Dear Pak Prabowo, Hukum Kita Tidak Mengenal Aturan Demo Harus Izin Karena…
“Undang-undang mengatakan kalau mau demonstrasi, harus minta izin, dan izin harus dikasih, dan berhentinya jam 18.00.”
Dalam kunjungannya ke RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, Senin (1/9) lalu, Presiden Prabowo memberikan beberapa pernyataan soal aksi demonstrasi yang berlangsung di beberapa kota dari 28-31 Agustus 2025. Salah satunya soal izin demo.
Tapi, memang betul demonstrasi harus minta izin?
Jawabannya tidak.
Penyampaian pendapat adalah hak konstitusional warga negara. Baik itu dalam bentuk unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum, dan mimbar bebas, semuanya bebas dilakukan dan tidak memerlukan izin seperti kata Prabowo.
Hal ini diatur dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Warga yang ingin berdemonstrasi cukup memberikan pemberitahuan tertulis ke pihak Polri selambat-lambatnya 3×24 jam sebelum demo dimulai.
Haeril Halim, Juru Bicara Amnesty International Indonesia, menilai statement Prabowo ini tidak punya dasar hukum yang jelas.
“Statement tersebut berpotensi ditafsirkan polisi untuk membatasi hak setiap orang untuk berkumpul dan menyatakan pendapat di depan umum,” kata Haeril pada Tirto. Hal ini benar karena polisi tidak berkewajiban untuk memberi izin atau melarang seseorang untuk melakukan aksi demo.
Sepakat soal itu, Direktur LBH Jakarta Muhammad Fadhil Alfathan, juga menyoroti penggunaan kata “izin”. Dilansir dari Tempo, Fadhil menjelaskan bahwa istilah izin lazimnya dipakai untuk aktivitas yang pada dasarnya dilarang kecuali mendapat restu pihak berwenang, seperti izin pertambangan atau izin mengemudi.
Sementara itu, kebebasan menyampaikan pendapat tidak bisa diperlakukan demikian, karena ia bukan pemberian negara, tapi hak konstitusional warga negara.
Dalam pernyataannya, Prabowo juga menekankan bahwa demonstrasi harus berlangsung damai. Namun, di sejumlah daerah seperti Makassar, Blitar, dan Subang, pelaku pembakaran fasilitas umum justru terbukti provokator, bukan peserta aksi.



https://www.beritasatu.com/network/idpost/667430/provokator-kerusuhan-dprd-blitar-terungkap-remaja-belasan-tahun-jadi-penghasut-massa-via-grup-whatsapp
https://www.metrotvnews.com/play/NP6C3vQ6-polisi-tangkap-129-provokator-unjuk-rasa-di-subang
Pola ini sejalan dengan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), yang mengidentifikasi adanya pihak-pihak tertentu bertindak sebagai provokator lapangan selama Tragedi 1998.
Dalam laporan TGPF dijelaskan mereka memancing keributan, memberi tanda pada sasaran, melakukan pengrusakan awal, pembakaran, hingga mendorong penjarahan. Artinya, kerusuhan bukan semata lahir dari peserta aksi, melainkan dari aktor yang secara sistematis diarahkan untuk menciptakan kekacauan.
Menurut Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, pemerintah keliru ketika menggiring opini publik bahwa demonstrasi identik dengan kerusuhan. Menurutnya, narasi semacam ini justru menutupi akar persoalan, yaitu ketidakpuasan rakyat atas kebijakan negara yang buruk dan tidak adil.
Dalam pernyataannya pada Media Indonesia, ia menekankan, yang seharusnya dilakukan pemerintah bukan membatasi protes, melainkan mengevaluasi kebijakan yang langsung menyangkut kehidupan rakyat, mulai dari kenaikan pajak bumi dan bangunan, program makan bergizi gratis, tunjangan mewah pejabat, hingga perluasan peran militer dalam urusan sipil.
Jadi, begitu, Pak Prabowo. Hukum kita tidak mengenal perizinan dalam demonstrasi. Hukum kita lebih mengenal jaminan sosial, hak hidup layak, dan penegakan HAM bagi warga negaranya.



















