Di tengah polemik biaya uang kuliah tunggal (UKT), wacana student loan atau pinjaman pendidikan dari lembaga yang ditunjuk pemerintah digadang-gadang jadi solusi. Dengan student loan, mahasiswa bisa meminjam sejumlah uang dari bank untuk membayar biaya kuliah. Harapannya, mereka dapat terhindar dari jeratan pinjaman online atau pinjol.
Namun, banyak bukti menunjukkan bahwa pinjaman pendidikan berdampak negatif bagi mahasiswa, bahkan setelah mereka lulus kuliah. Karena itu, pemerintah perlu meninjau ulang wacana ini dan mencari skema pembiayaan pendidikan yang lebih tepat agar persoalan biaya kuliah tidak menjadi bom waktu bagi generasi muda Indonesia.
Baca juga: #SetopLiberalisasiKampus: UKT Mahal, Pinjol Jadi Jalan Ninja Saya
Sejarah Pinjaman Pendidikan
Cambridge Dictionary mendefiniskan student loan sebagai perjanjian ketika mahasiswa meminjam uang dari bank untuk membiayai pendidikan dan mengembalikan uang tersebut setelah lulus dan mulai bekerja. Konsep pinjaman pendidikan ini telah diterapkan di berbagai negara dan menjadi fenomena global akibat biaya kuliah (tuition fees) yang terus naik.
Tren pinjaman pendidikan sudah dimulai sejak 1980-an. Ideologi di baliknya adalah memindahkan tanggung jawab pembiayaan dari negara ke individu melalui “finansialisasi”. Artinya, pinjaman pendidikan ingin menjadikan mahasiswa sebagai konsumen sekaligus investor dalam proses pengelolaan pembelajaran di perguruan tinggi.
Tahun 1982, pemerintahan Soeharto menerapkan kebijakan Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) yang mengalami kendala layaknya penyaluran kredit pada umumnya, yakni kredit macet. Pada 1985, terdapat ribuan ijazah sarjana yang menumpuk di kantor bank pelaksana karena penerima KMI tidak melunasi kewajibannya. Sehingga di 2012, pemerintah pun menyatakan tidak ingin mengulang sejarah kelam KMI.
Baca juga: Gaji Secuil, Lingkungan Toksik: Potret Buram Kesejahteraan Dosen Indonesia
Bagian dari Cara Pandang Neoliberal
Pemerintah yang menerapkan pinjaman pendidikan menilai bahwa pinjaman merupakan upaya positif karena dapat memberikan akses ke jenjang pendidikan tinggi. Selain itu, pembuat kebijakan menganggap pinjaman pendidikan tidaklah berbahaya karena pembayaran utang disesuaikan dengan kemampuan dan pendapatan debitur. Ini melindungi mahasiswa dari pembayaran pinjaman yang berlebihan dan kesulitan finansial. Bahkan, dalam penerapan pinjaman pendidikan, pemerintah mendorong pinjaman sebagai “investasi” dalam potensi pendapatan masa depan.
Pinjaman pendidikan juga dianggap adil karena mahasiswa akan mendapatkan manfaat finasial dari pendidikan tinggi dengan membayarkan kembali biaya pendidikan saat mereka mampu.
Ini menunjukkan cara pandang pemerintah yang neoliberal karena menjadikan pendidikan berada di bawah kekuatan pasar dan menyatukannya dengan tujuan ekonomi. Akibatnya, pendidikan menjadi pusat untuk merealisasikan neoliberalisme karena mengandalkan penguasaan dan akumulasi pengetahuan untuk mencapai tujuan ekonomi. Padahal, hak atas pendidikan merupakan bagian dari hak asasi manusia.
Dalam konteks pendidikan tinggi di Indonesia, cara pandang ini bisa kita lihat dari pernyataan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, yang menyebut bahwa kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) merupakan wujud keadilan. Pernyataan tersebut kontradiktif dan bertentangan dengan konstitusi karena UUD 1945 mewajibkan pemerintah menyediakan pendidikan yang layak untuk setiap warga negara.
Baca juga: #SetopLiberalisasiKampus: Antara UKT Tinggi dan Obsesi Jadi ‘World Class University’
Dampak Kesehatan Mental bagi Mahasiswa
Penerapan pinjaman pendidikan memberikan beragam dampak pada mahasiswa dan lulusan. Artikel tahun 2021 menunjukkan bahwa pinjaman mahasiswa di Inggris mempengaruhi stabilitas psikologis mahasiswa dan proyeksi hasil atas studi mereka. Sistem pinjaman juga dinilai memperkuat dan melegitimasi stratifikasi ekonomi—pembagian kelas dan kelompok sosial berdasarkan pekerjaan, pendapatan dan kemampuan ekonomi.
Mahasiswa yang memiliki pinjaman saat menempuh studi memiliki kondisi berbeda dengan mahasiswa yang tidak memiliki tanggungan utang di masa depan. The Consumer Financial Protection Bureau (CFPB), lembaga pemerintah Amerika Serikat (AS) yang bertugas memastikan pelanggan diperlakukan secara adil oleh bank, pemberi pinjaman, dan lembaga keuangan lainnya, mendefinisikan tekanan keuangan sebagai respons emosional negatif yang dialami seseorang ketika situasi keuangan menghadapkan mereka pada ketidakpastian.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa mahasiswa yang mengalami tekanan finansial terbukti lebih sering mengalami permasalahan kesehatan mental dalam jangka pendek dan jangka panjang. Di samping itu, fakta lainnya adalah bahwa mereka cenderung mengabaikan perawatan medis.
Selain itu, mahasiswa yang mengalami tekanan finansial berkorelasi dengan efikasi diri finansialnya, yaitu kondisi ketika mereka tidak memiliki keyakinan terhadap diri dalam aspek kemampuan finansial.
Baca juga: Mempertanyakan Konsep ‘Kampus Merdeka’ di Indonesia: Siapkah Mahasiswa Kita?
Konsekuensi Finansial Lulusan
Sistem pembayaran pinjaman yang dibayarkan setelah lulus menjadi beban tersendiri bagi lulusan. Jumlah cicilan yang disesuaikan dengan pendapatan berdampak pada lama masa pembayaran pinjaman. Penelitian di Inggris menunjukkan bahwa rata-rata mahasiswa yang masuk pada 2023 baru bisa menyelesaikan pinjaman selama 40 tahun. Ini setara dengan seluruh masa kerja mereka.
Persoalan lain muncul ketika lulusan yang mendapatkan gaji relatif kecil, lebih berisiko mengalami masalah pembayaran utang. Rasio utang terhadap gaji yang tinggi ditemukan di program seni di universitas ternama di AS. Semakin tinggi rasio utang terhadap gaji, maka semakin besar risiko untuk gagal bayar.
Pinjaman pendidikan menjadi sumber permasalahan baru ketika lulusan terjebak oleh pendapatan rendah dan utang yang meningkat. Konsekuensi finansial mengikuti para lulusan karena harapan mereka untuk hidup lebih baik setelah berkuliah tidak terpenuhi.
Para lulusan juga cenderung mengalami berbagai tekanan jika tidak dapat segera menyelesaikan pinjaman. Ini menimbulkan dampak turunan seperti menunda menikah dan memiliki anak. Dalam hal kepemilikan properti, para lulusan yang berutang memilih untuk menunda kepemilikan rumah sampai kewajibannya terlunaskan.
Utang yang dibebankan pada generasi muda tidak hanya berdampak pada aspek finansial pribadinya, tapi juga berdampak pada kehidupan keluarga yaitu pernikahan yang bermasalah dan beban keuangan keluarga yang berlebihan hingga masa pensiun
Baca juga: ‘Calo Publikasi’: Jalan Pintas Dosen di Tengah Tuntutan Menulis
Perlu Dikaji Ulang
Pemerintah perlu mengkaji ulang rencana kebijakan bantuan pendidikan ini karena beberapa alasan. Pertama, terkait dengan efektivitas dan efisiensi penyaluran dana. Dalam sejumlah kasus, bantuan pendidikan dari pemerintah sering tidak tepat sasaran. Di media sosial, sejumlah mahasiswa penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) bergaya hidup mewah dan memunculkan pertanyaan apakah bantuan keuangan dari pemerintah sudah tepat sasaran, meski ada pula penerima beasiswa yang berprestasi.
Kasus perguruan tinggi yang terang-terangan bekerja sama dengan platform pinjaman online untuk pembayaran kuliah mahasiswa juga perlu menjadi bahan evaluasi. Jangan sampai pinjaman pendidikan hanyalah bentuk lain dari kasus tersebut sehingga memunculkan masalah baru.
Kedua, beban finansial jangka panjang. Meski pinjaman mahasiswa dapat membantu menutupi biaya pendidikan dalam jangka pendek, beban utang yang harus dibayarkan setelah mahasiswa lulus bisa menjadi masalah serius. Mahasiswa yang lulus dengan beban utang dapat menghadapi kesulitan finansial yang pada akhirnya menghambat perkembangan karier dan ekonomi mereka.
Ketiga, memengaruhi kualitas pendidikan. Pemerintah perlu menyadari bahwa terlalu banyak mengandalkan pinjaman pendidikan dapat memengaruhi perguruan tinggi untuk lebih berfokus pada jumlah penerimaan mahasiswa dan biaya kuliah daripada meningkatan kualitas pendidikan, memproduksi pengetahuan, dan mendorong perubahan sosial. Ini dapat menurunkan standar pendidikan serta secara sistematis menjerumuskan pendidikan tinggi ke dalam neoliberalisasi.
Seharusnya, pemerintah memosisikan pendidikan tinggi sebagai barang publik dalam membuat kebijakan pembiayaan pendidikan tinggi. Artinya, pendidikan perlu memiliki dua karakteristik utama, yaitu non-eksklusivitas yang artinya tidak ada orang yang dikecualikan; dan non-rivalitas, yang berarti kesempatan seseorang untuk memperoleh pendidikan tidak mengurangi ketersediaannya untuk individu lain.
Dalam konteks di Indonesia, paradigma ini penting diusung pemerintah agar pendidikan tinggi semakin mudah diakses oleh masyarakat.
Siti Aminah, Lecturer at Department of Educational Psychology and Guidance, Faculty of Education and Psychology, Universitas Negeri Yogyakarta dan Dhoni Zustiyantoro, Lecturer at the Faculty of Languages and Arts, Universitas Negeri Semarang.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Artikel ini adalah bagian series artikel pendidikan Magdalene bertema UKT mahal di banyak perguruan tinggi Indonesia.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari