Apakah Profesi Insinyur Bergender?
Pendidikan tinggi di Indonesia masih seperti warna, yang dikaitkan dengan gender tertentu.
Akhir pekan adalah waktu yang tepat untuk bersantai dan bercengkerama dengan keluarga, dan menjadi sangat berharga ketika perjumpaan bisa dihitung dengan hitungan jam pada hari-hari biasa. Namun akhir pekan saat itu menjadi runyam, gara-gara pemilihan jurusan saat kuliah.
Saya yang sedang menikmati musik sambil membaca buku Haruki Murakami harus berteriak agar adik perempuan dan Ayah saya berhenti beradu argumen. Bukan karena jatah uang jajan kami yang dipotong, melainkan pilihan adik saya yang ingin mengambil jurusan Teknik Mesin di Institut Teknologi Bandung (ITB), sedangkan Ayah menghendaki dia untuk mengambil jurusan Ekonomi Universitas Indonesia. Perdebatan itu selalu mengusik akhir pekan saya selama awal tahun ini, sampai saya berteriak, “Memang Teknik Mesin haram buat perempuan?”
Asumsi seperti ini tumbuh subur di masyarakat kita, bahwa terdapat demarkasi yang nyata, mana yang boleh dan tidak untuk perempuan. Pola pikir seperti ini menghinggapi sebagian besar keluarga di seluruh pelosok negeri. Infeksi virus patriarki memang menyebabkan penyakit sosial yang sulit untuk diberantas, bahkan virus patriarki sudah bermutasi menjadi lebih kuat akibat kawin silang dengan virus seksisme dan feodalisme. Perdebatan usang yang dialami oleh perempuan yang sedang beranjak dewasa ketika memilih jurusan kuliah, masih ada sampai saat ini, seperti dialami adik saya. Kata Ayah, “Kamu mau jadi apa, teknisi pabrik? Kamu perempuan, bukan laki-laki. Perempuan tuh kerja di kantor, bukan di bengkel.”
Situasi seperti ini bukan hanya dialami oleh adik perempuan saya saja. Saya yakin masih banyak perempuan sebaya dengan adik saya sedang mengalami dilema karena pilihan pendidikan yang dianggap tak lazim, karena anggapan sumir yang berkembang di masyarakat.
Apakah nasib pendidikan tinggi di Indonesia akan seperti warna merah muda, yang sama-sama bergender? Apakah haram hukumnya anak perempuan mengambil jurusan teknik mesin, sama seperti apakah haram laki-laki memakai kemeja merah muda? Ini menjadi sebuah perenungan untuk masyarakat kita, apakah selamanya kita akan terjebak dalam lingkaran hitam patriarki seperti ini? Lantas kapan beranjak pada pola pikir yang lebih terbuka?
Dilema pendidikan di Indonesia sebentar lagi menjadi lebih pelik. Pendidikan di Indonesia bukan didesain untuk menghasilkan pemikir, namun untuk memenuhi kebutuhan jasa dan industri. Ditambah lagi, sistem pendidikan ternyata masih memiliki stereotip gender.
Fenomena ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Kalau kita menengok ke negara tetangga India, yang sedang mendapatkan keuntungan dari bonus demografi, rasio perempuan yang menjadi mahasiswa di Indian Institute of Technology (IIT) yang kampusnya berhasil mencetak tenaga-tenaga ahli di bidang teknologi informasi untuk menyuplai kebutuhan sumber daya manusia penghuni Silicon Valley, mahasiswi di kampus ini sangat sedikit, rasio perbandingan laki-laki dan perempuan kira-kira 10:1.
Dunia sedang dihadapkan problem baru, dari kasus seperti ini bisa dilihat bahwa patriarki bukan hanya berkoalisi dengan rekan abadinya seksisme tapi sedang menjalin hubungan yang sangat mesra dengan kapitalisme. Coba kita pikirkan lebih mendalam, jika perempuan mengambil studi teknik mesin, kelak kemudian menjadi ahli teknik, lantas hal ini akan semakin merepotkan perusahaan karena cuti yang banyak, misalnya cuti melahirkan dan lain-lain. Produktivitasnya dianggap akan terganggu, entah invisible hand dari kapitalisme memiliki kekuatan super dengan jalan memanfaatkan virus patriarki dimasyarakat agar mempengarui pemilihan jurusan di perguruan tinggi, sehingga kelak hasilnya akan sangat menguntungkan bagi kapitalisme itu sendiri, tenaga kerja dengan produktivitas tinggi tanpa terganggu dengan cuti dan lain-lain.
Pacar saya lulusan jurusan Tehnik Lingkungan, dan dia mengeluhkan bagaimana kebanyakan lowongan pekerjaan yang menarik dan menantang sebagai insinyur selalu diperuntukkan kepada laki-laki. Benar-benar terjadi demarkasi nyata bahwa patriarki itu benar-benar bekerja dengan selalu ada asumsi bahwa perempuan itu di kantor saja; teknisi perempuan jangan turun ke lapangan yang medannya sulit, kasihan, dan lain-lain.
Mengerikan bukan kalau hal ini dibiarkan begitu saja, sengkarut kepentingan demi mengejar keuntungan ini berjubah patriarki menjadi kuda troya kapitalisme. Ketika kita membiarkan genderisasi pendidikan, maka kita semakin melanggengkan domestikasi pada perempuan. Mari kita lawan itu semua dengan menolak asumsi bahwa jurusan juga bergender!