Antara Beha dan WFH: Bebaskan!
Dikarenakan WFH, dengan tulus saya ucapkan selamat tinggal kepada beha.
Sudah hampir tiga bulan ini beha saya menumpuk manis di dalam lemari baju, dan saya belum terpikir untuk mengenakannya. Sejak kantor saya mengamanatkan para pekerja untuk bekerja dari rumah (working from home, WFH) rasanya tidak ada alasan bagi saya untuk memakai bra di rumah.
Banyak perempuan tahu bra bukanlah unit pakaian yang paling nyaman di dunia, terutama bagi yang ukurannya menengah ke atas (terakhir dicek, ukuran bra saya 36B). Betapa terkekangnya dada ini saat harus beraktivitas seharian memakai beha, belum lagi saat talinya nyelip, atau kaitan yang tiba-tiba copot di tengah jalan dan kita harus tetap bermuka datar dan tetap tenang sampai di kantor. Dan betapa plongnya saat kita sampai di rumah dan melepas beha tanpa harus membuka baju (trik yang dikuasai semua perempuan sedunia).
Bagi saya, tidak memakai bra adalah sebuah kebahagiaan yang hakiki. Tapi ibu saya sangat menentangnya. Sejak saya wajib pakai beha waktu remaja, dia konsisten mengingatkan untuk terus mengenakan beha, kalau tidak “tetek bakal memble dan enggak indah lagi.” Varian yang sering disebut lagi adalah tetek turun atau ngondoy. Hmm, apa salahnya kalau tetek ngondoy? Bukannya memang alami seperti itu akibat tarikan gravitasi? Lalu definisi indah itu seperti apa? Jadi bertanya-tanya, si Mamak sudah pernah lihat tetek siapa saja.
Teman saya, “Kiki” juga mengalami isu yang sama dengan payudaranya yang besar. Ukuran dadanya 34F dan susah bukan main buatnya untuk mencari beha dengan cup seperti itu dengan harga yang terjangkau. FYI, rata-rata ukuran beha yang dijual di Indonesia paling banter sampai C (itu ukuran cup, sementara 32, 34, dan sebagainya adalah lingkar dada). Ada merek-merek yang menjual sampai cup F dan seterusnya, tapi harga satu beha bisa setengah juta sendiri.
“Sebelum karantina pun gue sudah memutuskan enggak akan pakai bra, soalnya sempit. Ibu gue sudah pasrah saja. Dulu dia enggak suka tapi ya udah saja sekarang. Susah cari ukuran gue yang enak di dada,” ujar Kiki.
Saya dan Kiki sama-sama punya pengalaman tidak mengenakkan di sekolah dulu soal payudara kami, terutama saat pelajaran olahraga. Ketika dadanya mulai tumbuh, Kiki sering diolok-olok teman-temannya.
“Awas jangan sampai bolanya ketuker,” kata Kiki sambil mengingat-ingat pengalaman tersebut.
Belasan tahun lalu, waktu kelas enam SD, saya kaget ketika payudara saya menyembul. Sejujurnya saya kaget, kenapa tiba-tiba dada saya bisa melar? ‘Kan tidak mungkin karena kelamaan main sepeda siang-siang, akhirnya meleleh lalu mengeras. Memangnya lilin.
Pertanyaan itu baru terjawab ketika di kelas dua SMP, dalam pelajaran Biologi, tentang organ reproduksi dan ciri-ciri pubertas.
Saya sempat memakai beha di atas singlet karena gatal. Lalu mengenakan setagen biar dadanya rata, tapi alhasil jadi sesak nafas. Sungguh urusan beha ini isu banget untuk perempuan berpayudara besar.
“Kalau payudara kamu membesar itu tandanya kamu sudah dewasa sebagai perempuan,” kata guru Biologi saya.
Saya tidak terima. Masalahnya ketika payudara mulai tumbuh, nyerinya bukan main, apalagi menjelang menstruasi. Sering kali saya merasa payudara ini mengganggu saja; kalau bisa saya ingin menyumbangkan kepada yang membutuhkan.
Perkenalan pertama saya dengan miniset dan beha pun juga tidak menyenangkan. Rasanya gatal dan membuat iritasi. Tapi ibu saya bersikukuh kalau beha wajib digunakan, “Nanti kalau ngondoy kayak ibu-ibu baru melahirkan.”
Karena tetap dipaksa pakai, akhirnya saya mengikuti jejak Superman yang pakai celana dalam di luar legging. Bedanya, saya memakai singlet dulu baru pakai beha. Gatalnya berkurang, tapi saya dimarahi oleh Ibu dan kakak sepupu perempuan yang bilang saya super aneh.
DI beberapa kesempatan, saya memutuskan untuk membebat payudara saya dengan setagen, atau pembebat dada, dan bermimpi memiliki dada rata seperti laki-laki. Namun karena berakhir dengan sesak nafas, saya pun mengucapkan selamat tinggal pada setagen.
Berbeda dengan saya, Kiki sudah bisa menerima tubuhnya. Dulu, dia iri sekali dengan perempuan berdada kecil yang tidak usah sulit-sulit mencari beha, atau mencari baju atasan yang selalu sempit di bagian dada. Sekarang dia sudah tidak lagi ambil pusing, dan mulai belajar memahami payudaranya sendiri.
Kiki mulai belajar bagaimana mencari bra yang nyaman untuknya, dan jadi lebih teliti ketika memilih beha.
“Bebannya diangkat sama band bukan sama strap-nya, dan payudara kita enggak tumpah di cup-nya. Waktu nyoba enggak terasa ya, yang penting kita dapat yang enak di dada. Pas pulang, baru deh terasa banget,” kata Kiki.
Walaupun sudah mulai menerima keadaan, Kiki masih berusaha untuk mengecilkan ukuran payudaranya melalui olahraga. Dia bilang, faktor besar atau mengecilnya payudara tergantung beberapa faktor seperti, hormon, berat badan, dan pertambahan usia.
“Kalau dulu memang buat bra, ibu gue yang beliin. Nah dia juga belinya asal saja. Jadi sekarang gua yang pilih sendiri. Nah masalahnya, kita sudah investasi bra ini, eh tiba-tiba ukuran cup kita berubah, karena berbagai macam faktor,” kata Kiki.
Untuk saya, Kiki, dan perempuan berdada besar lain di luar sana, tidak menggunakan bra di saat swakarantina ini adalah sebuah kemerdekaan. Kapan lagi bisa bebas tidak menggunakan bra tanpa harus mengkhawatirkan orang-orang di sekitar selalu melirik ke arah dadamu. Paling ibu saya yang terus ngomel, tapi sudahlah.
Sekarang, saya bisa merasakan apa yang dirasakan oleh perempuan di waktu No Bra Day. Biarkanlah kami yang berpayudara besar ini bebas tak menggunakan bra di rumah, toh setelah swakarantina kami akan kembali bergulat dengan beragam masalah beha kami.