Election 2024 Issues Politics & Society

Perempuan di Kabinet Merah Putih: Tak Sekadar Jumlah, Tak Sekadar Pemanis

Cuma segelintir perempuan yang menjabat sebagai menteri di Kabinet Merah Putih Prabowo. Representasi minim ini kian mengkhawatirkan jika tak dibarengi program responsif gender.

Avatar
  • October 25, 2024
  • 4 min read
  • 849 Views
Perempuan di Kabinet Merah Putih: Tak Sekadar Jumlah, Tak Sekadar Pemanis

Saat partisipasi perempuan politisi meningkat di Parlemen RI, penurunan signifikan justru tampak dalam pemerintahan eksekutif. Di Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran misalnya, jumlah perempuan juga minim.  

Dari total 104 nama yang tergabung dalam posisi menteri dan wakil menteri, cuma ada 13 perempuan yang mengisi kursi kabinet, 5 menteri, 8 wakil menteri. Mereka tersebar di Kementerian Keuangan, Kementerian Komunikasi dan Digital, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Pariwisata, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.  

 

 

Databoks mencatat, jumlah perempuan dalam Kabinet Kerja periode pertama Jokowi sebanyak delapan orang, dengan proporsi 23 persen dari keseluruhan jumlah kementerian. Sementara jika dibandingkan dengan Kabinet Merah Putih, persentase mereka sekadar 13,8 persen. 

Baca juga: Agar Inklusi Perempuan di Pembangunan Tak Jadi Jargon Basi

Kenapa Kita Butuh Lebih Banyak Perempuan dalam Kabinet? 

Minimnya representasi perempuan bakal menghambat terbentuknya kebijakan yang responsif gender. Hal ini dibuktikan dalam riset Westminster Foundation for Democracy (WFD). Mereka menemukan, kepemimpinan perempuan terbukti bisa menciptakan kebijakan yang memprioritaskan isu-isu bermanfaat, komprehensif, dan inklusif bagi kelompok rentan, termasuk perempuan. 

Putusan yang komprehensif dan inklusif sendiri punya peran besar pada perencanaan anggaran yang responsif gender. Mengutip Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA), anggaran yang responsif gender adalah perencanaan bujet yang memastikan alokasi sumber daya keuangan publik untuk dimanfaatkan secara efektif, dan meningkatkan kesetaraan gender serta pemberdayaan perempuan. Tanpa keterwakilan pemimpin perempuan yang tepat, hal ini membuat cita-cita tersebut akan sulit tercapai.  

“Kalau kita tidak punya pemimpin perempuan yang bisa perhatikan hal-hal tersebut (inklusivitas), yang menyampaikan aspirasi masyarakat, bagaimana kita bisa percaya kalau mereka (pemerintah) bisa membuat program-program yang betul-betul punya anggaran responsif gender?” jelas Rizqika Arrum, Peneliti Seknas FITRA, (18/10).  

Program responsif gender sendiri penting, mengingat jumlah perempuan Indonesia hampir setengah dari total penduduk, dan kemiskinan masih jadi persoalan besar. Dari pengalaman Seknas FITRA mendampingi perempuan miskin kota dan pesisir ditemukan, akses program dan bantuan pemerintah belum sepenuhnya merata. Karena itu, peran pemimpin perempuan dalam pemerintahan jadi kunci yang menentukan nasib perempuan ke depan.  

Baca juga: 6 Catatan Pelantikan Prabowo: Kabinet Gemuk, Kementerian HAM, hingga Bobby Kucing

Banyak Saja Tak Cukup 

Nyatanya, angka bukan jadi satu-satunya patokan dalam mengukur kiprah perempuan. Menurut Arrum, latar belakang dan sensitivitas gender perempuan yang duduk di kursi menteri juga jadi persoalan krusial. 

“Jadi sebenarnya yang ditekankan itu bukan soal keterwakilan saja, tapi juga kehadiran pemimpin perempuan yang betul-betul mumpuni, yang betul-betul bisa menampung aspirasi masyarakat, dan membuat program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Walaupun dia perempuan, kalau dia tidak punya sensitivitas, sama saja bohong. Karena nanti kebijakan yang dia ciptakan itu tidak berpihak kepada kelompok rentan, tapi apa yang menurut dia benar saja,” imbuhnya. 

Kekhawatiran Seknas FITRA cukup valid saat melihat komposisi perempuan yang duduk di Kabinet Merah Putih. Mayoritas yang ditunjuk punya latar belakang “dekat dengan oligarki”. Dari pengamatan Seknas FITRA, mayoritas setidaknya memiliki privilese sebagai istri atau anak dari konglomerat, pun tokoh yang dekat dengan kekuasaan dan politisi partai besar. Hal ini dikhawatirkan, mereka tidak dapat mewakilkan suara perempuan dan kelompok rentan secara menyeluruh. 

“Jadi keterwakilan perempuan di sini bukan hanya dalam aspek numerik atau kuantitas, tapi juga keterwakilan pemimpin perempuan yang sungguh-sungguh dalam mewakilkan suara perempuan dan kelompok rentan. Itu yang jadi problemnya,” tuturnya. 

Baca juga: Minim Perempuan di Kabinet Merah Putih Prabowo, Apa Artinya?

Dalam “Politics of Presence?” (1995), Anne Phillips menjelaskan, perempuan politisi punya kelengkapan terbaik untuk mewakili kepentingan kelompoknya. Jika jumlah keterwakilan meningkat, otomatis kepentingan perempuan bakal semakin digaungkan. Hanya saja, sekadar jumlah tak akan cukup memastikan, apakah agenda politik bisa berubah jadi lebih mengarusutamakan perempuan. Butuh perempuan politisi dengan pemikiran progresif dan komitmen untuk menjadikan agenda perempuan sebagai prioritas. 

Pertanyaannya, agenda siapa yang para menteri perempuan ini bawa dalam Kabinet Merah Putih: Perempuan Indonesia atau para oligark yang mengusungnya? 



#waveforequality


Avatar
About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah pecinta kopi yang suka hunting coffee shop saat sedang bepergian. Gemar merangkai dan ngulik bunga-bunga lokal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *