Gagal Terus, Kenapa Prabowo Tak Kapok Bikin ‘Food Estate’?
Dari zaman Soeharto, proyek swasembada pangan berbasis pertanian ‘food estate’ selalu gagal total. Ketimbang belajar dari kegagalan, Prabowo justru berambisi melanjutkan.
Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka resmi menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI, (20/10) kemarin. Dalam pidato kenegaraan perdana usai dilantik, Prabowo menjanjikan sejumlah hal, salah satunya swasembada pangan.
“Karena itu tidak ada jalan lain, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya kita harus mencapai ketahanan pangan, kita harus mampu memproduksi dan memenuhi kebutuhan pangan seluruh rakyat Indonesia,” ujar Prabowo, dikutip dari laman Sekretariat Kabinet RI.
Ketua Umum Gerindra itu berjanji, dalam waktu empat hingga lima tahun ke depan, Indonesia bisa berdikari memenuhi kebutuhan pangan sendiri. Alasannya, negara ini terlalu bergantung pada negara lain di tengah centang perenang politik global sekarang.
Karena itulah, setelah mempelajari rencana besar swasembada pangan bersama para pakar, ia yakin di bawah kepemimpinannya, Indonesia siap jadi lumbung pangan dunia.
Baca Juga: Kenapa Banyak Mahasiswa Pertanian Tak Ingin Jadi Petani?
Rencana Ambisius dengan Rekor Buruk
Janji ambisius Prabowo terkait swasembada pangan enggak realitis, kata Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa. Dalam wawancaranya bersama VOA Indonesia, Dwi mengungkapkan rencana tersebut hampir pastikan tidak akan tercapai dalam kurun waktu lima tahun. Sebab, hampir seluruh konsumsi pangan pokok masyarakat Indonesia sangat bergantung pada impor.
Ia mencontohkan konsumsi pangan berbasis gandum, seperti roti dan mi instan saja mencapai 28 persen. Semua itu dipenuhi dari kuota impor. Sementara, pengganti gandum adalah beras yang celakanya juga sangat bergantung pada impor, mengingat produksi beras selama satu dekade terakhir turun.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kegiatan impor beras ke Indonesia masih tinggi hingga Mei 2024. Bahkan menurut data BPS, pada periode Januari-Mei 2024 impor beras ke Indonesia meningkat 165,27 persen dari posisi data pada Januari-Mei 2023 sebanyak 854 ribu ton, menjadi 2,2 juta ton pada periode Januari-Mei 2024.
“Jadi kalau mimpi swasembada pangan, itu ya jauh panggang daripada api. Bagaimana menggantikan 28 persen pangan pokok, digantikan beras, padahal produksi beras juga menurun. Pangan lokal juga sama sekali hilang walaupun ada ya kecil-kecil produksinya seperti sagu, sorgum. Jadi kalau ingin mencapai swasembada pangan dalam lima tahun? Ya jawabannya pasti tidak mungkin,” ungkap Dwi.
Tak cuma soal ketergantungan, rekam jejak swasembada pangan tak menunjukkan pencapaian menggembirakan. Masalahnya, pemerintah Prabowo-Gibran enggan belajar dari masa lalu.
Di era Presiden Soeharto, kegagalan swasembada pangan bisa ditelusuri lewat Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektare (Mega Rice Project) di Kalimantan. Dikutip dari laporan Pantau Gambut pada 2021 berjudul Food Estate Kalimantan Tengah, Kebijakan Instan Sarat Kontroversi, Soeharto mencanangkan proyek seluas 1.385.280 hektare sebagai respons terhadap melonjaknya impor beras Indonesia pada 1993. Ia menargetkan produksi beras tahunan hingga 2,7 juta ton per tahun dengan target pencetakan sawah seluas 1,45 juta hektare.
Sayangnya capaian proyek ini berada di bawah target. Hanya sekitar 110 ribu hektare lahan yang terealisasi. Bahkan, proyek ini dicurigai mengalami kerugian keuangan negara yang mencapai Rp1,97 triliun.
Tak cuma target produksi yang enggak terpenuhi, bencana ekologi datang menghampiri. Jenny Goldstein dalam Carbon Bomb: Indonesia’s Failed Mega Rice Project (2016) mengungkapkan, api membakar 730.000 hektare area hutan Indonesia atau seluas 11 kali Provinsi Jakarta pada 1997–1998. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menimbulkan asap pekat yang bergerak liar menyelimuti sebagian besar Pulau Kalimantan, Sumatera, dan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Filipina, Sri Lanka, hingga Australia. Kebakaran ini membuat lahan jadi terbengkalai dan kini beralih fungsi menjadi perkebunan sawit milik sembilan korporasi besar.
Kegagalan bertubi-tubi lain juga dialami Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat meluncurkan proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Proyek ini bertujuan untuk menjamin swasembada Indonesia dalam hal pangan dan energi.
Dalam riset kolaborasi beberapa NGO lingkungan berjudul Menelan Hutan Indonesia (2021) MIFEE dinyatakan sebagai proyek yang sangat Jawasentris. Proyek ini menciptakan lahan pertanian penghasil beras, tebu, dan minyak sawit yang semuanya digunakan untuk penduduk Jawa, alih-alih masyarakat Papua yang lahannya dikeruk habis-habisan. Alhasil, masyarakat Papua yang sehari-hari makan sagu, jadi kehilangan sumber pangan utamanya.
“Sembilan tahun setelah peluncuran, proyek “MIFEE” pun hampir tidak menghasilkan pangan atau energi. Hal ini merupakan taktik dangkal yang telah merampas dan membuka lahan untuk penebangan, atau mengkonversi menjadi perkebunan sawit atau akasia serta mengakselerasi industri ekspor lainnya,” tulis riset itu.
Jokowi sayangnya ikut meneruskan proyek gagal ini lewat pengembangan lumbung pangan nasional atau lebih dikenal dengan “Food Estate”. Dengan menunjuk Prabowo sebagai leading sector-nya, pada 2020, Food Estate yang merupakan bagian dari proyek Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk mengantisipasi krisis pangan di Indonesia akibat pandemi Covid-19, resmi diluncurkan.
Proyek tersebut didukung oleh Undang-undang Cipta Kerja yang mengamanatkan menteri/ kepala lembaga, gubernur dan bupati /wali kota untuk memberikan perizinan dan non-perizinan yang diperlukan dalam pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Celaka dua belas, baru satu tahun berjalan, proyek Food Estate sudah amsyong total. Pantau Gambut dalam laporan terbaru mengutip data Kementerian Pertanian RI pada 2021 yang menunjukkan, hasil intensifikasi sawah tidak produktif di Kalimantan Tengah hanya mencapai 3,5 ton Gabah Kering Giling (GKG) per hektare.
Padahal, panen padi idealnya menghasilkan minimal 4 ton per hektare Selain padi, Pantau Gambut juga menemukan, umbi singkong yang ditanam untuk Food Estate di Desa Tewai Baru, Gunung Mas, berukuran kecil menyerupai wortel, berwarna kuning seperti kunyit, dan rasanya pahit. Ini mengindikasikan adanya kandungan sianida yang tinggi dalam panen umbi singkong.
Gagal panen Food Estate lalu diperparah dengan alih fungsi lahan menjadi sawit. Pantau Gambut menemukan, area yang digadang-gadang bisa mencukupi kebutuhan pangan, justru ditumbuhi tanaman sawit milik perusahaan. Di antaranya adalah Desa Palingkau Jaya, Desa Palingkau Asri, dan Desa Tajepan yang dibuka pemerintah pada 2022 tapi berujung dibeli oleh PT Wira Usahatama Lestari (WUL) melalui salah satu perangkat desa yang saat itu masih menjabat.
Sangat tipikal pemerintah di mana di setiap penggusuran, ada intimidasi aparat dengan kekerasan.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih dalam wawancaranya bersama BBC Indonesia menambahkan poin kegagalan Food Estate era Jokowi. Menurutnya, pada masa pemerintahan Jokowi, terjadi konversi secara besar tanah-tanah pertanian yang subur ke sektor non-pangan. Dia mencontohkan pembangunan bandara di Majalengka, Yogyakarta, hingga pemukiman di Tangerang. Proyek-proyek tersebut telah menggerus lahan penghasil pangan dalam jumlah yang besar.
“Sepanjang Jokowi berkuasa selama sepuluh tahun itu hampir 1,5 juta hektare tanah terkonversi dari lahan pertanian ataupun sawah ke non-sawah. Pemerintahan Prabowo harus mencegah konversi lahan pertanian,” katanya.
Karena salah satu kesulitan petani produksi sekarang adalah harga sewa tanah yang mahal dan lahan yang semakin menyempit, maka semakin bertambah juga petani gurem (petani yang memiliki atau menyewa lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar). Jumlahnya kini telah mencapai 16 juta orang.
Baca Juga: 6 Catatan Pelantikan Prabowo: Janji Manis, Kementerian HAM, hingga Bobby Kucing
Kebohongan Janji dari Rakyat untuk Rakyat
Dalam mendorong proyek swasembada pangan, pemerintah selalu berdalih itu akan menguntungkan masyarakat Indonesia. Pemerintah menjanjikan masyarakat Indonesia bisa mandiri dan tidak perlu bergantung pada negara lain untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Sementara di lapangan, proyek swasembada pangan justru menggerus habis hak-hak masyarakat adat yang seharusnya dilindungi.
Baru-baru ini media sosial Instagram dan X dipenuhi dengan sosok Yasinta Moywen. Ia datang jauh-jauh ke Jakarta dari Papua Selatan bersama kawan-kawan yang tergabung dalam Solidaritas Merauke untuk mendesak pemerintah menghentikan program Food Estate di Merauke. Dalam keterangannya yang diunggah oleh akun X Lembaga Hukum Masyarakat (LBH) Papua, proyek itu berlangsung tanpa ada ada sosialisasi dan konsultasi untuk mendapatkan kesepakatan persetujuan masyarakat adat.
Dalam hal ini, PT Jhonlin Group yang punya afiliasi kuat dengan Jokowi, bertanggung jawab dalam menggusur hutan adat, dusun, dan tanaman-tanaman warga tanpa izin.
“Pt Jhonlin group menggusur hutan kami tanpa izin dari kami. Jadi kami kehilangan dusun, makan, minum, hewan-hewan yang ada di hutan kami,” sebutnya.
Dalam laporan Betahita dinyatakan, pada Juli 2024, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menerbitkan persetujuan penggunaan kawasan hutan lindung untuk dapat dikonversi di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, yang berlokasi di Distrik Ilwayab, Ngguti, Kaptel dan Muting, Kabupaten Merauke.
Aparat keamanan pun diturunkan untuk mengawal proyek yang jadi bagian tanggung jawab Jhonlin Group. Panglima TNI salah satunya sampai mengeluarkan kebijakan pembentukan dan penambahan lima Batalyon Infanteri untuk mendukung program ketahanan pangan di Papua. Sangat tipikal pemerintah di mana di setiap penggusuran, ada intimidasi aparat dengan kekerasan.
Selanjutnya aktivitas penggusuran dan perusakan sumber hidup masyarakat adat dilakukan. Hutan adat, dusun, rawa dan tanah-tanah keramat, yang dikelola dan dilindungi masyarakat adat habis dibabat. Juru Bicara Solidaritas Merauke dan aktivis LBH Papua Pos Merauke, Teddy Wakum, dalam Betahita menyebutkan, prinsip dan ketentuan pembangunan berkelanjutan sebenarnya mewajibkan perencana dan pelaksana pembangunan memiliki dokumen lingkungan, melaksanakan kajian penilaian kawasan bernilai konservasi tinggi dan penilaian ketersediaan karbon tinggi, serta menerapkan prinsip FPIC (Free Prior Informed Consent). Namun, hal krusial dalam proyek Food Estate justru dikesampingkan dan malah mendorong etnosida yang semakin membuat masyarakat Papua tersingkir secara ekonomi, budaya, dan sosial.
“Proyek PSN Merauke harus dihentikan karena melanggar konstitusi dan peraturan yang berkenaan dengan hak hidup, hak masyarakat adat, hak atas tanah, hak bebas berpendapat, hak atas pembangunan, hak atas pangan dan gizi, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta prinsip tujuan pembangunan berkelanjutan,” ucap dia.
Kegagalan Food Estate yang berdampak kuat pada lingkungan serta peminggiran masyarakat adat, memperlihatkan bagaimana proyek ambisius ini sudah seharusnya dievaluasi bahkan menurut Henry Saragih tidak dilanjutkan. Ia menggarisbawahi pentingnya model pertanian kerakyatan yang fokus pada para petani. Pertanian kerakyatan, menurut Henry, menjadi pilar penting dalam mencapai swasembada pangan hingga ketahanan pangan lantaran nasib petani berada dalam jerat kemiskinan.
Baca juga: Skenario Terburuk Jika Prabowo Menang Jadi Presiden RI
Hal selanjutnya yang perlu dilakukan adalah melaksanakan sistem pertanian agroekologis. Salah satunya adalah dengan mengembangkan pupuk organik dibanding kimia yang harganya semakin mahal. Upaya penting lain adalah mengembangkan koperasi-koperasi petani di tingkat bawah dan tak kalah pentingnya pemerintah harus mencegah korporasi besar menguasai lahan hingga rantai pasok produk pertanian. Penguasaan lahan secara besar ini begitu tercermin dari Food Estate.
“Modelnya bukan food estate karena sama saja dengan plantation estate yang sudah ada sejak zaman kolonial. Jadi modelnya lebih ke memaksimalkan pertanian rakyat dan koperasi-koperasi petani yang dikembangkan, bukan malah korporasi besar,” tutupnya kepada BBC Indonesia.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari