Apakah Pemakaian Cadar di Universitas Perlu Dilarang?
Banyak hal penting dan mendasar dalam membangun keislaman Indonesia yang moderat di kampus selain soal cadar perempuan.
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga di Yogyakarta beberapa waktu lalu melarang mahasiswi menggunakan cadar di kampus. Dilaporkan, hingga saat ini ada sekitar 41 mahasiswi bercadar di seluruh fakultas.
Langkah ini dilakukan karena penggunaan cadar dipandang tidak sejalan dengan Islam Indonesia yang moderat sebagai visi perguruan tinggi tersebut. Di samping itu, penggunaan cadar juga dipandang membuat penggunanya seperti anonim sehingga menyulitkan pihak kampus untuk mengidentifikasi mahasiswi bercadar dalam memberikan pelayanan pendidikan.
Terlepas dari motivasi tersebut di atas, lagi-lagi pihak universitas hanya menyasar perempuan sebagai pengguna simbol-simbol identitas kelompok tertentu yang dipandang tidak sevisi. Betulkah simbol-simbol kelompok yang dikhawatirkan ini hanya ada pada perempuan? Jika cadar menyulitkan identifikasi penggunanya, betulkah hanya cadar yang demikian?
Pakaian bukan semata-mata selembar kain dan penggunaannya pun selalu disertai konteks. Bagi umat beragama, mungkin pakaian terkait erat norma-norma ajaran agama. Namun bagi pelaku bisnis, pakaian adalah ladang kapital. Bagi politikus, pakaian bisa menjadi simbol identitas penting untuk meraih dukungan.
Kita bisa saja berpakaian tanpa niatan khusus. Namun bagi sebagian orang, pakaian adalah media untuk menyampaikan pesan tertentu. Sebagai simbol, pakaian yang sama bisa memberikan pesan berbeda-beda. Demikian pula, pesan yang diterima orang lain yang melihatnya pun tidak selalu sama dengan penggunanya.
Menarik bahwa perempuan kerap menjadi obyek pengaturan terhadap cara berpakaian di berbagai belahan dunia. Di Arab Saudi, saat keluar rumah perempuan harus menutupi seluruh tubuhnya dengan menambahkan tambahan baju lapis luar berwarna hitam (abaya). Demikian pula di Indonesia, formalisasi syariat Islam di berbagai daerah juga sering kali disertai dengan jilbasisasi perempuan.
Sebaliknya di Turki, pada masa pemerintahan sekuler, perempuan yang bekerja di instansi pemerintah termasuk dosen di perguruan tinggi negeri jurusan agama dilarang berjilbab. Banyak yang mengganti jilbab dengan rambut palsu (wig). Hal yang sama terjadi di Prancis saat pemerintah melarang penggunaan simbol-simbol keagamaan di ruang publik. Ketika itu, di samping kalung salib, jilbab juga termasuk yang dilarang.
Dua pengalaman di atas menunjukkan bahwa perempuan sama-sama tidak diberi pilihan untuk menentukan jenis pakaian yang terbaik menurut keyakinannya sendiri. Di tempat yang melarangnya, perempuan yang berkeyakinan bahwa jilbab itu wajib tidak diberi ruang. Sebaliknya di tempat yang mewajibkannya, perempuan yang berkeyakinan bahwa jilbab itu tidak wajib juga tidak diberi pilihan. Pilihan yang berbeda dengan penguasa, tentu saja memiliki dampak peminggiran perempuan, baik sebagai umat beragama, warga negara, maupun sebagai mahasiswi di sebuah kampus.
Tentu saja, sebuah institusi pendidikan berhak menetapkan aturan yang berlaku di lingkungan kampus. Namun, peraturan yang didasarkan pada norma umum mestinya tidak hanya diberlakukan pada satu jenis kelamin tertentu. Misalnya kemudahan pemberian layanan, maka larangan menggunakan penutup wajah menjadi lebih relevan daripada hanya cadar, atau mewujudkan visi Islam Indonesia yang moderat, maka menumbuhkan tradisi berpikir kritis dalam beragama bagi seluruh mahasiswa menjadi lebih relevan.
Mengontrol cara pandang
Ayat Alquran dalam Surat An-Nur mengandung seruan bagi laki-laki dan perempuan untuk “menahan pandangannya dan memelihara alat kelaminnya”. Ayat ini kerap dipahami sebagai dasar untuk menundukkan mata (melihat tanah) ketika bertemu lawan jenis, atau lebih jauh lagi dengan menutupi tubuh perempuan termasuk mukanya dengan cadar supaya ketika dipandang tidak terlihat.
Menurut ahli semiotika Alquran dan alumni al-Azhar Kairo, Dr. Amrah Kasim, pemaknaan kata ghodldlul bashar sebagai menundukkan mata adalah keliru. Bashar itu bukan mata melainkan kondisi mental saat melihat atau cara pandang. Ayat ini memberikan arahan agar kita tidak memandang lawan jenis semata-mata sebagai obyek seksual sehingga alat kelamin sulit terjaga dari zina. Lihatlah mereka sebagai makhluk spiritual dan intelektual sehingga dapat bergaul secara bermartabat layaknya manusia.
Cara pandang pada lawan jenis sebatas fisik atau biologis membuat manusia berperilaku seperti binatang yang memang tidak punya spiritualitas dan nalar dalam bertindak. Cara pandang seperti ini tidak akan menyelamatkan perempuan setertutup apa pun pakaiannya dan serendah apa pun mata laki-laki ditundukkan. Dalam sistem masyarakat yang patriarkal, yang umumnya memandang perempuan sebagai obyek seksual, apa pun kekhasan perempuan terus menerus mengingatkan orang yang memandangnya bahwa penggunanya adalah obyek seksual, termasuk pakaian perempuan yang sangat rapat.
Cara pandang pada perempuan sebagai makhluk intelektual dan spiritual yang diajarkan Islam juga menghendaki agar memandang perempuan sebagai subyek penuh dalam bermasyarakat, berbangsa, dan beragama. Hal ini meniscayakan keterlibatan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan agar cara pandang yang menyederhanakan persoalan besar menjadi hanya terkait dengan perempuan bisa dihindari. Termasuk di kampus.
Bukankah ada banyak hal penting dan mendasar dalam membangun keislaman Indonesia yang moderat di kampus selain soal cadar perempuan? Misalnya memperkuat struktur kurikulum yang memungkinkan kampus memiliki tradisi berpikir kritis dan komitmen kuat pada kemaslahatan publik. Sejak dini mahasiswa fakultas apa pun termasuk fakultas non-agama mesti mengenal, tidak harus sampai ahli, keragaman teks agama dan ilmu-ilmu alat untuk membacanya. Demikian pula ilmu-ilmu yang memungkinkan mereka kritis terhadap perubahan sosial dan bagaimana teks-teks keagamaan dihadirkan di sana.
Tradisi ini penting agar mahasiswa punya daya nalar memadai untuk mendeteksi aneka penyalahgunaan agama untuk kepentingan ekonomi, politik, maupun lainnya yang bertentangan dengan kemaslahatan publik yang menjadi kepentingan agama itu sendiri.
Jadi, persoalannya bukan semata-mata cadar yang hanya menyasar perempuan bukan?
Nur Rofiah adalah dosen Ilmu Alquran di program S1 dan S2 Perguruan Tinggi Ilmu Alquran. Ia juga anggota dewan eksekutif dua organisasi perempuan, Alimat dan Perhimpunan Rahima, yang mengorganisir Kongres Ulama Perempuan Indonesia pertama di Indonesia pada 2017. Ia adalah seorang ahli Islam dan gender.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.