Issues Politics & Society

Ujaran Kebencian, Ancaman Kekerasan: Intimidasi pada Perempuan yang Melawan

Perempuan yang berbicara lantang menghadapi serangkaian intimidasi, mulai dari ujaran kebencian hingga ancaman kekerasan. Apa yang bisa dilakukan untuk meminimalkan dampaknya?

Avatar
  • November 13, 2024
  • 4 min read
  • 685 Views
Ujaran Kebencian, Ancaman Kekerasan: Intimidasi pada Perempuan yang Melawan

Dari aktivis sampai jurnalis, ibu rumah tangga maupun mahasiswa, perempuan rentan menghadapi serangkaian intimidasi dan ancaman kekerasan saat melakukan protes atau perlawanan.

Contoh terbaru terjadi bulan lalu (31/10) terhadap Tuffahati Ulayyah, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga di Surabaya. Ia mendapat perundungan daring usai memimpin aksi protes terhadap pemerintah lewat karangan bunga duka cita berisi pesan satire saat pelantikan presiden. Akun media sosial Tuffahati sontak dibanjiri hujatan bernada bodyshaming, pelecehan seksual, sampai ancaman pemerkosaan yang masuk ke pesan pribadinya.

 

 

Hal serupa juga terjadi (lagi) pada perempuan jurnalis ternama, Najwa Shihab, setelah ia mengkritik mantan presiden Joko Widodo “nebeng” pesawat militer saat pulang ke Solo. Najwa juga menghadapi banyak serangan di media sosial, termasuk ujaran bersifat rasis, dan yang paling extra adalah aksi pembakaran buku Catatan Najwa yang ditulisnya, yang disiarkan di TikTok.

Sayangnya, ujaran kebencian sampai ancaman kekerasan, baik daring maupun secara fisik, adalah hal yang umum terjadi pada perempuan aktivis dan mereka yang berani mengungkapkan protes serta kebenaran. Aktivis perempuan Kate Walton mengatakan, aktivis hak-hak prempuan kerap mendapatkan ancaman secara daring, mulai dari pemerkosaan hingga pembunuhan, dan data-data pribadi mereka sering disebar untuk menguatkan ancaman.

“Kami secara pribadi dan komunitas JFDG (Jakarta Feminist Discussion Group) kerap mendapatkan ancaman dan perkataan yang tidak pantas di media sosial,” ujarnya dalam sebuah diskusi beberapa waktu silam, seperti dilansir oleh laman Fisipol UGM.

Ancaman dan intimidasi terhadap perempuan yang melawan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan secara global. Di Thailand, misalnya, aktivis perempuan dan anggota kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) yang aktif menyuarakan isu kemanusiaan menghadapi pengintaian, yang ditengarai oleh Amnesty International didanai oleh pemerintah. Seperti juga di Indonesia, beberapa aktivis di sana mengalami doxing, yakni pengungkapan dokumen atau detail pribadi atau identitas seseorang tanpa persetujuan mereka.

Baca juga: KBGO pada Jurnalis Tajam ke Perempuan dan Gender Minoritas: Tips Jaga Diri karena Sistem Jelek

Mendapatkan Ancaman Kekerasan untuk Dibungkam

Perempuan yang mengalami kekerasan berbasis gender online (KBGO) cenderung menjadi lebih berhati-hati dalam mengekspresikan pendapat mereka di media sosial. Akademisi Marjan Nadim dan Audun Fladmoe dari Institute for Social Research di Oslo, Norwegia, meneliti hal ini yang ditulis dalam artikel bertajuk “Silencing Women? Gender and Online Harassment” (2019). KBGO dapat terjadi pada siapa saja, tulis mereka, namun kenyataannya, dampak buruk lebih terasa pada kelompok perempuan. Ancaman sampai pelecehan yang dilakukan secara daring sangat menghambat perempuan untuk bersuara, terutama di ruang-ruang digital.

Sebagai sebuah refleksi dari dunia nyata, dunia digital memuat iklim patriarkal yang sering kali berujung pada peminggiran perempuan. Pada konteks ancaman dan kekerasan berbasis gender online yang kerap terjadi pada aktivis perempuan, hal ini merupakan sebuah hasil dari internalisasi nilai-nilai tersebut. Iffat Jahan Antara, peneliti BRAC Institute of Governance and Development, dalam hasil risetnya, “Online violence against women–a weapon used to silence and degrade”, menyebutkan bahwa ujaran kebencian dan pelecehan yang sering dilontarkan pada aktivis perempuan merupakan upaya delegitimasi terhadap sosok perempuan. Hal ini berkaitan dengan standar yang salah terkait siapa yang dianggap cukup “kredibel” untuk berbicara tentang isu kemanusiaan. Perempuan dianggap tidak pantas untuk hal itu.

Pelaku pemberi ancaman dan kekerasan sangat menyadari dampak perilakunya terhadap perempuan. Dari laman Centre for International Governance Innovation, disebutkan bahwa perilaku yang dilakukan secara sadar ini memang ditujukan untuk mendiskreditkan, mematahkan semangat, dan juga membungkam perempuan. Pada akhirnya, perempuan pun sering terjebak dalam stigma bahwa perempuan tidak pantas melawan, atau bahkan, perempuan tidak cukup cerdas untuk memberi kritik.

Baca juga: Neraka Jurnalis Perempuan: Kena KBGO, Tak Dilindungi Perusahaan Media

Perempuan Harus Tetap Melawan

Meskipun penuh dengan tantangan, kritik, dan juga perlawanan, perempuan tetap menjadi aktor penting untuk mewujudkan keadilan. Canadian Women’s Foundation menyebutkan, suara perempuan sangat diperlukan guna mempertahankan posisi kita dalam masyarakat. Tidak ada yang boleh membiarkan suara perempuan terabaikan begitu saja.

Dalam hal menghadapi KBGO, seperti yang pernah ditulis dalam artikel “KBGO pada Jurnalis Tajam ke Perempuan dan Gender Minoritas: Tips Jaga Diri karena Sistem Jelek”, ada beberapa tips untuk meminimalisir dampak terjadinya KBGO. Hal ini dapat dilakukan untuk menjaga keamanan diri, khususnya di ruang digital.

Pertama, bergabunglah dengan komunitas tertentu. Hal ini penting untuk mendapat akses diskusi dan juga perlindungan kolektif dari komunitas. Ketika bergerak sendiri, aktivis perempuan cenderung kesulitan untuk memperoleh bantuan. Berjejaring bisa jadi solusi pertama yang dilakukan, agar aktivis perempuan senantiasa mendapatkan dukungan dan juga perlindungan secara kolektif.

Baca Juga: Pembekuan BEM FISIP Unair: Benarkah Orba ‘Season’ 2 Kembali?

Kedua, aturlah password akun secara bijak dan kuat. Dengan memberikan password yang lebih rumit dan tidak mudah tertebak, data pribadi akan jauh lebih aman ketimbang menggunakan password yang simple, seperti tanggal lahir, misalnya.

Ketiga, pisahkan akun pribadimu dengan akun kerja. Hal ini penting untuk memitigasi serangan online yang menyasar informasi pribadi. Dua gadget berbeda jauhlebih baik. Namun, apabila tidak memadai, memisahkan akun media sosial pribadi dan publik jadi langkah yang tepat dilakukan untuk meminimalkan serangan personal.



#waveforequality


Avatar
About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah pecinta kopi yang suka hunting coffee shop saat sedang bepergian. Gemar merangkai dan ngulik bunga-bunga lokal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *