Anggun dan Suara Langkah Misterius
Suasana rumah susun tak lagi sama setelah mayat Anggun, perempuan trans pemilik salon, ditemukan Selasa siang lalu.
Suasana rumah susun tak lagi sama setelah mayat Anggun ditemukan Selasa siang lalu. Bahkan Sabtu malam seperti sekarang terasa berbeda dari biasanya. Tak ada suara nyanyian dan genjrengan gitar sembarangan dari arah warung yang berada di dekat pintu utama. Tidak terdengar pula salakan satu dua anjing liar yang biasa berkeliaran di sekitar lapangan depan komplek rusun. Padahal waktu baru menunjukkan pukul 10 lewat sedikit. Bagi yang menempati unit di lantai dasar seperti aku, kesunyian ini terasa agak janggal.
Encik Veronica yang tinggal persis di unit sebelah Anggun adalah orang pertama yang menyadari bau tak sedap dari arah tempat tinggal tetangganya. Bersama warga lain dari satu blok yang sama, mereka mendobrak pintu unit Anggun karena aroma terasa semakin menyengat dan tak ada tanggapan dari sang pemiliknya setelah satu jam menunggu. Berdasarkan kesaksian dari beberapa orang yang pertama kali menemukan mayat, tubuh Anggun tak tertutupi sehelai benang sedangkan matanya melotot dan lidahnya menjulur keluar. Setelah polisi dan tim medis datang untuk melakukan penyelidikan, diketahui bahwa dia sudah mati tiga hari yang lalu.
Komplek rusun yang biasanya hanya dipenuhi berbagai remeh-temeh kehidupan sehari-hari kemudian berubah drastis. Tali berwarna kuning memagari Tempat Kejadian Perkara penemuan mayat. Beberapa petugas polisi kerap terlihat berlalu-lalang dari pagi hingga sore. Para penghuni turut dimintai keterangan, termasuk aku yang tinggal berbeda dua blok dari lokasi TKP.
Pihak penyidik memberikan beberapa pertanyaan seputar hubunganku dengan Anggun. Kebetulan aku memang beberapa kali sempat potong rambut atau keramas di salon kecil miliknya yang buka setiap akhir pekan. Setelah memberikan beberapa pertanyaan yang kujawab singkat, dia pamit undur diri.
Di malam hari, para penghuni tak lagi menghabiskan waktu duduk-duduk di warung depan lorong atau mampir ke rumah tetangga. Belakangan, beredar rumor yang membuat takut banyak orang: arwah Anggun gentayangan. Kabar ini diperkuat dengan pengakuan beberapa orang yang menjadi saksi.
“Sehari setelah mayat ditemukan, malamnya waktu saya duduk di depan lorong ada suara kletak-kletok seperti langkah seseorang yang pakai sepatu hak tinggi. Tapi saya tunggu lama kok nggak kelihatan orangnya, ya sudah langsung saja saya tutup pintu,” kata Pak Karmin yang tinggal di blok yang sama dengan Anggun.
Semua yang mengalami peristiwa aneh itu memiliki cerita serupa: suara langkah sepatu tanpa sosok pemiliknya. Orang-orang langsung mengaitkan misteri ini dengan Anggun. Ia memang gemar mengenakan sepatu hak tinggi, dan pada hari kerja ia biasa kembali ke rusun pada malam hari.
Setelah televisi kumatikan, kesunyian semakin terasa. Istriku Ratih sudah terlelap di atas pembaringan. Ia sempat bercerita bahwa hari ini bangsal rumah sakit tempatnya berjaga kedatangan banyak pasien. Ketika hendak beranjak menuju kamar, tiba-tiba terdengar suara dari arah luar. Suasana sepi membuat suara yang terdengar seperti ketukan itu lama-kelamaan terdengar semakin jelas. Apakah suara ini yang belakangan sering dibicarakan oleh warga?
Tok, tok, tok, tok, tok. Ya, memang terdengar seperti suara langkah seseorang yang mengenakan sepatu hak tinggi. Suara itu terasa begitu dekat, seperti berasal dari balik pintu. Di dalam kamar, kupeluk dari belakang tubuh istriku. Suara ketukan berulang itu masih terdengar. Kedua tanganku semakin erat memeluk tubuh di sampingku. Sebelum terlelap, sebuah pertanyaan sempat melintas dalam benak: apakah itu benar-benar suara langkah milikmu, Anggun?
***
“Kalau kamu jadi dapat tambahan mengajar di universitas lain, kita pindah saja. Lebih baik cari rumah kontrakan. Aku sudah tidak suka lingkungan rusun ini,” kata Ratih sambil mengisi kembali cangkir kosong di hadapanku dengan teh hangat.
“Apalagi polisi sudah bilang kalau Anggun dibunuh. Ini gila! Rusun di pinggiran Jakarta kok suasananya seperti di Bronx saja.”
Aku hanya bisa diam sambil berlagak sedang menyimaknya. Ia sedang resah, apalagi waktunya belakangan ini banyak dihabiskan di rumah sakit akibat wabah demam berdarah.
“Mungkin terdengar kurang berperasaan, tapi ini memang pengakuan dari sebagian ibu penghuni rusun. Mereka merasa lega karena Anggun sudah tidak ada,” kata Ratih lagi sambil membawa piring dan gelas kotor ke arah meja cuci piring.
“Kenapa mereka bisa sekejam itu?” tanyaku pada Ratih yang kemudian kembali duduk di hadapanku untuk menyantap sarapan paginya.
“Yah setidaknya mereka tidak lagi takut suami-suami mereka akan digoda oleh si banci kaleng. Kadang-kadang kalau ada suaminya yang potong rambut di salon Anggun, mereka sampai ikut mengantar. Biar tidak terjadi hal yang bukan-bukan.”
Nasi goreng di dalam mulutku tiba-tiba terasa hambar. Napsu makanku lenyap begitu saja. Ketika aku pamit untuk bekerja, Ratih hanya memandangku heran. Tapi tak lama mulutnya kembali bersuara.
“Aku ingin kita cepat pindah dari rusun ini.”
***
Anggun dibunuh oleh tetangganya sendiri, Koh Aseng, suami encik Veronica. Koh Aseng merasa tersinggung karena Anggun tidak mau diajak “main” untuk ketiga kalinya pada malam itu, saat istrinya sedang tak ada di rumah. Karena ia terus memaksa, Anggun lalu mengancam akan memberitahukan perbuatannya pada sang istri. Dengan penuh emosi, Koh Aseng mencekik sambil membenturkan berkali-kali kepala Anggun ke dinding.
Begitulah hasil penyelidikan polisi yang berakhir dengan penahanan sang pembunuh. Encik Veronica dikabarkan minggat ke rumah kerabatnya di luar kota untuk mengamankan diri dari cemoohan warga. Cerita ini aku dapatkan dari Mas Anto, pemilik warung depan rusun, ketika menikmati es kelapa muda jualannya sepulang dari universitas.
“Waktu ditanya-tanya polisi, kKh Aseng langsung ngaku kalau ia yang membunuh Anggun. Katanya, setelah malam pembunuhan, ia terus diteror oleh arwah Anggun. Ia selalu mendengar kletak-kletok suara langkah sepatu di depan rumahnya,” kata Mas Anto sambil berberes mengemas beberapa barang jualannya.
Ketika ditanya alasannya menutup warung lebih cepat, ia memberikan jawaban singkat. “Takut diteror arwahnya Anggun.”
“Saya heran, Koh Aseng kok bisa sekejam itu, sampai membunuh segala. Tapi seenggaknya laki-laki di sini sekarang sudah bisa merasa aman. Rahasianya akan tetap terjaga.”
Kata-kata dari pemilik warung itu membuat aku hampir tersedak oleh kulit kelapa.
“Kenapa begitu?” tanyaku kemudian.
“Yah kalau Anggun sudah tidak ada, tidak ada lagi yang bisa membuka rahasia mereka. Kamu juga bukannya beberapa kali main ke salonnya? Tahu sendiri kan, kalau dia mainnya enak. Walaupun teteknya bikinan, bisa juga jadi hiburan kalau sedang bosan sama istri,” jawabnya dengan wajah menyeringai.
Tiba-tiba aku merasa mual dan ingin memuntahkan es kelapa muda yang baru saja masuk ke dalam perutku.
***
Unitnya terpisah dua blok dari tempat tinggalku. Aku bisa saja melintasi dua lorong yang tidak terlalu panjang untuk bisa sampai ke tempatnya. Tapi itu biasa kulakukan pada malam hari saja. Di sore hari, apalagi di akhir pekan ketika sebagian besar warga memilih bersantai di depan unitnya atau sekadar membuka pintu dan jendela, sehingga aku lebih memilih rute memutar lewat lapangan belakang rusun. Dengan cara itu, setidaknya aku bisa menghindari beberapa pertanyaan basa-basi “mau ke mana?” dari warga yang kukenal.
Tapi untuk malam ini, aku memilih untuk melewati rute memutar lewat bagian belakang rusun untuk alasan sentimentil. Ada kalanya aku melintasi jalan di depan lapangan kecil tempat sebagian penghuni menjemur pakaiannya ini dengan diliputi letupan kegembiraan. Selalu ada perasaan tidak sabar untuk bisa bertemu dengannya, pada saat istriku sedang mendapat giliran jaga malam dan ia sedang tidak sibuk dengan laki-laki lain.
Di atas seprai kusutnya yang basah oleh keringat, kami biasa berbincang banyak hal. Dari soal kemenangan tim favoritnya, Manchester United, hingga puisi yang sedang dikaji dalam mata kuliah Kritik Sastra yang kuajar. Ia menggemari puisi-puisi Chairil Anwar. Dulu, ia sempat kuliah dua semester di Fakultas Sastra.
Suasana di lorong yang menjadi lokasi TKP terasa begitu sepi. Kudengar beberapa warga yang tinggal di lorong ini sudah pindah karena tidak tahan dengan teror suara kletak-kletok langkah sepatu yang muncul setiap malam. Masih ada tali pembatas berwarna kuning melekat pada pintu dan jendela unitnya. Di tanganku ada gulungan koran pagi tadi yang pada seksi olahraganya tertera keberhasilan tim Manchester United masuk babak final Liga Inggris. Sengaja kubawakan untuknya karena ia pasti melewatkan pertandingan yang berlangsung semalam.
Di antara lembaran kertas koran kuselipkan pula setangkai mawar, sebagai sebuah penghormatan terakhirku. Kumasukkan gulungan koran itu lewat celah bawah pintu masuk. Hanya ada sedikit orang yang bisa mengenal dekat sosoknya, dan aku beruntung bisa bersahabat dengannya. Ah, kalau aku sedang melankolis seperti ini, ia pasti akan meledek dengan celaan sok puitisnya. “Jangan suka bersedih. Nasib adalah kesunyian masing-masing[1],” itulah salah satu ucapannya yang masih kuingat.
Tiba-tiba terdengar suara aneh. Suara ketukan berulang-ulang. Tok, tok, tok, tok, tok. Seperti suara langkah seseorang yang mengenakan sepatu hak tinggi. Terdengar begitu jelas, seperti sumber suaranya berada di dekatku. Anggun, apakah itu kamu?
Dicky Zulkarnain adalah editor sebuah majalah gaya hidup khusus pria yang ada di Jakarta dan penata gaya paruh waktu. Cerita pendeknya yang berjudul “Obituarium Patah Hati” dipublikasikan oleh Media Indonesia pada Juli 2016. Tahun 2015 lalu, cerpennya yang berjudul “Purnama Pucat” dipublikasikan oleh Majalah Femina dan cerpen “Bibir No. 27” dipublikasikan oleh Media Indonesia.