Kekuatan ‘Lightstick’ Fans K-Pop Melawan Rezim Lalim
Jangan remehkan kekuatan fandom K-Pop untuk mobilisasi massa dan menyuarakan perlawanan.

Desember lalu, media internasional ramai memberitakan aksi turun ke jalan warga Korea Selatan yang menuntut lengsernya Presiden Yoon Suk Yeol atas pernyataannya tentang penerapan martial law atau hukum militer. Istilah ini merujuk pada pengambilalihan pemerintah sipil oleh militer yang biasanya terjadi saat situasi darurat atau krisis besar.
Tindakan Yoon menuai kontroversi publik yang sudah lama tidak puas dengan kinerja kabinet. Publik menilai, kabinet Yoon sering mempromosikan pemerintahan diktatorial dan penelantaran hak-hak sipil. Protes publik berujung pada dilengserkannya Yoon pada 14 Desember 2024 oleh Parlemen Korea Selatan.
Selain keberhasilannya menggulingkan rezim Yoon, yang menarik dari protes nasional Korea Selatan ini adalah penggunaan atribut K-Pop oleh para pengunjuk rasa. Massa yang turun ke jalan dari berbagai latar belakang terlihat mengacungkan light-stick, tongkat LED yang biasa dibawa oleh fans K-Pop saat menghadiri konser.
Light-stick berbagai warna dari bermacam fandom dan lagu-lagu K-Pop seperti Girls’ Generation yang berjudul “Into the New World” mengiringi langkah para demonstran menyusuri jalanan kota.
Meskipun keberhasilan ini tidak sepenuhnya bergantung pada protes penggemar K-Pop—karena berbagai kelompok masyarakat sipil juga berperan aktif—keterlibatan dan visibitas mereka tetap menonjol. Di era demokrasi modern yang semakin terhubung, kelompok penggemar yang mahir menggunakan media sosial menjadi kekuatan politik yang patut diperhitungkan.
Baca juga: K-Pop dan Ekonomi Global: Idola Baru, Harapan Baru
K-Pop dan Aktivisme Politik
Keunikan protes yang dilakukan di Korea Selatan menjadi sorotan banyak media internasional. K-Pop dilihat sebagai medium ekspresi politik khususnya bagi generasi muda dan perempuan muda yang identitasnya erat dengan konsumsi budaya populer.
Popularitas K-Pop yang mengglobal juga digunakan sebagai alat dan simbol aktivisme oleh penggemar di negara lain, misalnya di Amerika Serikat (AS) dan Thailand.
Di AS, sekelompok anak muda yang mengaku fans K-Pop di TikTok berhasil menyabotase kampanye politik Donald Trump di Tusla, Oklahoma.
Di Thailand, protes mahasiswa sepanjang tahun 2020 memperlihatkan keterikatan erat antara identitas penggemar K-Pop dan aktivisme politik yang bermodalkan kemampuan digital di sosial media.
Baca juga: Apa Itu Sasaeng Fans, Obsesi Ekstrem di Dunia K-Pop?
Kekuatan ‘Fan-activism’
Fenomena yang memperlihatkan keterhubungan antara partisipasi politik dan budaya populer ini dapat dimaknai sebagai fan-activism.
Fan-activism mengubah penggemar dari penonton pasif menjadi publik aktif yang peduli pada isu sosial-politik. Fandom menggunakan budaya populer untuk mendukung gerakan sosial dan mendorong aksi, bahkan di luar komunitas mereka.
Aktivisme ini dapat berbentuk bantuan sosial, donasi, sampai resistensi dan protes. Fandom menjadi tempat berkumpulnya berbagai macam individu dengan latar belakang berbeda yang disatukan oleh kecintaan mereka terhadap idol K-Pop.
Fan-activism dapat muncul ketika ada narasi beririsan antara nilai-nilai fandom dengan kondisi sosial-politik dimana para fans tinggal. Karena selain sebagai fans K-Pop, mereka juga seorang warga negara dengan identitas politik tertentu. Di Amerika Serikat misalnya, BTS Army berhasil mengumpulkan donasi untuk mendukung gerakan Black Lives Matter (BLM) yang memperlihatkan kepedulian mereka terhadap isu rasisme. Fandom menjadi ruang partisipasi yang mendorong keterlibatan sipil dan politik, terutama di kalangan generasi muda.
Dalam konteks protes martial law di Korea Selatan, penggunaan atribut light-stick dan lagu K-Pop memperlihatkan fungsinya sebagai alat pemersatu dan membentuk solidaritas kolektif.
Light-stick menjadi simbol solidaritas dari para penggemar K-pop dari berbagai fandom dan latar belakang yang menyatakan dukungan mereka untuk menggulingkan presiden Yoon dan menjunjung nilai-nilai demokrasi.
Selain itu, kemampuan fans k-pop untuk membuat trending topic di sosial media juga sangat berguna untuk meningkatkan visibilitas gerakan. Semakin viral isu, maka semakin banyak orang mencari tahu dan mendiskusikan di ruang publik.
Baca juga: Artis Barat Mulai Diternak Jadi Bintang K-Pop
Solidaritas Fandom K-Pop di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah pendengar musik k-pop terbesar di dunia. Situasi ini terlihat dari berbagai fanbase yang memenuhi setiap konser K-Pop di Jakarta.
Seperti halnya di negara lain, fans K-pop dalam negeri juga pernah menjadi sorotan karena keterlibatan mereka dalam menaikkan trending topic di X dan berbagai aksi solidaritas untuk mengatasi bencana, perubahan iklim, dan masalah sosial lainnya.
Tahun 2020 lalu contohnya, protes Omnibus Law atau UU Cipta Kerja menjadi trending topic karena banyaknya penggemar K-Pop yang menggunakan hashtag #TolakOmnibusLaw.
Protes martial law di Korea Selatan dan kasus lain yang terjadi di berbagai belahan dunia dan Indonesia, memperlihatkan bahwa fans K-pop memiliki potensi untuk turut aktif memperjuangkan hak-hak warga negara dan memengaruhi kebijakan pemerintah.
Di situasi seperti sekarang, fandom memiliki peran krusial dalam mengangkat isu #IndonesiaGelap ke ruang publik. Dengan jaringan yang luas dan keterlibatan aktif di media sosial, fandom dapat berfungsi sebagai pengeras suara yang menyebarkan informasi secara cepat dan masif. Solidaritas di antara para penggemar memungkinkan mereka untuk menggalang dukungan, meningkatkan kesadaran, serta menekan pihak terkait agar memberikan respons.
Amalia Nur Andini, PhD Researcher ESSB Erasmus University Rotterdam, Assistant lecturer, Universitas Brawijaya
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
