati pabrik sawit.
Masalah yang bercokol dalam industri sawit ini sayangnya juga tak dapat perhatian khusus pemerintah. Roni mengungkapkan pemerintah kita mulai dari Susilo Bambang Yudhoyono hingga Jokowi jarang mengintervensi langsung konflik-konflik ini. Pemerintah cenderung “membiarkan” konflik ini menjadi konflik antar perusahaan dan masyarakat.
“Masyarakatnya diminta menggugat ke pengadilan. Padahal ini kan tidak menyelesaikan akar permasalahan. Ditambah lagi juga belum satu sistem yang dibuat pemerintah untuk menangani dan menyelesaikan. Makanya selalu tinggi konflik agraria kita,” kata Roni.
Baca Juga: Mundurnya Jacinda Ardern dan Tantangan Perempuan Pemimpin
Nasib Buruh Perempuan di Industri Perkebunan Sawit
Di tengah-tengah pepohonan tinggi di perkebunan kelapa sawit Indonesia, mulut seorang gadis berusia 16 tahun dibekap kencang oleh bosnya hingga tidak bisa berteriak. Hari itu di tahun 2017, ia diperkosa oleh bos sendiri yang berusia sudah cukup tua menjadi kakeknya. Sebelum diperkosa, sang bos sengaja membawanya ke bagian terpencil di perkebunan sawit. Di sana tiba-tiba saja tangannya ditarik, payudaranya diremas-remas, hingga kemudian dilempar ke lantai hutan. Kejadian itu terjadi begitu cepat dan setelahnya sang bos menodongkan kapak ke tenggorokannya.
“Dia mengancam akan membunuh saya dan seluruh keluarga saya,” ucapnya lirih.
Ia mengaku telah diperkosa empat kali. Keluarganya telah mengajukan laporan ke polisi, tapi pengaduannya dibatalkan karena alasan kurang bukti. Pengakuan dari perempuan tanpa nama ini adalah realita yang berusaha dipotret dalam laporan investigasi komperhensif kantor berita Associated Press (AP) pada 2020 lalu.
Mewawancarai belasan korban pelecehan seksual, dan 200 buruh, aktivis, pejabat pemerintah dan pengacara, AP mendalami kerentanan buruh perempuan di perkebunan sawit yang kerap menjadi korban diskriminasi dan kekerasan berbasis gender dari pelecehan verbal hingga pemerkosaan. Sampai saat ini tidak ada angka yang jelas tentang kasus kekerasan ini di lapangan. Ini karena korban biasanya menutup mulut. Jika bersuara, perusahaan cenderung mendiamkan atau mencari “solusi damai” dengan membayar uang ganti rugi.
Ironisnya lagi, praktik kekerasan seksual terjadi di kebun-kebun yang menyandang sertifikat sawit berkelanjutan dari RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). Padahal RSPO sendiri mendorong inklusi gender dalam produksi minyak sawit berkelanjutan. Terkait hal ini, perusahaan antara lain diwajibkan membentuk komite gender dan menciptakan keamanan dan kelayakan tempat kerja agar tidak terjadi kekerasan berbasis gender.
Selain kekerasan berbasis gender, AP juga menemukan bahwa para buruh perempuan banyak mengalami diskriminasi gender dalam bentuk upah dan status pekerjaan. Ola salah satu buruh perempuan asal Indonesia misalnya mengatakan upah hariannya yang tak lebih dari Rp. 30.000. Upah yang sangat kecil bagi seseorang yang telah bekerja di industri ini selama kurang lebih 10 tahun.
Kecilnya upah buruh perempuan kemudian dikomentari oleh Rizal Assalam, koordinator Jaringan Solidaritas Transnasional Buruh Sawit (TPOLS). Ia mengatakan di industri perkebunan sawit, pekerjaan buruh perempuan ini dianggap bukan pekerjaan inti selayaknya buruh laki-laki. Perempuan cenderung ditempatkan dalam kerja perawatan seperti menebas gulma, menyemprot pestisida, dan memupuk.
“Pekerjaan perawatan yang dikerjakan perempuan ini dianggap kerja musiman dan tidak terlalu berat sehingga ada pembedaan hak baik hak atas upah, minim jaminan, dan status kerja yang tidak bisa permanen. Ini juga yang membuat mereka cenderung jadi buruh harian lepas,” jelas Rizal.
Jika dibandingkan laki-laki yang umumnya memanen, upah dari kerja perawatan buruh perempuan ini jauh lebih rendah dari selisih ratusan ribu hingga Rp.3 juta. Padahal kata Rizal selain penting, kerja-kerja perawatan ini juga sama melelahkannya dengan pemanenan yang dilakukan laki-laki dan beresiko.
Selama mendampingi buruh-buruh perempuan TPOLS misalnya melihat bagaimana buruh perempuan harus berjalan kaki dan bolak balik mengisi jeriken berisi 15 liter racun atau menebarkan 600 kilogram (15 – 16 karung) pupuk dengan medan tempuh sekitar 3 sampai 4 hektar per harinya. Medan ini pun tidak selalu datar sehingga membuat tenaga yang dikeluarkan oleh buruh perempuan juga semakin banyak.
Buruh perempuan yang tiap hari terpapar bahan-bahan kimia beracun ini pula juga akhirnya rentan mengalami berbagai masalah kesehatan. Pada jangka pendek, buruh perempuan dapat mengalami gejala keracunan seperti pusing, mual, dan gatal. Dalam jangka panjang, racun berisiko menumpuk di tubuh menjadi karsinogenik (pemicu kanker) dan membahayakan organ tubuh lainnya seperti jantung, ginjal, dan sistem reproduksi.
Parahnya menurut pengakuan Federasi Serikat Buruh Kebun Sawit (FSBKS) Kalimantan Barat dikutip dari Harian Kompas dengan resiko sebesar ini masih mencatat sejumlah perempuan buruh tidak mendapat alat pelindung diri (APD). Buruh akhirnya membeli APD secara mandiri. APD itu pun harus dibawa pulang ke rumah karena tidak ada fasilitas penyimpanan APD dan tempat pembilasan layak di sekitar lokasi kerja.
Di saat bersamaan, tak ada fasilitas pemeriksaan kesehatan secara berkala bagi pekerja. Jika ada, hasil pengecekannya kerap kali tidak diberikan yang membuat para buruh tidak mengetahui kondisi kesehatan mereka.
Sedangkan dalam laporan TPOLS berjudul Menjalar dalam Diam: Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Perkebunan Sawit dinyatakan sekalipun buruh perempuan diberikan APD, APD yang diberikan tidak sesuai dengan lingkungan kerja mereka yang panas. Rembesan air racun kerap kali menembus masuk celemek dan pakaian, mengaliri punggung dan tangan. Kondisi ini menjadikan keringat bercampur dengan bahan aktif herbisida yang memicu alergi. Tidak jarang kondisi ini menyebabkan gatal dan panas di permukaan kulit.
Baca juga: Rancangan Perda Anti-LGBT: Lagu Lama di Musim Pemilu
TPOLS kemudian mencocokkan keluhan sakit buruh perempuan penyemprot dan pemupuk dengan temuan penelitian terdahulu yang dilakukan Tenaganita (Tenaganita & Pesticide Action Network (PAN) Asia and the Pacific, 2002). Hasilnya, seluruh buruh penyemprot diduga kuat mengalami gejala keracunan organofosfat skala ringan sampai sedang.
Nurul, 53, adalah salah satunya. Sebagai seorang buruh penyemprot selama 10 tahun terakhir, Nurul mengalami keluhan kondisi sakit kepala yang parah setelah menyemprot herbisida. Selama bekerja, menempuh berbagai pemeriksaan kesehatan di klinik perusahaan dan Puskesmas hanya membuahkan obat-obatan analgesik seperti parasetamol tanpa ada diagnosis spesifik mengindikasikan adanya penyakit bawaan dan alergi. Lambat laun, kondisi pusingnya menjadi lebih parah ketika menyemprot pestisida lebih dari 3 jam.
Ia sudah sering mengeluhkan kondisinya pada kawan-kawan dan mandor, tapi keluhannya tidak berbuah apa-apa. Nurul akhirnya putus melakukan pengecekan lebih lanjut dan memutuskan untuk mengonsumsi tablet china, Oskadon, dan minuman penyegar, seperti Extra Joss dan Kratingdeng.
Selain keracunan, buruh di perusahaan A mengungkapkan jadwal menstruasi yang tidak teratur merupakan hal yang wajar bagi perempuan di kebun.
“Kombinasi antara terkena paparan bahan kimia, beban kerja yang tinggi, dan stress karena beban ganda kata Rizal jadi dugaan kuat kenapa gangguan menstruasi itu irregular ini umum terjadi di antara para buruh perempuan,” ungkap Rizal.
Dengan segudang masalah yang dalam industri perkebunan sawit, Rizal pun mengungkapkan dibandingkan memperluasnya pemerintah harus lebih dulu membenahi regulasi ketenagakerjaan terlebih dahulu. Ia misalnya mengungkapkan harus ada perombakan bahkan pencabutan UU Cipta Kerja (Ciptaker).
“UU ini memungkikan kondisi kerja yang buruk, hubungan kerja kontraktual tidak permanen diperbolehkan, pengupahan satuan hasil dan waktu harian diperbolehkan dan ini yang banyak rugikan buruh perempuan. Ini sih yang harus dirombak, dicabut,” sebutnya.
Kedua, perlindungan buruh perlu didorong bersamaan dengan pengakuan terhadap kerja-kerja buruh perempuan sendiri. Ia mencontohkan bagaimana lembaga non-pemerintah seperti Sawit Watch mendorong disahkannya dalam RUU tentang Buruh Pertanian/Perkebunan. Regulasi ini nantinya dapat menjamin kepastian kerja, sistem pengupahan layak, jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan, mekanisme perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja (K3), serta perlindungan terhadap kebebasan berserikat.
Sedangkan menurut Roni, lebih realistis bagi pemerintah untuk mulai melakukan hilirisasi perusahaan (Downstreaming Company Role). Peran dari perusahaan perkebunan diarahkan pada industri pengolahan.
“Yang tadinya jual minyak mentah, jadi setengah jadi ke India, Pakistan, ke Uni Eropa. Lalu yang tadinya perusahaan menguasai (produksi) dari hulu ke hilir direkonstruksi menjadi sektor hilir. Masyarakat seperti petani dan masyarakat adat sebaliknya berperan di sektor hulu,” sebutnya.
Dengan skema ini kata Roni, tanah-tanah yang telah dirampas perusahaan dan dilegitimasi oleh negara bisa dikembalikan untuk kemudian dikelola kembali oleh masyarakat. Pada gilirannya hak masyarakat atas tanah (Community Rights to Land) akan terpenuhi. Pembangunan perkebunan tidak lagi diarahkan untuk mengakumulasi tanah, penguasaan dan penggunaan tanah tidak hanya untuk perusahaan, namun diarahkan untuk menguatkan hak masyarakat atas tanahnya melalui penggunaan dan penguasaan secara komunal.