December 14, 2025
Gender & Sexuality Issues Lifestyle Opini

‘The Appeal of @kakakitwill’: Ngobrol soal Seks Tak Pernah Seaman ini 

Di tengah budaya yang menabukan seks, obrolan ringan dan penuh eufemisme di akun @kakakitwill justru membuka ruang aman buat perempuan.

  • December 14, 2025
  • 5 min read
  • 257 Views
‘The Appeal of @kakakitwill’: Ngobrol soal Seks Tak Pernah Seaman ini 

Sebagai perempuan dewasa yang sudah menikah, saya sering dianggap sudah berada di tahap “aman” untuk menyebut kata-kata yang berbau seks. Nyatanya, sampai hari ini, menyebut istilah-istilah itu masih terasa kaku, canggung, dan memicu rasa sungkan. Lidah terasa berat, kepala penuh pertimbangan, dan tubuh seperti mengingatkan saya pada satu hal: Ini bukan wilayah yang pernah dibuat ramah sejak awal. 

Saya tumbuh sebagai bagian dari generasi yang nyaris tidak pernah mendapatkan pendidikan seks. Pengetahuan soal tubuh dan seksualitas saya peroleh dari bacaan acak, film yang ditonton sembunyi-sembunyi, cerita orang lain, dan selebihnya belajar sendiri. Soal menstruasi saja tak pernah dibicarakan secara terbuka, baik di rumah maupun di sekolah. 

Saya masih ingat jelas satu pagi ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) SMP. Saat itu saya sedang jongkok mencari seragam di depan lemari. Ketika berdiri, saya melihat bercak darah di lantai dan berteriak memanggil ibu. Kakak laki-laki saya datang lebih dulu, menepuk bahu saya, lalu berkata, “Selamat, kamu sudah jadi perempuan dewasa sekarang.” Dari situ kebingungan saya dimulai. Tubuh saya berubah, tetapi tidak ada penjelasan. Tidak ada peta, tidak ada bahasa, tidak ada ruang untuk bertanya. 

Pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya saya simpan sendiri. Lingkungan tempat saya tumbuh memandang seks sebagai sesuatu yang tabu, tidak pantas dibicarakan, apalagi dipertanyakan. Kalau pun muncul, selalu dalam nada berbisik dan konotasi negatif. Seks bukan pengetahuan, melainkan rahasia. 

Akibatnya, saya tumbuh dengan pemahaman yang timpang tentang tubuh perempuan, fungsi organ, perubahan biologis, dan seksualitas. Menyebut nama organ intim saja terasa seperti melanggar batas tak tertulis. 

Baca juga: Kakak Itwill dan Ruang Aman Perempuan Bicara Seksualitas

Selimut Eufemisme 

Di tengah lanskap media sosial hari ini, akun @kakakitwill menarik perhatian saya. Dari namanya saja sudah mengundang senyum—itwill jelas terdengar sebagai pelesetan dari klitoris. Pemilik akun ini adalah laki-laki dewasa muda yang tinggal di Austria dan terbuka tentang identitasnya sebagai homoseksual. 

Kontennya beragam, dari aktivitas harian, memasak, perjalanan, hingga sesi tanya jawab dengan pengikut. Justru di sesi inilah daya tariknya terasa paling kuat. Mayoritas pertanyaan berkisar pada seks dan relasi dewasa, topik yang selama ini sering terasa berat, kaku, atau bahkan menakutkan untuk dibicarakan. 

Yang membuat akun ini terasa berbeda adalah cara menjawabnya. Ia menggunakan eufemisme: “Hohe” untuk hubungan intim, “terumbu karang” untuk vagina, “perkutut” untuk penis. Pilihan bahasa ini terdengar ringan, lucu, dan menghibur, tanpa kehilangan makna. Eufemisme menjadi semacam selimut yang membungkus topik tabu agar bisa disentuh tanpa rasa malu berlebihan. 

Bagi banyak perempuan dewasa, strategi bahasa seperti ini penting. Ia menciptakan jarak aman antara rasa ingin tahu dan rasa takut dihakimi. Eufemisme memungkinkan pertanyaan muncul tanpa harus berhadapan langsung dengan stigma. Ia membuka celah bagi percakapan yang selama ini tertutup rapat. 

Faktor lain yang membuat akun ini terasa aman adalah persona si pemilik akun. Ia tidak tampil maskulin atau dominan, melainkan hangat, ramah, dan cenderung introvert. Cara bicaranya lembut, humoris, tidak menggurui. Sapaan “babe” yang ia gunakan membangun kedekatan emosional, tanpa kesan mengancam. Ini penting karena ia tidak memposisikan diri sebagai ancaman atas otoritas tubuh perempuan, melainkan teman bicara. 

Dengan persona seperti itu, akun ini berfungsi sebagai ruang curhat yang relatif aman untuk isu 17+. Pengikutnya bebas bertanya soal durasi “hohe”, bentuk “perkutut”, atau teknik “loli” yang “endul”. Untuk topik yang lebih sensitif, tersedia ruang eksklusif bagi pengikut dewasa. Ada batas, ada persetujuan, ada kesadaran usia. 

Baca Juga: Memangnya Kenapa Kalau Aku Tak Perawan Lagi? 

Pendidikan Seks sebagai Bentuk Perlindungan 

Di Indonesia, pendidikan seks masih kerap dianggap berbahaya. Ia disalahpahami sebagai ajakan berhubungan seksual, bukan sebagai pengetahuan tentang tubuh, batas, dan keselamatan. Padahal, pendidikan seks memiliki cakupan luas dan diajarkan bertahap. 

Di banyak negara Eropa, anak-anak belajar anatomi tubuh sejak dini agar mengenali fungsi organ dan memahami otoritas atas tubuh mereka sendiri. Mereka diajarkan mana sentuhan yang aman dan mana yang tidak. Memasuki usia puber, pembelajaran berlanjut pada hormon, emosi, dan relasi sosial. Baru di usia remaja, mereka dikenalkan pada reproduksi dan seks aman. Orang tua dilibatkan, percakapan dibuka, dan transisi usia didampingi. 

Pendekatan ini berangkat dari satu premis bahwa pengetahuan adalah alat perlindungan. Ketidaktahuan justru membuat tubuh, terutama tubuh perempuan, lebih rentan dieksploitasi. 

Minimnya pendidikan seks dan ruang aman berdiskusi berkontribusi pada berbagai persoalan: kehamilan tidak direncanakan, pernikahan dini, kekerasan seksual, hingga pelecehan terhadap anak. Kasus-kasus ini seharusnya menjadi alarm keras, bukan alasan untuk terus menutup pembicaraan. 

Jika istilah “pendidikan seks” masih dianggap terlalu vulgar, mungkin persoalannya memang ada pada bahasa. Seperti yang ditunjukkan @kakakitwill, eufemisme bisa menjadi jalan tengah. Kita bisa menyebutnya pendidikan anatomi tubuh dan reproduksi. Substansinya tetap memberi anak, remaja, dan perempuan dewasa pengetahuan tentang tubuh mereka sendiri. 

Pada akhirnya, pendidikan seks—atau apa pun nama yang kita pilih—adalah soal pemberdayaan. Soal merebut kembali kendali atas tubuh dan pengalaman kita sendiri. Dan ruang-ruang aman, sekecil apa pun, layak dihargai karena membuka percakapan yang selama ini dibungkam. 

Dalam konteks itu, obrolan ringan yang menghibur bisa menjadi langkah awal yang penting. Bukan pengganti pendidikan formal, tetapi jembatan menuju kesadaran yang lebih luas. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Riyani Indriyati

Riyani adalah pendiri dari Dahuni foundation, seorang mentor yang punya jiwa “restless” terutama jika menyangkut masalah perempuan dan pendidikan.