Berdoa Saja Tak Cukup, Indonesia Butuh Pembangkangan Sipil
Rakyat yang frustrasi dan 'hopeless' sering bilang kepada pemerintah: 'Rasakan pembalasan di akhirat.' Padahal rakyat harus tunjukkan punya kekuasaan untuk melawan.
Belakangan media sosial kita riuh dengan aksi massa yang tersebar di berbagai kota. Aksi itu dipantik oleh ulah pemerintah dan para partai politik (parpol) pendukung yang mengakali dan mengobrak-abrik hukum, melangkahi konstitusi, demi menjegal oposisi dan memuluskan dinasti politik Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
Delapan dari sembilan parpol di DPR, yang kini berada di kubu pemerintah, berupaya mengesahkan revisi UU Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) mengenai persentase ambang batas parlemen bagi parpol untuk bisa mengusung kandidat dalam Pilkada, dan mengenai syarat minimal usia pencalonan kandidat Pilkada.
DPR menginginkan ambang batas parpol tetap di 20 persen dari perolehan suara partai politik/gabungan partai politik di DPRD, padahal sehari sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengubahnya menjadi 7,5 persen.
Putusan MK membuka jalan bagi PDIP untuk mengusung kandidat untuk melawan Ridwan Kamil yang sudah didukung oleh 12 parpol. Namun, tampaknya mayoritas parpol koalisi pemerintah di DPR hendak menjegalnya, dengan mengakali verbatim dalam ketentuan pasal terkait. Ini merupakan langkah yang disebut oleh para pakar hukum tata negara sebagai pembangkangan konstitusi, inkonstitusional dan brutal.
DPR juga menginginkan batas usia minimal calon gubernur adalah 30 tahun dan calon wakil gubernur 25 tahun pada saat pelantikan. Padahal, MK sudah memutus bahwa syarat minimal usia tersebut berlaku pada saat penetapan calon. Ini memperkuat asumsi yang beredar di masyarakat bahwa DPR mengakali revisi UU demi membuka jalan bagi putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep yang tahun ini masih berusia 29 tahun, untuk bisa maju Pilgub Jawa Tengah.
Publik kemudian riuh di media sosial, melayangkan aksi solidaritas dengan mengunggah gambar garuda biru bertuliskan “peringatan darurat” sebagai reaksi protes terhadap DPR dan pemerintah. Mahasiswa dan kalangan akademisi se-Indonesia serentak turun ke jalan untuk mendesak DPR membatalkan pengesahan UU Pilkada.
Sekelompok akademisi yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS) menyerukan langkah pembangkangan sipil (civil disobedience) dengan memboikot Pilkada 2024. Ini karena upaya hukum oleh masyarakat sipil sudah menemui jalan buntu.
Baca juga: Muak dan Marah, Mereka Turun ke Jalan: Esai Foto
Apa itu Pembangkangan Sipil?
Pembangkangan sipil adalah bentuk perlawanan pasif berupa penolakan untuk patuh terhadap tuntutan pemerintah atau penguasa. Ini biasanya dilakukan oleh publik terhadap pemerintah tanpa menggunakan kekerasan. Tujuannya untuk memaksa pemerintah mengubah sikap terhadap suatu kebijakan.
Menurut Bivitri Susanti, dosen Hukum Tata Negara Negara dari Sekolah Hukum Jentera, pembangkangan sipil adalah langkah yang konstitusional, karena menjadi cara rakyat untuk melawan pembuat kebijakan yang terang-terangan menjadi pembangkang konstitusi.
“Bedanya kita (dengan DPR) enggak ada wewenang untuk membangkang, tapi kita juga bisa lakukan pembangkangan, namanya pembangkangan warga atau civil disobedience,” ujar Bivitri dalam acara Konsolidasi Netizen X Merespons Kondisi #Demokrasidihabisi oleh Presiden Jokowi di platform X, Rabu, (21/8).
Pembangkangan dapat menjelma berbagai bentuk dan diterapkan di banyak negara. Misalnya, di India, Mahatma Gandhi pada 2017 menyerukan gerakan “satyagraha” (teguh pada kebenaran) sebagai penolakan atas kebijakan pemerintah kolonial Inggris yang menindas. Ada juga aksi “Sunflower Movement” yang diikuti ratusan ribu masyarakat Taiwan pada 2014 untuk memprotes kebijakan pemerintah dengan Cina.
Baca juga: Indonesia Darurat Demokrasi, Jangan Gagal Fokus ke ‘Bau Keti’ Erina Gudono
Publik Harus Melawan
Bivitri mengatakan bahwa brutalitas para aktor politik dan penguasa sudah sangat terlihat sejak Pemilu 2024. Apabila publik tidak melawan, “kegilaan” ini akan terus berlangsung hingga lima tahun ke depan. Protes melalui kata-kata dan berdoa saja sudah tidak cukup lagi.
“Bukan hanya berkata, tetapi juga harus menunjukkan betul bahwa kita (rakyat) itu punya power. Di media sosial banyak masyarakat yang sudah hopeless dan frustasi lalu bilang ‘rasakan nanti pembalasan di akhirat’. No, we have to do it now. Kita harus tunjukkan kalau tidak ada kita, warga negara, maka tidak akan ada penyelenggaraan negara,” ujar Bivitri.
Ia menyerukan seluruh lapisan publik dapat melakukan aksi sesuai dengan kapasitasnya masing-masing melalui jaringan kolektifnya masing-masing.
Memboikot Pilkada 2024
Dosen Hukum Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraeni, mengatakan salah satu aksi yang dapat masyarakat lakukan adalah pemboikotan Pilkada 2024. Caranya adalah melalui tidak memilih satu calon kepala daerah.
Titi menganggap gerakan boikot beralasan. Sebab, proses Pilkada kali ini diwarnai manipulasi sehingga mencederai prinsip lurus, bersih, jujur, dan adil yang sepatutnya tercermin dalam proses pemilihan.
“Buat apa kalau kita terdaftar di daftar pemilih, tapi orang yang disediakan dalam surat suara itu adalah orang yang dihasilkan dari proses yang manipulatif. Jadi bukan seperti itu. Kita memaknai keadilan pemilu dan soal pemenuhan hak pilih jadi dalam konteks itu boikot Pilkada,” ujar Titi.
Boikot Pilkada, menurut Titi, adalah tindakan yang sah. Praktik ini juga sudah diterapkan di negara lain. Di India, misalnya, praktik boikot justru difasilitasi negara melalui penyediaan ruang “None of the above” (tidak di antara semuanya) dalam pemilihan umum.
“Untuk apa kemudian kita berpartisipasi untuk sesuatu yang jelas-jelas inkonstitusional….sama saja kita membenarkan pembangkangan,” kata dia.
Nurul Fitri Ramadhani, Politics + Society Editor, The Conversation dan Robby Irfany Maqoma, Environment Editor, The Conversation.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.