Anak-anak Terlibat Masalah Hukum Pidana: Bagaimana Peran Sekolah?
Murid yang berkonflik dengan hukum dapat mengalami berbagai kerentanan yang menghambat mereka mendapatkan layanan pendidikan optimal.
Seorang peserta didik dapat melakukan tindak pidana. Studi Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) (2016) dan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA) (2020) yang mengulas putusan pengadilan tingkat pertama menunjukkan bahwa mayoritas anak yang melakukan tindak pidana, atau dikenal dengan anak yang berkonflik dengan hukum, memiliki status sebagai peserta didik.
Peserta didik yang berkonflik dengan hukum dapat mengalami berbagai kerentanan yang menghambat mereka dalam mendapatkan layanan pendidikan optimal.
Studi kami menemukan bahwa anak berstatus peserta didik yang berkonflik dengan hukum berisiko putus sekolah, dikeluarkan dari sekolah, atau mengulang di kelas yang sama pada tahun ajaran berikutnya. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Baca juga: Mereka yang Tersisih dari Bangku Sekolah di Mentawai
Minim Dukungan, Sarat Stigma
Data tahun 2021 se-Jawa Tengah, dari Balai Pemasyarakatan, unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang mengampu fungsi pendampingan bagi anak yang berhadapan dengan hukum, menunjukkan bahwa 45 dari 240 anak yang berkonflik dengan hukum mengalami putus sekolah karena dikeluarkan, diminta mengundurkan diri, dan mengundurkan diri karena alasan pribadi.
Peserta didik yang berkonflik dengan hukum memang rentan tidak mendapat layanan pendidikan selama mengikuti proses peradilan. Berdasarkan pemantauan yang dilakukan KPAI, dalam kasus AGH, ia tidak mendapatkan pendidikan selama ditahan oleh aparat penegak hukum di Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS).
Selain itu, peserta didik yang berkonflik dengan hukum juga rentan stigma negatif dari masyarakat. Dalam kasus RSE, misalnya, peserta didik pada Sekolah Menengah Pertama di Temanggung, Jawa Tengah, yang melakukan pembakaran fasilitas sekolah, mendapat stigma dari publik, termasuk dari pihak sekolahnya sendiri yang menyebut tindakan RSE sebagai bentuk ‘cari perhatian’. Padahal, Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Temanggung menyatakan bahwa tindakan RSE dilakukan akibat sakit hati karena perundungan dan tidak mendapat respon mumpuni dari gurunya.
Bagaimana Peran Sekolah?
Sektor pendidikan tidak boleh berdiam diri ketika mengetahui peserta didiknya berkonflik dengan hukum. Dari analisis studi yang kami lakukan, terdapat tiga rekomendasi dukungan yang dapat diberikan sekolah:
Pertama, sekolah sebaiknya tidak mengeluarkan peserta didik selama mengikuti proses peradilan. Sebuah studi menunjukkan bahwa ketika sekolah menjadikan keterlibatan dalam sistem peradilan sebagai alasan untuk mengeluarkan peserta didik, hal tersebut justru membuat peserta didik enggan berpartisipasi kembali ke layanan pendidikan.
Sekolah juga dapat mengidentifikasi faktor potensial yang dapat mendorong peserta didik mengundurkan diri dari sekolah, baik dari keluarga, lingkungan sosial, sampai masyarakat umum. Dengan mengetahui hal tersebut, sekolah dapat melakukan edukasi kepada peserta didik dan orang tua/wali untuk tidak mengundurkan diri selama mengikuti proses peradilan.
Baca juga: Sekolah Anak Korban Perceraian Bermasalah? Salahkan Saja Ibunya
Kedua, sekolah dapat memberikan rekomendasi terkait pemberian layanan pendidikan selama mengikuti proses peradilan.
Rekomendasi tersebut disusun oleh kepala sekolah, wali kelas, serta guru bimbingan dan konseling dan berisi rencana penyesuaian kegiatan belajar mengajar peserta didik sesuai kebutuhan peserta didik dan kapasitas sekolah. Sekolah dapat menyampaikan rekomendasi ini melalui dua jalur, yaitu melalui musyawarah diversi atau pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana dan penelitian kemasyarakatan.
Untuk jalur pertama, Undang-Undang (UU) 11/2012 dan Peraturan Pemerintah (PP) 65/2015 mengatur diversi sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana melalui musyawarah antara anak, korban/anak korban, orang tua wali, pembimbing kemasyarakatan, aparat penegak hukum, dan pekerja sosial dari tahap penyidikan sampai persidangan.
Regulasi tersebut turut mengatur agar guru menjadi pihak yang terlibat dalam musyawarah diversi selama dikehendaki oleh anak maupun orang tua/wali. Apabila dilibatkan, guru dapat berperan aktif dalam musyawarah diversi untuk advokasi keberlanjutan terkait pemberian layanan pendidikan bagi peserta didik berdasarkan rekomendasi yang telah disusun.
Untuk jalur keterlibatan kedua, sekolah dapat memberikan rekomendasi yang telah disusun kepada pembimbing kemasyarakatan pada balai pemasyarakatan (PK Bapas) sebagai masukan untuk menyusun penelitian kemasyarakatan.
Baca juga: Sulitnya Anak Buruh Migran Sekolah di Malaysia, Apa Kendalanya?
UU 11/2012 menyebutkan bahwa penelitian kemasyarakatan berisi data terkait latar belakang serta rekomendasi untuk anak yang berkonflik dengan hukum, termasuk aspek pendidikannya.
Selama menyusun penelitian kemasyarakatan, PK Bapas akan melakukan pengumpulan data dan informasi terkait anak. Dalam proses tersebut, sekolah dapat mengajukan diri sebagai pihak pemberi data dan informasi mengenai pendidikan anak. Data dan informasi ini dapat digunakan oleh aparat penegak hukum untuk memastikan keberlanjutan pendidikan anak selama mengikuti proses peradilan dan menjalani putusan pengadilan.
Ketiga, sekolah dapat menyesuaikan pemberian layanan pendidikan selama peserta didik mengikuti proses peradilan dan menjalani putusan pengadilan.
Dalam tahap ini, sekolah mengimplementasikan rencana penyesuaian kegiatan belajar mengajar peserta didik sesuai rekomendasi yang telah dikomunikasikan ke aparat penegak hukum. Seperti misalnya, mengubah metode pembelajaran menjadi daring, memberikan tugas tambahan di luar kelas, hingga menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan peserta didik selama menjalani penyesuaian kegiatan belajar mengajar.
Kemudian, apabila peserta didik menjalani putusan pengadilan yang berisi pemenjaraan, sekolah dapat berkoordinasi dengan dinas pendidikan dan lembaga pemasyarakatan tempat peserta didik ditahan untuk memastikan penyediaan layanan pendidikan alternatif di lembaga pemasyarakatan.
Dukungan Sekolah Kurangi Risiko di Masa Depan
Studi kami menemukan bahwa beragamnya jangka waktu anak berada di lembaga pemasyarakatan menyulitkan mereka berpartisipasi dalam pendidikan formal. Alhasil, anak harus dialihkan ke pendidikan non-formal. Pada praktiknya, pengalihan tersebut sering menemui kendala ketika anak tidak membawa data administratif pendidikan yang dibutuhkan.
Untuk mengatasi kendala tersebut, sekolah dan dinas pendidikan dapat memberikan data administratif pendidikan peserta didik. Data ini digunakan untuk proses pemindahan peserta didik ke layanan pendidikan yang tersedia di lembaga pemasyarakatan.
Berbagai upaya tersebut dimaksudkan agar sekolah tidak serta merta mengeluarkan peserta didik sekaligus memastikan dukungan layanan pendidikan selama peserta didik mengikuti proses peradilan dan menjalani putusan pengadilan. Riset membuktikan bahwa akses layanan pendidikan dapat membuat anak mendapatkan hidup yang lebih baik, khususnya mengurangi risiko pelanggaran hukum di masa depan dan mendorong proses reintegrasi ketika anak kembali ke masyarakat.
Hario Danang Pambudhi, Research and Advocacy Officer, PUSKAPA dan Ryan Febrianto, Senior Strategist, PUSKAPA
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.