Issues Politics & Society

Apakah Ibu Masih Mencintaiku Jika Aku Tak Lagi Beragama?

Apa yang terjadi ketika perubahan keyakinan memperumit hubungan dengan orang tua.

Avatar
  • October 9, 2018
  • 4 min read
  • 795 Views
Apakah Ibu Masih Mencintaiku Jika Aku Tak Lagi Beragama?

Saya dibesarkan dalam keluarga Muslim. Keluarga saya bukan tergolong kelompok garis keras, dan masih sangat dipengaruhi oleh tradisi Jawa. Namun sejak saya kecil, Ibu telah memasukkan saya ke taman pendidikan Alquran. Di sana saya diajarkan membaca dan menghafal ayat-ayat untuk salat, meskipun saya tidak pernah benar-benar mengerti artinya.

Saya belajar tentang bumi dan manusia di kelas sains dan agama di sekolah. Saya mempertanyakan guru saya di kelas agama tentang penciptaan bumi dan bagaimana narasi Adam dan Hawa tidak sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan. Dia menjawab dengan dingin bahwa agama dan sains adalah dua hal yang berbeda, dan kemudian tidak mengacuhkan saya selama satu bulan.

 

 

Tumbuh besar dalam lingkungan multibudaya membuat saya berpikir bagaimana mungkin kita semua berasal dari Adam dan Hawa sementara kita semua sangat berbeda. Saya juga diajarkan bahwa orang-orang yang tidak mengikuti agama saya akan masuk neraka.

Kemudian saya pergi ke luar negeri untuk menjadi sukarelawan, mengunjungi sebuah kuil Yahudi dan gereja Kristen ortodoks, dan belajar tentang para Muslim di Eropa. Di India, saya bertemu kelompok Sikh, Zoroastrian, Baha’i, dan Hindu, yang keyakinan dan ritualnya berbeda dengan Hindu Bali. Saya pun mulai mempertanyakan segalanya. Apa yang membuat agama saya paling benar dibandingkan ratusan atau bahkan ribuan keyakinan lainnya?

Selama dua tahun, saya tidak percaya pada apa pun. Saya marah dan bingung, dan saya memberontak melawan agama saya. Saya tidak salat, tidak berpuasa selama Ramadhan, bahkan tidak merayakan Idul Fitri karena saya sedang berada di Eropa dalam program sukarela.

Di India, saya diajarkan tentang makna hidup oleh seorang  yogi dari sudut pandangnya, dan bagaimana Tuhan benar-benar hidup di dalam diri kami, dan pengajaran tersebut menempatkan saya pada jalan spiritual. Saya membaca banyak buku tentang Islam yang sangat mendalam dan indah. Saya menyelesaikan Alkitab, saya membaca tentang agama Buddha, dan saya belajar Sikhisme di sebuah gurdwara. Kini saya percaya bahwa ada satu kekuatan yang menciptakan segalanya, dan saya percaya bahwa cinta, kebaikan, dan toleransi adalah nilai-nilai yang ingin saya jalani setiap harinya.

Saya mencintai keluarga saya, terutama Ibu yang saya ajak bicara mengenai semua hal. Tetapi ketika sudah menyangkut agama, ia selalu mengatakan, “Mama cuma mau kamu cepat-cepat dapet hidayah.” Dia berharap saya akan segera mendapat bimbingan ilahi. Namun saya pikir saya sudah mendapatkannya.

Saya tidak percaya pada Tuhan, tapi tidak juga membenci agama. Saya percaya tidak ada agama yang buruk, yang buruk hanya orang-orangnya. Tapi apa yang benar-benar saya percayai sekarang adalah bahwa hanya cinta dan kebaikan yang dapat menaklukkan segalanya.

Tidak seperti kebanyakan orang tua di Indonesia, orang tua saya tidak pernah memaksakan batas waktu bagi saya untuk menikah. Namun, mereka memiliki satu syarat: laki-laki itu harus Muslim, dan hal itu menjadi masalah buat saya. Saya sedang menjalani hubungan dengan seorang laki-laki yang saya cintai, terlepas dari fakta bahwa dia adalah seorang ateis. Dia bahkan tidak keberatan jika harus masuk Islam untuk memuluskan jalan kami dengan keluarga, tetapi saya tidak ingin hidup dalam kebohongan.

Saya tidak ingin berbohong kepada Ibu. Saya tidak ingin dia berharap melihat saya menjadi religius dengan pakaian longgar dan jilbab panjang, pergi haji, atau umrah setiap tahun. Jika Ibu mengetahui diri saya yang sebenarnya saat ini, dia akan sangat kecewa, dan hal itu tidak saya inginkan.

Ibu, dengan cinta dan kelembutannya, selalu mengingatkan saya akan pentingnya berdoa atau membaca kitab suci. Dia memberitahu saya bahwa jika saya punya anak nanti, dia harus bisa membaca Quran dan menaati ajaran Islam sejak kecil agar saya, sebagai ibu mereka, dapat “diselamatkan” dari api neraka. Saya mengatakan kepada Ibu bahwa saya tidak ingin memaksa anak-anak saya untuk melakukan apa yang tidak ingin mereka lakukan, seperti mengirim mereka ke pesantren. Setiap topik pembicaraan ini muncul, kami berdua tidak pernah mendapatkan titik temu, dan Ibu akan berkata, “Astaghfirullah, semoga Allah segera mengampunimu.”

Inilah yang ingin saya sampaikan pada Ibu: “Ibu, aku mencintaimu. Tapi aku yakin Ibu tidak akan masuk neraka karena putrimu ini. Tuhan tahu Ibu sangat baik. Tuhan tahu Ibu berhak mendapatkan yang terbaik. Aku cuma tidak ingin berbohong lagi sama Ibu. Dan kuharap Ibu dapat mencintaiku tanpa syarat, terlepas dari perbedaan di antara kita.”

Artikel ini diterjemahkan dari versi aslinya dalam bahasa Inggris oleh Radhiyya Indra.



#waveforequality


Avatar
About Author

Laras Mukti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *